Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Apau Kayan, Denyut Peradaban Sungai di Halaman Terdepan Indonesia

20 Maret 2017   16:12 Diperbarui: 21 Maret 2017   08:00 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bangunan gereja di Desa Long Nawang. Sama seperti bangunan lainnya, gereja terbuat dari kayu. Di sebelah gereja ini sedang dibangun gereja yang lebih besar berbahan beton. (Foto: Yudha PS)

Adapun sapi dan kambing, masyarakat Long Nawang tidak pernah memasukkan kedua hewan tersebut sebagai pilihan konsumsi. Bagi mereka, rasa daging kambing sendiri tidak cocok dengan lidah sebagian besar masyarakat Long Nawang.

Sedangkan sapi, masyarakat tidak terlalu suka dengan hewan yang satu ini. Pasalnya, mereka menilai hewan ini cukup jorok dan menjijikan. Pandangan ini bermula ketika masyarakat Long Nawang mendapatkan bantuan sapi dari pemerintah. Sapi-sapi ini biasanya mereka gembalakan di sekitar kuburan.

Kala itu, masyarakat Apau Kayan belum mengubur jenazah orang-orang yang wafat. Umumnya, jenazah di tempatkan di sebuah rumah panggung seukuran peti mati di area pemakaman. Pada bulan-bulan awal, jenazah ini terurai bakteri dan mengeluarkan cairan hitam.

Cairan hitam ini kemudian menetes dan mengalir di tiang-tiang rumah panggung kuburan. Nah, sapi-sapi ini kerap terlihat menjilati cairan hitam yang berasal dari jenazah tersebut. Hal inilah yang membuat masyarakat Long Nawang antipati terhadap sapi, sampai saat ini. Meskipun semua jenazah di Apau Kayan sudah dikubur di dalam tanah, tetapi memori tentang sapi yang menjilati cairan hitam jenazah masih terpatri di dalam kenangan mereka.

Sumber kehidupan lainnya adalah ladang. Masyarakat Long Nawang membuka ladang di hutan yang berstatus tanah milik desa. Umumnya, mereka menanam tumbuhan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti: padi ladang dan sayuran.

Terkait aktivitas berladang, Pemerintah Malinau sendiri beberapa kali memberikan bantuan bibit-bibit tanaman kepada masyarakat Long Nawang. Bibit terakhir adalah nanas. Masyarakat langsung menanamnya secara besar-besaran di lahan mereka. Sayangnya, setelah tanaman nanas panen, tidak ada solusi untuk mendistribusikannya ke daerah lain. Akhirnya, nanas-nanas itu membusuk dan terbuang dengan percuma.

Pemerintah memang giat memberikan bantuan ke Long Nawang. “Sayangnya, bantuan bibit tersebut tidak diiringi dengan visi paska panennya,” tandas Juni Ibau, guru yang jadi teman diskusi selama saya menginap di rumahnya di Long Nawang. Juni kemudian tertarik ketika saya menceritakan kisah seorang kawan yang menanam kopi di dataran tinggi Cimenyan, Bandung.

Menanam kopi membutuhkan tegakkan berupa pepohonan yang tinggi dan meneduhkan sekelilingnya. Dengan hutan yang masih asri, masyarakat bisa menanam kopi di tengah-tengah hutan tanpa menebang pepohonan yang berada di dalamnya. Pilihan ini tampaknya lebih bijak dibandingkan menanam sayuran dan tanaman buah-buahan non-kayu yang harus membabat hutan dan pepohonan.

Di tambah lagi, kopi merupakan komoditas pertanian yang mampu bertahan lama ketika sudah diolah dan dikeringkan, sehingga jauh dari ancaman membusuk dan terbuang percuma. Terlebih lagi, nilai kopi cenderung tinggi di pasaran internasional. Bila berhasil mendapatkan jalur distribusi yang tepat, tentunya kopi bisa meningkatkan perekonomian masyarakat Long Nawang.

***

Cerita tentang Desa Long Nawang dan Apau Kayan banyak hilang dari benak masyarakat Indonesia saat ini. Di mata pemerintahan Indonesia sebelumnya, daerah ini dilihat sama seperti wilayah-wilayah perbatasan dan pedalaman Indonesia pada umumnya: terpencil, terpinggirkan, dan tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun