Sudah lebih dari 18 bulan terakhir ini saya bekerja di rumah. Dulu, saya punya kekhawatiran tersendiri tentang bekerja di rumah. Namun, setelah menjalani 18 bulan ini, saya bahkan lupa kekhawatiran saya tersebut. Malah, saya semakin asik dengan tempat favorit saya untuk bekerja di rumah.
Sampai tulisan ini saya curahkan, saya masih berusaha mengingat-ingat kekhawatiran saya tentang bekerja di rumah. Beberapa yang saya ingat: sulit fokeus dan tergoda rayuan kasur. Kekhawatiran lainnya, terganggu kebisingan anak bermain atau memutar film-film kesukaannya.
Saya tidak akan membahas satu-satu tentang kekhawatiran saya tersebut. Seriusan, mengingatnya saja saya sudah sulit, apalagi menuliskannya. Namun, dalam tulisan saya kali ini, saya lebih ingin berbagi strategi untuk bisa bekerja di rumah. Dan di bagian akhir tulisan ini, ada tantangan yang harus saya hadapi bila terlalu lama bekerja di rumah.
Strategi pertama yang saya lakukan, mengalokasikan ruang kheuseus untuk saya bekerja di rumah. Ruangannya tidak perlu terblalu besar. Buat saya, yang paling penting, ada meja, kursi, dan colokan listrik.Â
Sebisa mungkin, ruangan ini memiliki jendela yang cukup besar dan membuat saya bisa menengok ke luar rumah kapan pun, termasuk ketika langit sudah gelap. Juga jauh dari kasur yang umumnya melambai-lambai ingin saya tiduri.
Untuk hal ini, saya mengalokasikan satu ruang khusus untuk bekerja. Karena rumah kami baru memiliki dua kamar, dengan demikian satu kamar menjadi ruang bekerja. Sedangkan urusan tidur dipusatkan di kamar lainnya lagi. Bila ada tamu, ruang bekerja akan menjadi kamar tidur sementara dan akan kembali berubah menjadi ruang kerja tatkala matahari bersinar di ufuk timur.
Ada saran untuk memindahkan ruang kerja ke ruang tamu. Namun, saya termasuk yang kurang sreg dengan langkah ini. Alasannya, selalu ada orang-orang yang lalu lalang di ruang tamu, termasuk anak dan teman-temannya. Praktis, hal ini membuat saya kesulitan untuk fokeus kerja.Â
Jadi, cara yang terbaik, memang memisahkan antara ruang kerja dan tempat bermain anak-anak. Jadi, masing-masing pihak yang berkepentingan bisa fokeus dengan aktivitasnya masing-masing.
Strategi kedua, ingat ngopi. Terdengar aneh? Namun, bagi saya, cara ini efektif untuk membangun semangat kerja saya setiap hari. Bagaimana pun, kopi bisa meningkatkan kecerdasan, menambah fokeus, dan memicu semangat kerja. Tidak sepakat? Yah, setidaknya bagi saya.
Oleh karena itu, sejak beberapa bulan silam, saya memasukkan kopi sebagai rutinitias pada pagi hari. Menjelang jam 7 pagi, biasanya saya sudah siap untuk memanaskan air dan menyeduh secangkir kopi. Apakah ditubruk, atau ala vietnam drip, atau juga ditarik-tarik, mungkin juga cold-brew tidak urusan. Satu hal yang penting bagi saya: kopi.
Umumnya, ketika saya meminum kopi, saya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat. Keunggulan lainnya, saya bisa bertahan untuk mengerjakan satu pekerjaan, tanpa tergoda untuk melakukan aktivitas procastinating.Â
Dan menariknya, saya bisa sarapan dengan lebih hemat. Ditemani kopi, saya cukup makan dua biskuit dan perut saya terhindar dari lapar hingga adzan dzuhur menjelang.
Strategi ketiga, kelola waktu bekerja kita. Prioritaskan waktu-waktu yang efektif untuk bekerja. Saya menyebutnya waktu emas (golder hours) untuk bekerja.Â
Bagi saya, waktu ini hadir pada pagi hari hingga matahari melintas di atas kepala kita. Setelahnya, produktivitas saya cenderung turun. Bahkan, ketika saya bangun menjelang tengah hari atau memicu diri dengan kopi, tetap saja, bekerja selepas dzuhur tidak banyak menghasilkan karya.
Sediakan juga waktu untuk istirahat atau sekedar melemaskan badan. Biasanya, saya memilih waktu dzuhur untuk beristirahat selama satu jam, dan waktu ashar untuk berhenti bekerja.Â
Bahkan, beberapa kali saya memilih untuk membuat janji atau meeting di luar selepas dzuhur. Hal ini untuk mensiasati menurunnya produktivitas di depan laptop selepas tengah hari.
