Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Karena Jurnalisme Itu Lebih dari Sekadar Menulis

28 Juni 2018   07:07 Diperbarui: 28 Juni 2018   18:38 2131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: lsfcogito.org

Apa itu jurnalisme? Untuk apa jurnalisme ada? Lalu, seberapa besar jurnalisme bisa mempengaruhi kehidupan orang banyak?

Barangkali, pertanyaan-pertanyaan tadi bisa kita temukan dalam buku-buku berjudul jurnalisme yang berceceran di kampus-kampus fakultas komunikasi di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, jurnalisme malah dikerdilkan hanya sebagai kemampuan untuk mengumpulkan berita dan mengisahkannya dalam bentuk tulisan, lisan, fotografi, dan juga videografi.

Kegelisahan ini yang kemudian memicu saya dan Roni Tabroni bertemu akhir pekan lalu. Roni sendiri merupakan dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Politik di beberapa perguruan tinggi di Bandung. Dia juga penggiat literasi di masyarakat Tasikmalaya serta aktif di organisasi Muhammadiyah di Jawa Barat.

Baginya, jurnalisme tidak hanya sebatas meliput peristiwa, membuat berita, kemudian mempublikasikannya melalui media.

Lebih dari itu, jurnalisme merupakan cara manusia untuk mengkonstruksi peradabannya. Jurnalisme sebagai perangkat dalam masyarakat untuk meretas tantangan peradaban dan menggerakan potensi setiap individu di dalamnya. 

Dalam bahasa Bill Kovach, jurnalisme berfungsi untuk memberdayakan orang-orang dan membangun citizenship, sehingga tercapai masyarakat yang mampu mengelola dirinya sendiri dan bebas dari segala ancaman.

Pada masa lalu, menurut Roni, masyarakat Indonesia sendiri sudah merintis jurnalisme sebagai perangkat untuk membangun peradaban. Hal ini tampak dari bermunculannya media-media berbasiskan gerakan masyarakat yang bervisi Indonesia Merdeka sekitar awal tahun 1900-an.

Dari pengamatannya tersebut, Roni menyimpulkan bahwa media-media tersebut merupakan corak media di Indonesia. Berbeda dengan media-media barat yang berbasiskan industri, media di Indonesia justru lahir dari organisasi pergerakan di masyarakat. Bila media-media tidak memiliki basis dan akar yang cukup kuat di masyarakat, Roni menilai media tersebut usianya hanya seumur jagung semata.

Lebih lanjut soal jurnalisme khas Indonesia, Roni mengkategorikan ada empat jenis media, yaitu: media keagamaan, media daerah, media perjuangan, dan media partisan.

Media keagamaan sendiri dipelopori oleh organisasi-organisasi Islam untuk membangun wawasan dan persatuan umat.

Adapun media daerah dipelopori oleh organisasi-organisasi kedaerah dan kesukuan untuk membangun kesadaran anggotanya perihal jati dirinya.

Sedangkan media perjuangan memfokuskan diri kepada proses edukasi orang-orang tentang kemerdekaan Indonesia sekaligus membangun kerjasama guna mencapai negara yang merdeka.

Kemudian, media partisan dimiliki oleh partai-partai politik sebagai salah satu bentuk kaderisasi anggotanya perihal ideologi kepartaian.

Kondisi ini membuat para pemilik media berjibaku untuk mempertahankan medianya. Bahkan, ada awak redaksinya yang pontang-panting membiayai kelangsungan media ketika kucuran pendanaan berhenti. Hal yang tidak akan pernah terjadi di lingkungan industri media di Indonesia dewasa ini.

Adapun berkaitan dengan jurnalis, Roni menyebutkan bahwa mereka merupakan ilmuwan yang bertugas untuk membangun kesadaran masyarakat tentang dirinya dan lingkungannya. Para jurnalis ini senantiasa mempublikasikan konten-konten yang mendalam dan membangun kesadaran masyarakatnya tentang masa depan yang lebih baik.

Oleh karena itu, menurut Roni, pendidikan sarjana bagi jurnalis seharusnya menekankan kepada tiga aspek: filsafat, logika, dan sastra. Filsafat membangun kemampuan berpikir mendalam dan mengakar. Adapun logika membangun kemampuan berpikir terstruktur dan sistematis. Sedangkan sastra mengasah rasa dan kepekaan terhadap lingkungan.

Dewasa ini, sambung Roni, berbicara tentang pendidikan jurnalis hanya sebatas kemampuan menulis dan membuat konten.

Padahal, sarjana mana pun bisa belajar memproduksi konten hanya dengan pendidikan selama sepekan saja. Wajar saja, bila kemudian konten-konten yang keluar pun hanya sebatas informasi tentang peristiwa. Taruhan para jurnalis jaman now adalah profit bagi perusahaan, bukan lagi imajinasi tentang peradaban madani.

Wajar saja mereka melabeli diri sebagai "kuli tinta". Padahal, menurut Roni lagi, tugas utama seorang jurnalis adalah "penjaga pelita peradaban". Bukan hanya sebatas pekerja yang rela melakukan keinginan atasannya.

Banyak hal lagi yang kami bicarakan dalam obrolan ngaler-ngidul selama dua jam tersebut.

Pada akhir obrolan, kami bercita-cita untuk membangun lembaga riset tentang media dan jurnalisme. Fungsinya, selain sebagai pengamat media, juga mengkaji terobosan-terobosan terbaru soal jurnalisme dengan tetap memegang prinsip keberpihakan kepada masyarakat dan peradaban. Semoga terwujud.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun