Mohon tunggu...
Yudhi Christiawan Samuels
Yudhi Christiawan Samuels Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Program MIH UNiversitas Jambi

ASN pada Bagian Keuangan Universitas Jambi, saat ini sedang menempuh pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, Penyuka MotoGP, Fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum, tidak menyukai dan tidak memiliki sosial media kecuali Whatsapp dan email yudhichristiawan@gmail.com atau yudhi@unja.ac.id.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pengelolaan Limbah di Provinsi Jambi, Masalah Hukum yang Diabaikan

15 Mei 2021   01:00 Diperbarui: 16 Mei 2021   06:36 2176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan-peraturan tentang masalah pengelolaan limbah telah banyak dikeluarkan di setiap daerah di Indonesia, termasuk dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jambi. Hal tersebut disebabkan karena masalah limbah semakin meningkat dan tersebar luas di semua sektor. Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, karena memiliki akibat dampak yang sangat buruk terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkungan pada umumnya.

Sebagai wujud kepedulian pemerintah Provinsi Jambi terhadap penanganan masalah limbah tersebut, khususnya untuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), pada tahun 2008 telah diterbitkan Peraturan Gubernur Jambi Nomor 26 yang mengatur tentang Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Wilayah Provinsi Jambi. Kehadiran dari Pergub ini tiada lain yaitu untuk menjaga kelestarian lingkungan ditengah meningkatnya pembangunan di bidang industri. Pada pasal 1 (satu) Peraturan Gubernur Jambi Nomor 26 ini limbah B3 diartikan sebagai sisa usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya. 

Walaupun pada pergub tersebut telah diatur mengenai kewenangan badan pengawas pengelolaan limbah B3 melalui Pejabat Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) dalam melakukan pengawasan terhadap badan usaha/kegiatan yang berpotensi menghasilkan limbah B3, namun Pergub tersebut belum mengatur ketentuan pemberian saksi yang tegas terhadap badan usaha/kegiatan yang melakukan pelanggaran atas ketentuan pengelolaan limbah B3. Untuk itu diterbitkan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang memberikan sanksi tegas terhadap badan usaha/kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan dan pengendalian limbah B3 atas usaha/kegiatan yang dilakukannya. Pasal 59 Perda Kota Jambi Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan pemberian sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin sampai dengan pencabutan izin usaha untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya menjamin pertanggungjawaban pengelolaan dan pengendalian limbah B3 dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut.

Saat ini di Provinsi Jambi sendiri baru terdapat tiga perusahaan pengelola limbah B3 yang beroperasi di Kota Jambi dan memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yakni PT Kenali Indah Sejahtera, PT Anggrek dan PT Surya Jaya Logam. Keberadaan perusahaan pengelola limbah B3 tersebut selain untuk badan usaha/kegiatan lainnya terutama ditujukan kepada Rumah Sakit yang belum mampu melakukan pengolahan sendiri terhadao limbah B3 yang dihasilkannya, karena semua limbah yang dihasilkan dari rumah sakit termasuk dalam kategori B3 baik dalam bentuk padat, cair, pasta ataupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme pathogen yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan Sebagian bersifat radio aktif. 

Dengan adanya perusahaan pengelola limbah B3 tersebut maka diharapkan tidak ada lagi perusahaan yang tidak melakukan pengelolaan secara baik atas limbah B3 yang dihasilkannya, karena setiap perusahaan yang tidak mampu melakukan pengelolaan limbah B3 dapat membentuk kerjasama penanganan limbah dengan pihak ketiga yaitu perusahaan pengelola limbah tersebut.

Lalu bagaimana aspek hukum terhadap pelaku usaha/kegiatan yang masih melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan limbah B3 tersebut? Apakah ada legalitas hukum yang jelas dan tegas? Pada pasal 102 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disebutkan dengan tegas bahwa “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” dimana pasal 54 ayat (4) menyebutkan bahwa “pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya”. Sehingga jelas bahwa selain sanksi administratif sebagaimana disebutkan pada Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 7 Tahun 2017, pelaku usaha/kegiatan yang melakukan pelanggaran atas pengelolaan limbah B3 dapat dijerat dengan sanksi pidana. Pasal 95 ayat (1) UU PLH juga mengaskan bahwa dalam rangka penegakan hukum hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.

Namun demikian pelanggaran terhadap kewajiban pengelolaan limbah B3 tersebut masih marak terjadi, ketentuan sanksi yang ada masih sering diabaikan oleh pelaku usaha. Pada tahun 2018-2019 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi telah melakukan dan mengumumkan hasil penilaian perusahaan perusahaan di Jambi dalam mengelola lingkungan hidup, penilaian peringkat ini dilakukan guna melihat cara perusahaan melakukan penilaian terhadap biaya pencemaran, terutama terhadap pencemaran udara, bagaimana mereka melakukan pengelolaan limbah B3 dan Non B3 baik padat limbah cair, lalu bagaimana mereka melakukan konversi terhadap, emisi gas rumah kaca dan bagaimana cara mereka melakukan pengamatan terhadap keanekaragaman hayati kemudian juga pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar. 

Hasilnya, 11 perusahaan dapat nilai terendah atau masuk zona merah. 11 perusahaan dengan rapor merah itu antara lain, PT Batanghari Tembesi, PT Hok Tong Jambi, PT Angso Duo Sawit, PT Bahari Gembira Ria, PT Biccon Agro Makmur, PT Graha Cipta Bangko Jaya, PT Perkebunan Nusantara VI PKS Pinang Tinggi, PT Persada Harapan Kahuripan, PT Rudy Agung Agra Laksana, PT Sumbertama Nusa Pertiwi, dan PT Tebo Plasma Inti Lestari. Namun demikian juga terdapat perusahaan yang mendapatkan peringkat emas yaitu PT Pertamina EP Aset L-Field Jambi Migas Eksplorasi Produksi Kota Jambi dan Muaro Jambi, PT Pertamina (Persero) Wilayah Operasi Pemasaran Depot-Pengisian Pesawat Udara Sultan Thaha Kota Jambi, PetroChina International Jabung LTD (GAS) Tanjabbar dan PetroChina International Jabung LTD (Minyak) Tanjabtim. 

Sementara untuk terdapat 26 Perusahaan yang mendapatkan peringkat biru. Dari hasil penilaian tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak badan usaha/kegiatan yang belum mentaati ketentuan dalam pengelolaan dan pengendalian limbah khususnya limbah B3, pelaku usaha cinderung mengabaikan permasalahan hukum yang akan terjadi ketika terjadi sebuah pelanggaran pengelolaan dan pengendalian limbahnya walaupun sudah terdapat ancaman sanksi yang tegas dari pemerintah.

Untuk itu keguiatan sosialisasi, edukasi dan pengenalan terhadap pengelolaan dan pengendalian limbah serta sanksi terdapat pelanggarannya diharapkan dapat secara rutin dan teroganisir dapat dilakukan oleh badan maupun lembaga pemerintah dibidang lingkungan hidup untuk mengantisipasi serta mengurangi resiko terjadinya pencemaran lingkungan akibat limbah B3 tersebut serta untuk memastikan bahwa tidak ada lagi pelaku usaha/kegiatan yang melakukan pelanggaran demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun