Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Era BPJS Kesehatan dan Ironi Medical Tourism

13 Desember 2014   13:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai sambungan tulisan terdahulu, dari pengalaman berseminar dalam kerangka sosialisasi layanan BPJS Kesehatandisebuah hotel ternama di Jakarta, pada kesempatan yang sama tersebut terdapat hospital expo yang diarrange oleh Taiwan Medical Tourism Board. Disaat peserta lain sibuk berseminar tentang BPJS Kesehatan, saya justru menyempatkan diri hadir ke acara expo untuk melihat peluang kerjasama dan perkembangan layanan kesehatan dari negeri Taiwan.

Satu yang membuat saya agak terkaget, bahwa acara ini justru digagas oleh sebuah perusahaan Tour & Travel local yang membangun MoU dengan berbagai rumah sakit di Taiwan, sehingga mereka akan bertindak sebagai representative di Indonesia bila terdapat kebutuhan untuk melakukan pengobatan di Taiwan nantinya. Hmm.. sebuah skema yang menarik dalam kerangka membangun medical tourism, dan ketua perwakilan kamar dagang Taiwan menyatakan mereka tengah berkeliling benua Asia untuk membangun kekuatan Health & Hospital Industry.

Pada saat itu pula saya terbayangkan, skema BPJS Kesehatan yang akan segera berlangsung secara nasional, secara bersamaan terlintas berbagai peralatan canggih yang dimiliki oleh rerata rumah sakit di Taiwan, rasanya menjadi miris dalam komparasi yang ironic. Karena ketika kita masih berkutat pada upaya sustaining, Taiwan telah datang menggarap pasar “berpunya” dengan tujuan winning.

Benak saya penuh pertanyaan berkecambuk, apa yang tersisa bila demikian derasnya invasi pemain global ke pasar domestic, bahkan pintu itu terbuka sangat lebar. Lapisan konsumen atas premium high kita berpindah, menjajal layanan ke negara tetangga, sementara pelaku domestic harus menjejali diri dengan pasar low end, dan secara paralel terjadi migrasi down grade dilapis middle untuk masuk ke BPJS Kesehatan karena ketentuan perusahaan.

Industri rumah sakit lokal hanya akan menyesap tulang, sementara dagingnya dimakan pihak lain. Walah kok ya menyeramkan imajinasi saya, tetapi sepintas gambaran itu terurai dalam proyeksi yang terang benderang. Pada fase sustaining, maka kemampuan rumah sakit nasional hanya pada menjaga kontinuitas operasional tanpa ada kemampuan dalam daya beli layanan baru, atau bahkan kesulitan untuk melakukan revitalisasi peralatan kesehatan modern.

Patut diketahui alat kesehatan kita masih masuk kategori dikenai pajak bahkan dalam porsi yang tinggi, hal ini menjadi ilustrasi betapa kita tidak memiliki blueprint yang menyeluruh akan sector kesehatan, termasuk memandang peran pihak swasta. Alat kesehatan yang dimili sesuai dengan paparan dalam expo oleh sindikasi Taiwan Hospital tersebut jelas bukan alat kacangan, investasinya bisa puluhan miliar, yang sudah tentu bukan termasuk layanan primer dalam paket BPJS Kesehatan.

Kala kita terjebak pragmatism ideal soal jaminan kesehatan nasional sementara tidak terdapat ruang yang cukup untuk memperbaharui peralatan atau bahkan berinvestasi lagi, pasar kita sekali lagi direbut karena daya tarik “as big number” dalam kuantitas populasi. Jangan bicara soal teknologi tinggi seperti MSCT-scan, diimbangi dengan harga kurs naik, diikuti harga bahan bakar naik, UMP pun juga naik, belum lagi ditambah tarif listrik yang bersenandung sama, lalu bagaimana pengembangan itu bisa terjadi? Apalagi mimpi membangun medical tourism?.

Masa iya, Medical Tourism dibangun dengan menguatkan kerangka kompetensi untuk layanan diare dan demam berdarah? Meski kedua problem ini menjadi masalah penting di Indonesia, tetapi jelas bahwa kita memang tidak di-setting untuk menjadi winner dalam kompetisi di era globalisasi, dan kita hanya tergagap ketika banyak pejabat juga latah ikut berobat keluar negeri.

Lho kok begitu?..ya sudahlah cukup keluh kesah sampai disini, karena saya tersadar beban pikiran dan psikologis dapat memberi efek langsung bagi kualitas kesehatan saya sebagai pribadi. Hmm… gerakan yang lebih tepat adalah mengelus dada dan bernyayi…”sakitnya tuch disini…” ala Cita Citata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun