Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Belajar Kemandirian dari Terowongan Air Desa Puncak Baru

31 Mei 2017   02:36 Diperbarui: 31 Mei 2017   09:27 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang kawan-kawan pikirkan tentang terowongan tempat saya berfoto? Terowongan peninggalan Belanda kah? Atau terowongan peninggalan Jepang? Namun, bagaimana bila terowongan ini merupakan terowongan air yang dibangun masyarakat secara manual dan mandiri? Terdengar mustahil, kan? Namun, itulah yang terjadi di Desa Puncak Baru, Kec. Cidaun, Kab. Cianjur, Jawa Barat.

Terowongan Adi Safarwadi namanya. Masyarakat Puncak Baru menggalinya selama 4 bulan 10 hari untuk mengalirkan air dari balik bukit ke desanya. Mereka bekerja siang-malam tanpa henti menggali batuan keras sepanjang 140 meter dengan alat seadanya. Ajaibnya lagi, hanya dua orang yang benar-benar mendedikasikan waktunya untuk membuat terowongan tersebut. Mereka bekerja tanpa pamrih dan tanpa bayaran sepeser pun. "Hanya untuk membuat generasi sesudahnya berkecukupan air sepanjang waktu," ungkap Mastur Wardi, penggagas sekaligus salah satu penggali terowongan tersebut.

Desa Puncak Baru sendiri merupakan desa di sebuah puncak barisan perbukitan yang berbatasan langsung dengan Desa Selaawi, Talegong, Garut. Meskipun secara administratif masuk ke wilayah Kabupaten Cianjur, tetapi akses menuju Desa Puncak Baru justru harus melewati kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Bahkan, untuk menuju pusat Kecamatan Cidaun, masyarakat Puncak Baru harus melewati halaman depan rumah masyarakat yang tinggal di kabupaten tetangganya.

Dari Bandung sendiri terdapat dua jalur untuk mencapai Desa Puncak Baru. Jalur paling pendek dan cepat serta mudah yaitu melewati Pangalengan, Kab. Bandung, melalui Desa Selaawi, Kec. Talegong, Kab. Garut. Selepas Desa Selaawi, bayangan jalan yang mulus beraspal langsung hilang dan berganti jalanan berbatu selebar dua motor. Motor harus melalui jalanan berliku serta menurun dan menanjak dengan sudut sekitar 45 derajat. Menantangnya, kita harus berhadapan dengan jurang di satu sisi jalan. Sedangkan sisi lainnya merupakan tebing yang tinggi.

Pengemudi motor harus benar-benar menahan kecepatannya agar tidak melebihi 10-20 Kilometer per jam, baik di jalan menanjak maupun menurun. Lebih cepat dari itu, bisa dipastikan semua aksesoris motor bisa rontok akibat guncangan yang sangat hebat ketika melewati jalan berbatu. Apalagi bila shockbreaker motor mati. Kecepatan di atas 5 Kilometer per jam bisa berakibat rontoknya mesin motor. Menantangnya, jalur berbatu ini terpapar hingga 5 sampai 7 Kilometer dari jalan paling ujung Desa Selaawi hingga kantor Desa Puncak Baru dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Total waktu yang dibutuhkan dari Pangalengan sekitar dua jam.

Adapun jalur melalui Ciwidey lebih lebar dan bisa dilalui oleh mobil. Meskipun demikian, masyarakat setempat menyampaikan bahwa jalur ini lebih jauh dengan waktu tempuh antara empat hingga enam jam dari Ciwidey. Selain itu, jalur ini harus melalui hutan lindung yang terpapar di lebih dari setengah perjalanan. Kondisi jalannya sendiri lebih baik sedikit dibandingkan jalur yang melalui Desa Selaawi.

Kondisi jalan menuju Desa Puncak Baru melalui Selaawi, Kec. Taregong, Garut. (Foto: Solihin N)
Kondisi jalan menuju Desa Puncak Baru melalui Selaawi, Kec. Taregong, Garut. (Foto: Solihin N)
Minimnya akses transportasi ini membuat kondisi masyarakat Puncak Baru di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi relatif rendah dibandingkan desa tetangganya di Kabupaten Garut. Hal ini diperparah dengan minimnya kesediaan air, bahkan untuk sekedar mandi dan membersihkan badan. Meskipun demikian, kondisi ini tidak membuat masyarakat hanya berpangku tangan dan menunggu bantuan pihak luar. Alih-alih, mereka bahkan berusaha untuk menemukan solusinya secara mandiri.

Salah satunya adalah krisis air bersih. Sejak lama, desa ini selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau. Pada masa lalu, masyarakat harus puas dengan sawah yang hanya bisa ditanami sekali dalam setahun. Bagi peternak domba dan kerbau, mereka harus mencari dan mengumpulkan rumput ke wilayah yang lebih jauh dan memiliki sumber air pada musim kemarau.

Kondisi ini membuat masyarakat berusaha membangun saluran irigasi dari sumber air di hutan lindung menuju desa. Jaraknya pun cukup jauh, sekitar 7 Kilometer. Usaha ini mereka lakukan secara gotong royong dan mandiri sejak 1976. Caranya pun sederhana, yaitu dengan menyusun batu-batu besar dicampur dengan tanah agar air mengalir ke desa sesuai dengan harapan. Meskipun demikian, usaha mereka harus berhenti. Pasalnya, jalur irigasi yang mereka bangun harus berujung di sebuah bukit yang cukup tinggi. 

Proses pembuatan saluran irigasi yang didanai oleh donatur. (Foto: Solihin N)
Proses pembuatan saluran irigasi yang didanai oleh donatur. (Foto: Solihin N)
Satu-satunya cara agar air bisa mengalir ke desa adalah menggali terowongan dan menembus bukit tersebut. Karena harapan dan cita-cita masyarakat yang sangat tinggi agar air mengalir sepanjang tahun di desa, mereka pun mengumpulkan dana untuk membayar konsultan terowongan dari desa tetangga. Adapun proses penggalian terowongannya dilakukan secara mandiri dan gotong royong. Setelah konsultan bersedia dan titik penggalian ditentukan, masyarakat pun mulai menggali terowongan pada 2001 silam.

Naas, terowongan pun rubuh. Penyebabnya sederhana, area terowongan terdiri dari tanah dan batuan, sehingga terlalu rapuh dan kerap longsor di dalam terowongan. Bahkan, lima orang masyarakat desa sempat tertimbun di dalam terowongan. Beruntung, mereka bisa diselamatkan dan keluar dalam keadaan hidup.

Trauma dengan kejadian tersebut, masyarakat akhirnya berusaha menghapus impian agar air mengalir sepanjang tahun ke Desa Puncak Baru. Namun, beberapa orang masih menyimpan harapan dan cita-cita tersebut, termasuk Mastur Wardi. Bahkan, 10 tahun setelah kejadian tersebut, dia bersama beberapa orang berusaha menggali terowongan menembus bukit di lokasi yang baru. Berbeda dengan lokasi yang lama, titik terbaru ini berupa batu yang cukup keras.

Usia Mastur Wardi kala sudah tidak lagi muda ketika harus menggali terowongan pada 2011 lalu. Meskipun demikian, Kakek kelahiran 1940-an ini masih bersemangat dan memiliki harapan tinggi agar air mampu tembus bukit. Dan benar saja, terowongan ini berhasil menembus sisi di balik bukit 130 hari kemudian. Sejak saat itu, wajah Desa Puncak Baru mulai berubah. Desa yang dulunya kesulitan air, kini masyarakatnya mulai bisa mencuci dan mandi di rumah mereka masing-masing. Sawah-sawah pun bisa ditanami dua kali dalam setahun dengan rumput yang selalu tumbuh sepanjang tahun.

Suasana di dalam terowongan Adi Safarwadi. (Foto: Solihin N)
Suasana di dalam terowongan Adi Safarwadi. (Foto: Solihin N)
Bantuan dari pemerintah dan pihak lain justru baru hadir ketika pekerjaan sudah selesai. Pemerintah merasa harus membantu ketika masyarakat sudah menawarkan solusi dan bergotong royong untuk mewujudkannya. Meskipun demikian, mereka bersyukur dengan bantuan tersebut dan menggunakannya untuk memperkuat saluran irigasi di beberapa titik yang masih rapuh.

Mastur, tokoh masyarakat Puncak Baru, mengakui bahwa pihaknya enggan meminta bantuan pemerintah untuk mengatasi permasalahan warga. Terlebih lagi, pada era orde sebelumnya, pemerintah hanya sibuk sendiri dan memprioritaskan wilayah-wilayah yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan. "Kalau mau nunggu pemerintah, kapan selesainya," ungkapnya, ketika bercerita kepada saya.

Solihin Nurodin, penggiat masyarakat di Desa Puncak Baru mengamini ujaran Mastur, ayahnya. Bahkan, menurut mantan penggiat PNPM ini, bantuan pemerintah seringkali menimbulkan konflik di masyarakat. Hal ini terjadi ketika bantuan pemerintah untuk memperkuat irigasi masuk ke Puncak Baru. Alih-alih memperkuat solusi yang telah ada, bantuan tersebut justru membuat masyarakat saling curiga, dan berakhir pada berkonfliknya masyarakat, bahkan hingga saat ini.

Kini, Solihin berusaha untuk meneruskan cita-cita ayahnya untuk membangun Desa Puncak Baru. Langkah pertamanya adalah menyatukan kembali warga yang tercerai-berai. Selain itu, bapak dua puteri ini juga berupaya membangun mental masyarakat untuk mencari dan membangun solusi. Karena, dia percaya, mental ini justru membantu untuk membangun kemandirian masyarakat. "Bukan modal atau pun uang," tandasnya.

Saat ini, terowongan Adi Safarwadi masih bisa saya nikmati ketika berkunjung ke Desa Puncak Baru beberapa waktu lalu. Tidak hanya menikmati suasana yang gelap dan menantang ketika berjalan menembus terowongan air. Namun juga menikmati pelajaran kemandirian dan perjuangan masyarakat Desa Puncak Baru untuk mewujudkan solusi atas permasalahan-permasalahan di desanya.***


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun