Siapa yang pernah mendengar nama Raja Ampat pada awal milenium ketiga ini? Rasanya, nama tersebut terdengar asing pada awal tahun 2000 lalu, bahkan oleh orang Indonesia sekali pun. Namun, kini, kabupaten yang berbatasan dengan Filipina dan Palau tersebut menjadi salah satu destinasi wisata teratas di Indonesia, bahkan di dunia.
Mengumandangkan nama Raja Ampat memang tidak semudah mengetikkan kata kunci di mesin pencari Google. Penggagasnya harus berhadapan dengan berbagai tantangan yang merintang, termasuk pemerintah kabupaten dan masyarakat adat. "Malah, kami pernah diusir dan didenda 30 juta Rupiah oleh salah satu ketua adat (di Raja Ampat)," ungkap salah satu penggagas eko-wisata asal Raja Ampat, yang saya sengaja samarkan namanya dalam tulisan ini.
Titik genting lahirnya Raja Ampat sendiri terjadi pada rentang waktu 2003 sampai 2009. Kala itu, sekelompok orang di bawah bendera sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang pelestarian lingkungan hidup tengah menggenjot kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan bahari di sekitarnya. Salah satu caranya dengan mengembangkan eko-wisata berbasis bahari.
Kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah masyarakat. Tentunya, konsekuensi ini jauh dari keindahan foto-foto Raja Ampat yang kerap kita temukan di internet. Pasalnya, mereka harus berkeliling ke 117 desa untuk mensosialisasikan konsep eko-wisata di daerahnya masing-masing.
Sang penggagas eko-wisata Raja Ampat menyampaikan bahwa masyarakat Papua Barat sangat patuh terhadap pemerintahan adat di setiap desa. Oleh karena itu, para penggagas menitik-beratkan komunikasi dan sosialisasi kepada para ketua adat di setiap desa.
"Butuh waktu 5 hari untuk mensosialisasikan konsep eko-wisata di satu desa," ungkap sang penggagas. Total, dia membutuhkan waktu sekitar 585 hari untuk bertandang ke seluruh desa di Raja Ampat, atau sekitar 2 tahun kurang. Proses inilah yang kemudian membangun ketahanan dan kesiapan masyarakat dalam membangun wilayah yang termasuk kesultanan Tidore pada masa lalu.
Selain masyarakat, tantangan lainnya juga muncul dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Dulu, mereka lebih senang menjual kekayaan bumi Papua Barat sebagai Pendapatan Asli Daerah. Selain lebih mudah prosesnya, juga lebih cepat mendapatkan untung.
Hanya saja, pertambangan banyak merugikan alam dan masyarakat Raja Ampat. Selain alam yang rusak, harga jualnya juga sangat rendah. "Satu ton nikel saja dijual dengan harga tiga ribu Rupiah," papar kawan saya yang asli Papua Barat itu. "Untungnya pun hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan rakyat kebanyakan," tandasnya lagi.
Realitas ini membuat para penggagas semakin bersemangat untuk mewujudkan Raja Ampat sebagai daerah wisata. Selain untuk menjaga alamnya, konsep wisata juga memungkinkan roda ekonomi masyarakat berputar lebih kencang.
Kawan Papua Barat saya itu menyampaikan bahwa eko-wisata berbasis akar-rumput membuat masyarakat memungkinkan membangun rumah untuk para wisatawan. Peluang ini membantu nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada wisatawan. Para pemilik perahu bisa pula menyewakan alat transportasinya untuk mengantar wisatawan ke tempat-tempat wisata. Hasilnya, tingkat ekonomi mereka pun meningkat dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Kini, setiap tahunnya, Raja Ampat dikunjungi sekitar 16 ribu pengunjung per tahun. Kementerian Pariwisata sendiri menargetkan angka 20 ribu pengunjung sepanjang 2017 ini. "Tampaknya, angka tersebut akan melampaui target tahun ini," prediksi sang penggagas.
Tantangan selanjutnya, sang penggagas memastikan bahwa kunjungan wisatawan ke Raja Ampat harus dijaga di angka 50 ribu kunjungan setiap tahunnya. Pasalnya, menurut penelitian mereka, daya tampung maksimal alam Raja Ampat hanya sebanyak 80 ribu kunjungan per tahun. Lebih dari itu, kunjungan wisatawan justru akan merusak Raja Ampat.
Salah satu upaya untuk menjaga alam Raja Ampat tetap asri, kabupaten tersebut juga menerapkan Environmental Service Fee yang berlaku selama satu tahun. Besarannya pun cukup terjangkau, yaitu satu juta Rupiah untuk wisatawan asing dan 500 ribu Rupiah untuk wisatawan domestik.
Keberadaan Environmental Service Fee sendiri merupakan usulan dari para wisatawan. Pasalnya, para wisatawan ingin memastikan bahwa kunjungan mereka ke Raja Ampat cukup bertanggung jawab terhadap nilai-nilai alam. Pandangan ini yang membuat mereka akhirnya mengusulkan biaya layanan lingkungan tersebut.
Menariknya, wisatawan terlibat juga dalam menentukan besaran Environmental Service Fee. Bersama-sama pemerintahan adat dan pemerintahan kabupaten, mereka mempertimbangkan besaran angka tersebut setiap tahunnya. Faktor inilah yang kemudian membuat para wisatawan yang datang ke Raja Ampat memiliki kesadaran untuk membayar, sekaligus menjaga lingkungan tetap asri.
Hasil kerja keras sang penggagas dan timnya memang tidak pernah ada dalam benak para wisatawan Raja Ampat. Namun, siapa sangka, masyarakat menikmati manisnya perjuangan para penggagas eko-wisata di Raja Ampat. Bahkan, pemerintah daerah pun berbalik mendukung penuh sektor pariwisata berbasis keramahan ekologi laut di Raja Ampat.
Bagi saya, berkunjung ke Raja Ampat bukan lagi bercerita tentang menikmati keindahan alam Papua Barat dan biota lautnya. Lebih dari itu. Saya belajar tentang ketulusan para penggagas eko-wisata Raja Ampat untuk menjaga alam dan membangun masyarakat. Juga belajar bahwa cita-cita besar akan terwujud bila ditebus dengan kerja keras, kesabaran, dan kegigihan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H