Hari ini (28/10) dikenang sebagai peringatan Hari Sumpah Pemuda, dan gelora muda yang dinamis selalu bertanya erat dengan semangat kreatifitas, mencari dan menggali dengan jalan yang berbeda dari sebelumnya, persis seperti itu pula ikhwal persatuan pemuda daerah dimasa lalu.
Kini lapisan pemuda menjadi penggerak bangsa, meski tidak selalu dapat tampil kemuka, para pemuda ini memiliki militansi dan spirit juang yang sama, kita mengenal ekonomi kreatif sebagai bentuk dari aplikasi ekonomi uptodate mendayagunakan kemampuan gagasan, teknologi informasi dan ide kreatif.
Sayangnya, dalam formasi kabinet kerja yang telah terbentuk menjadi struktur pendukung Jokowi, bidang tersebut justru tidak tampak terdilusi entah dengan maksud dan tujuan tertentu mungkin? Namun menimbang logika komparatif jelas ini sebuah hal yang misleading to disappointed.
Pada masa pemerintahan terdahulu dibawah kepemimpinan SBY, dibentuk kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif yang dikomandoi Mari Elka Pangestu. Meski belum bisa muncul sebagai sebuah gagasan massif, namun ekonomi kreatif telah menjadi corak baru dari perkembangan ekonomi yang lebih bersifat muda.
Sesuai prinsip utamanya ekonomi kreatif berkutat menggunakan teknologi informasi dan ide kreasi gagasan sebagai kekuatan dasar dari kemampuan manusia untuk menciptakan nilai tambah yang bersifat baru dan tidak terjebak pada perulangan.
Ekonomi kreatif lekat dengan pengakuan akan otentisitas karya cipta dan hak kekayaan intelektual, namun dapat terus berkembang seiring dengan kemampuan berimprovisasi dan berinovasi secara kreatif berkesinambungan, sehingga tercipta mata rantai nilai secara kontinu. Dapat dibayangkan sektor ekonomi kreatif menjadi bagian dari industri kreatif, maka kita akan menjadi bangsa maju karena kompetensi sumberdaya manusia yang kreatif.
Jokowi bahkan menyebut sektor ekonomi kreatif sebagai bagian dari kampanye pada ajang PilPres lalu, yang mengedepankan kemampuan anak muda dalam memberi pengaruh ekonomi melalui penguasaan kemampuan teknologi, informasi serta ide kreasi.
Bahkan dengan dasar pertimbangan bahwa ekonomi kreatif tidak layak untuk diformalkan karena bentuknya yang kreatif tidak akan suitable dalam lingkup birokrasi, tetap saja kebijakan dan dukungan resmi pemerintah dibidang tersebut menjadi lecutan tambahan dalam berkreatifitas, sebuta inkubator bisnis kreatif, akses permodalan dan perijinan bahkan eksebisi dan promosi akan menjadi sitematik.
Difusi bukan Dilusi Ekonomi Kreatif
Dibandingkan harus mengutuk kegelapan, maka lebih baik kita nyalakan lilin penerang, agaknya pameo tersebut menjadi penting dalam menyikapi struktur kabinet kerja Jokowi yang telah dilantik. Permasalahan stimulus, insentif serta dukungan atas kebijakan di sektor yang bernaung dalam ekonomi kreatif sebaiknya tetap dipertahankan, meski tidak bermuara secara induk formal institusional.
Ekonomi kreatif sesuai dengan namanya pasti akan mampu beradaptasi melalui daya kreatifitas, bahkan dengan atau tanpa dukungan instrumen kebijakan, namun kita jelas akan melewatkan peluang kolektif bila demikian.
Kedekatan yang bersifat tipikal dan sebangun, mungkin dapat dikaitkan pada dua wilayah kerja kementerian yang menginduk pada instansi UMKM maupun pariwisata sebagaimana kabinet sebelumnya.
Difusi dalam bauran ekonomi kreatif tersebut, diharapkan dapat menyerap agenda ekonomi kreatif yang telah menjadi magnitude generasi muda dalam berkontribusi melalui karya kreatif.
Tidak bisa dipungkiri, konsepsi ekonomi kita masih bertumpu pada penciptaan nilai secara klasik konvensional, hal tersebut dipahami menjadi sebuah strategi karena begitu banyak potensi alam yang belum optimal digarap bagi peningkatan kesejahteraan.
Memunggungi laut, teluk dan selat, sebagaimana statement Jokowo, merupakan komitmen pembangunan kemaritiman, adalah upaya dalam menciptakan kekuatan bersaing melalui natural resources dari keberadaan wilayah kita yang dikelilingi lautan, termasuk relasi akan pengelolaan kekayaan hutan, hasil tambang dan pertanian secara saling berkaitan.
Kerangka berpikir dalam ekonomi mainstream tentu menempatkan industri klasik konvensional tersebut menjadi tumpuan dasar, namun pemerintah tidak bisa abai untuk melindungi hakikat kekayaan terbesar yang dimilikinya, yakni kekayaan sumber daya manusia.
Kita perlu memahami dengan jelas, didalam era kompetisi terbuka bernama globalisasi, pertarungan utama tidak tercermin dalam ukuran kuantita serupa besar atau kecil, melainkan kemampuan beradaptasi akan perubahan secara cepat.
Oleh karena itu, kita patut berkaca pada negeri tetangga Singapura yang menciptakan value added melalui kemampuan sumberdaya manusia guna mengatasi marjinal-nya sumberdaya alam yang mereka miliki.
Agenda tentang ekonomi kreatif, sebaiknya di-absorp agar kita menciptakan ruang baru yang terpisah dari tipe sektor pembangunan ekonomi diarus utama.
Terbayang potensi sinergi antar lini, semisal industri pengelolaan fillet ikan laut kemudian bekerjasama dengan sektor UMKM untuk mengoptimalkan limbah kulit/ tulang ikan sebagai bahan aksesoris seperti sepatu dan tas sebagai handycraft design yang spesifik? Hal ini tentu patut dikembangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H