Selepas ashar biasanya saya pantang untuk bekerja. Entah kenapa, pada waktu tersebut, konsentrasi kerja cenderung drop. Pun bila dipaksakan, saya cenderung sakit kepala dengan mata yang berkunang-kunang. Barangkali, memang tubuh saya sudah enggan bekerja pada waktu tersebut dan cenderung menurun kemampuannya.
Malam hari merupakan waktu yang menggiurkan untuk bekerja, khususnya setelah waktu makan malam, sekitar jam 20. Terlebih bila makan malam dibarengi ngopi, biasanya, tubuh akan semangat untuk bekerja.Â
Saya pribadi termasuk yang suka bekerja pada waktu malam. Hanya saja, kini, saya memilih untuk mengistirahatkan tubuh pada malam hari.
Bagaimana pun, pekerjaan tidak pernah ada habisnya, tetapi tubuh punya daya tahan yang terbatas. Terlebih lagi, pada malam hari, tubuh melakukan proses pemulihan diri dan mengisi kembali berbagai organ tubuh, termasuk otot. Dalam hal ini, saya lebih memprioritaskan untuk tubuh saya beristirahat selepas maghrib hingga menjelang adzan subuh.
Mensiasati Tantangan
Bekerja di rumah memang menyenangkan. Selain tidak perlu berjibaku dengan hiruk-pikuk kemacetan kota besar, juga selalu dekat dengan keluarga di rumah. Hanya saja, tidak selamanya bekerja di rumah nyaman. Tantangan terbesar justru muncul dari tubuh saya.
Lantaran saya hanya berdiam diri di rumah, tubuh saya pun akhirnya kurang gerak. Dampaknya beragam, dari mulai susah buang air besar hingga gampang masuk angin ketika naik motor berjarak hanya selemparan batu. Selain itu, saya pun gampang lelah ketika harus beraktivitas yang agak berat. Dan yang lebih parah, saya gampang terkena masalah otot ketika harus mengangkat beban yang agak berat.
Solusinya sebenarnya sederhana: membiasakan olah raga setiap hari. Caranya pun cukup murah. Mulai dengan peregangan sederhana di depan rumah, berlari-lari kecil keliling kampung, sampai dengan rutin renang mondar-mandir selama setengah hingga satu jam.
Hanya saja, urusan ini kerap saya abaikan ketika sudah asik bekerja. Sesaat setelah tenggelam dengan berbagai ragam aktivitas di depan layar komputer, bisa dipastikan saya akan sulit beranjak. Oleh karena itu, saya kerap menggeser jam kerja saya agak siang, sekitar jam 8 atau 9 pagi. Harapannya, sebelum jam kerja tersebut, saya bisa membiasakan olah raga terlebih dahulu, minimal peregangan di depan rumah.
Tantangan lainnya ketika jenuh berada di dalam ruangan terlalu lama. Ketika hal ini terjadi, saya umumnya tidak bisa lagi bekerja. Dipaksakan bagaimana pun, tetap pikiran sulit fokus untuk mengerjakan hal-hal yang ada di depan mata. Bila sudah begini, solusinya satu: jalan-jalan.
Untuk mengusir kejemuan ini, saya kerap mengagendakan untuk ngobrol-ngobrol atau sekedar ngopi bersama dengan teman-teman. Selain untuk mendapatkan perspektif dan wawasan baru, aktivitas ini juga membantu saya untuk menyegarkan kembali pikiran saya yang sedang penat.
Bila cara di atas masih belum ampuh mengusir kebosanan, biasanya saya menjelajah ke luar kota. Biasanya, saya bepergian ke Jakarta atau Tasikmalaya. Pasalnya, di kedua kota tersebut saya memiliki cukup banyak teman untuk dikunjungi.Â
Alasan lainnya, banyak hal yang bisa saya kunjungi atau cicipi ketika berada di Jakarta dan Tasikmalaya. Misalnya saja, mencicipi KRL dari ujung ke ujung, atau menjelajah perkampungan di Tasikmalaya yang memiliki nilai inspiratif.
Umumnya saya menghabiskan waktu 3-4 hari di luar kota. Setelah itu, biasanya pikiran sudah enak untuk diajak bekerja lagi di rumah.Â
Di samping itu, saya juga punya banyak cerita yang bisa saya tulis untuk blog. Kalau ternyata sedikit, biasanya saya sudah tenggelam dengan pekerjaan saya dan lupa untuk menuliskan cerita saya di blog. Ahahaha.
Bagaimana dengan teman-teman lainnya yang bekerja di rumah? Memiliki masalah yang sama kah? Dan bagaimana cara untuk mengatasi kebosanan bekerja di rumah? Berbagi di kolom komentar, yah...***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI