Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Angkot Mogok, Apa Paradigma Politik Anda?

21 Maret 2017   13:33 Diperbarui: 21 Maret 2017   22:16 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusul Bandung, hari ini angkot di Bogor juga demo dan menghentikan aktivitasnya melayani penumpang. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi online. Alih-alih menilai aksi para supir angkot, saya justru tertarik untuk menulis pandangan politik masyarakat dari mogoknya supir angkot.

Berbicara politik, ada banyak paradigma yang berkembang sejak abad pertengahan. Saya pribadi tidak memiliki latar belakang ilmu politik sedikit pun. Namun, aktivitas saya beberapa tahun lalu bersentuhan dengan kajian ilmu politik internasional. Begitu rumit, hingga saya hampir tidak pernah memahami pembicaraan ilmu politik tersebut. Beruntung, seorang kawan jebolan hubungan internasional sebuah perguruan tinggi termuka di Bandung berhasil menjelaskannya dengan sangat sederhana. Dalam tulisan ini, paradigma ini yang akan saya gunakan untuk membedah pandangan masyarakat ketika "memandang" aksi mogok supir angkot tersebut.

Sebutlah nama teman saya itu John Doe. John menjelaskan bahwa dalam ilmu Hubungan Internasional, terdapat 4 paradigma politik utama. Keempat paradigma tersebut adalah Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme, dan Strukturalisme. Secara sederhana, John menyampaikan bahwa Realisme merupakan paradigma politik yang menitikberatkan kepada peran pemerintah. Dari mulai hal kecil sampai besar, semua-muanya kembali lagi ke pemerintah. Salah satu paham yang menganut Realisme adalah Sosialisme.

Paradigma selanjutnya, lanjut John, adalah Liberalisme. Paradigma ini menitikberatkan kepada individu. Mereka yang memiliki paradigma ini cenderung melihat individu sebagai aktor dari segala hal di dunia ini, termasuk melihat organisasi atau bahkan pemerintah. Adapun paradigma Konstruktivisme melihat segala hal dalam konteks sistem. Misalnya saja, isu kemiskinan di negara-negara berkembang akibat sistem kapitalisme yang menjerat masyarakat di tingkat bawah.

Terakhir, John Doe menyebutkan Strukturalisme. Paradigma ini menitikberatkan kepada akses. Misalnya, ada orang bodoh itu karena tidak ada akses pendidikan, dan keberadaan orang miskin itu karena tidak adanya akses terhadap bank. Paham yang menganut Strukturalisme adalah Komunisme dan Marxisme.

Selanjutnya, mari kita menggunakan keempat paradigma tersebut untuk melihat mogoknya supir angkot yang protes atas keberadaan ojek online. Bagi seorang penganut Realisme, aksi supir angkot itu dipicu karena minimnya campur tangan pemerintah untuk mengatur ojek online. Solusinya dari penganut Realisme adalah campur pemerintah, misalnya: untuk menghentikan ojek online, atau meningkatkan kesejahteraan supir angkot.

Sedangkan seorang penganut Liberalisme akan melihat subjek masalahnya adalah individu. Misalnya saja, supir angkot kalah bersaing, sehingga terlibas oleh ojek online. Solusi penganut paradigma ini adalah individu-individu yang terlibat harus mencari jalan keluarnya. Misalnya, supir angkot meningkatkan pelayanannya, atau pemilik aplikasi ojek online memberikan persenan kepada supir angkot.

Lalu, penganut Konstruktivisme melihat penyebab mogoknya supir angkot karena tidak ada sistem atau aturan atau kesepakatan antara supir angkot dan ojek online. Solusinya, tentu para supir angkot dan ojek online harus membuat aturan bersama yang menguntungkan satu sama lain. Misalnya, ojek online boleh beroperasi di atas jam 6.

Dan terakhir, penganut Strukturalisme akan melihat penyebab aksi mogok tersebut dengan terlalu berlebihannya akses yang dimiliki oleh ojek online dan minimnya akses supir angkot kepada penumpang. Solusinya, tentunya mengatur akses para pihak. Misalnya, ojek online tidak boleh mengakses penumpang di wilayah-wilayah operasional supir angkot. Atau meningkatkan akses penumpang agar bisa menggunakan angkot, seperti: rutenya diperbanyak atau jam operasional angkot diperpanjang.

Tentunya, keempat paradigma ini terlalu sederhana dan hanya mensimulasikan realitas, serta bukan realitas itu sendiri. Selain itu, masing-masing paradigma bisa saling bersatu dan membentuk paradigma baru. Misalnya saja, Sosdem a.k.a Sosial-Demokrasi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara Eropa Barat. Paradigma ini menggabungkan Realisme dan Liberalisme.

Kembali ke supir angkot, jadi, apakah paradigma politik Anda? Jawabannya, pandangilah aksi mogok supir angkot, dan temukan paradigma politik Anda. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun