Kondisi yang beberapa waktu terakhir terjadi ditanah air, nampaknya mirip dengan apa yang hendak diilustrasikan oleh pujangga Ronggowarsito sebagai jaman edan pada serat Kalatida. Periode dimana suasana penuh dengan gemuruh suara yang berseberangan, disebutnya sebagai jaman penuh kegilaan.
Dimasa tersebut semua orang terkena “latah” menjadi gila, karena kalau tidak gila maka tidak kebagian sehingga akan berujung pada kelaparan, namun hendaknya kita kembali mengingat bahwa kebahagiaan adalah milik Sang Pencipta dan diberikan kepada yang senantiasa ingat & waspada -terjemahan bebas.
Pertengkaran antar institusi pnegak hukum dinegeri ini, semakin menghebat, ibarat sebuah skenario semua konflik berada dalam fase klimaks, dengan tensi yang semakin tinggi. Liarnya kondisi yang dibuat tersebut berimbas pada hilangnya kepercayaan publik, disertai dengan runtuhnya wibawa institusi pemerintah yang tampak gamang.
Situasi ini pula yang memperjelas kondisi akan ketidakpastian hukum di Indonesia, terlebih karena aparatur hukumnya yang saling bertikai. Sementara itu, pengambil keputusan tertinggi agaknya ragu menyikapi, dengan dalih menghindari intervensi. Pada titik krusial, intervensi sesungguhnya hal yang harus diambil berhadapan dengan resiko, dibanding membiarkan situasi ini berlangsung tanpa kendali.
Satria Piningit yang Notonogoro
Bahkan dalam kebijakan dimasa lalu, sesuai dengan tulisan dan ramalan Joyoboyo, pada kondisi penuh goro-goro (huru-hara) akan hadir Satria Piningit yang akan menumpas kebathilan. Aktor yang berperan penting ini memiliki sikap sebagai Ksatria yang melindungi hakikat kesuciannya. Tegas, berani dan berwibawa dengan bekal prinsip kebenaran serta kadilan adalah laku si tokoh tersebut.
Petinggi negeri sesungguhnya memiliki prasyarat untuk bisa berlaku selayaknya Ksatria, berani bertindak bebas lepas dari tekanan kepentingan kelompok untuk berposisi sebagai pembela yang mewakili kehendak masyarakat, terlebih melalui penegasan akan statement “tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” saat kampanye pemilihan digelar beberapa waktu lalu.
Tidak hanya itu, harapan besar yang terbeban dipundak pemuncak pengambil kebijakan harusnya mewujudkan kemampuan dalam melakukan pengelolaan negara. Tata kelola negara ini akan menjadi digdaya bila pemimpimnya memiliki kemampuan dan kemauan dalam melakukan Notonogoro yakni menata negara sesuai dengan kaidah etik dalam konsensus yang dibangun secara bersama.
Apa yang sebaiknya dilakukan oleh sang Presiden sebagai perwujudan modern sistem pemerintahan dialam demokrasi? Jelas harus memiliki kemampuan mendengar dan bersikap. Dalam hal ini, mata telinga dan seluruh pancaindera dapat saja dimanipulasi oleh berbagai gagasan yang menyesatkan, namun hati nurani lah yang dapat membedakan Ksatria dari kuasa jahat.
Keberanian adalah sebuah sikap yang tidak asal-asalan, termasuk berani tidak populer. Karena dalam suara yang “bising” tersebut terselip kebenaran yang harus diperhatikan. Kita mampu memahami bila periode damai adalah pengakhiran seusai masa berperang, dan kali ini situasi chaos yang tidak terkelola ini harus segera diakhiri oleh pemimpin tertinggi, untuk masuk ke masa pendinginan.
Pertarungan antar elit yang tengah dipertontonkan memang membuat kita beralih fokus pada persoalan tentang kekuasaan, yang sejatinya kerap tidak bersinambung dengan kebutuhan langsung masyarakat. Kisruh PilPres, Dewan Tandingan hingga Gonjang-Ganjing Kapolri dan KPK serta berbagai kendala diranah politik masih sangat tersentralisir ditengah arus kekuasaan dan bukan bagi tujuan sejatinya yakni mensejahterakan kehidupan berbangsa. Disisi lain, problematika riil kemasyarakatan -kemiskinan, kebodohan dan kesehatan serta seabrek indikator dari derajat kualitas kehidupan yang manusiawi, masih jauh dari sentuhan yang sensitif akan kehendak rakyat itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H