Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Apau Kayan, Denyut Peradaban Sungai di Halaman Terdepan Indonesia

20 Maret 2017   16:12 Diperbarui: 21 Maret 2017   08:00 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai agama “pendatang”, Kristen di Long Nawang beralkulturasi dengan nilai-nilai tradisi Apau Kayan. Salah satunya tampak dalam tradisi terkait kematian dan pemakaman. Masyarakat Long Nawang masih menggunakan peti mati yang dipahat dari kayu besar, seperti pendahulu mereka. Di setiap makam juga dibuat rumah-rumah kecil dengan ornamen tradisi dayak. Adapun salib ditempatkan di bagian depan masing-masing rumah makam tersebut.

Ada satu hal yang unik dalam hal pemakaman ini. Bagi keturunan Long Nawang yang meninggal dan dimakamkan di tempat lain, masyarakat di sini membuatkan sebuah tugu besar di area pemakaman. Tugu yang terbuat dari kayu ini berbentuk tombak dengan ornamen dayak. Tugu ini untuk mengenang kepergian keturunan Dayak Kenyah yang meninggal dan dikebumikan di luar desa.


Kehidupan di Long Nawang relatif hening dan tenang serta aman. Masyarakatnya masih memegang teguh dua kunci khas desa, yaitu: kejujuran dan gotong royong. Nilai-nilai kejujuran sendiri tercermin dari keamanan lingkungan di Desa Long Nawang. Saking amannya, motor yang mereka gunakan selalu terparkir di pinggir jalan tanpa dikunci stangnya, bahkan selama 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan.

Menariknya lagi, motor yang diparkir sekitar satu sampai dua jam di pinggir jalan, pemiliknya tidak pernah mencabut kuncinya. Hal yang lebih ekstrim lagi, sebagian warga bahkan menghilangkan fungsi kunci di motornya. “Buat apa motor pakai kunci kalau daerah kami aman?” tutur Juni, menirukan orang-orang beraliran ekstrim terkait keberadaan kunci motor.

Di beberapa rumah juga terdapat “Warung Kejujuran”. Salah satu yang saya temui adalah rumah petani cabai rawit yang menjual hasil panennya di depan rumah. Sang petani hanya menaruh cabai rawit yang telah dikemas dengan takaran tertentu. Di sebelahnya terdapat kaleng tempat pembeli menyimpan uang. Tidak lupa juga harga jual beserta petunjuk bagi mereka yang hendak membeli cabai.

Bagi para pembeli yang berminat dengan cabai rawit tersebut tinggal meninggalkan uang sebesar sepuluh ribu Rupiah dan mengambil cabainya. Bila nilai uangnya lebih besar dibandingkan harga cabai yang tertera, sang pembeli tinggal menaruh uangnya dan mengambil kembaliannya.

Sedangkan gotong royong tampak dari kekompakkan warga dalam konteks komunitas. Salah satunya terlihat dari aktivitas kerja bakti desa setiap Senin. Dengan kesadarannya masing-masing, mereka pergi ke luar rumah dan bekerja sama untuk membersihkan lingkungan di sekitar desa. Tanpa mengenal usia dan jenis kelamin serta profesi, masyarakat Long Nawang membawa parang dan pacul kemudian mulai bekerja dari pagi sampai siang menjelang.

Gotong royong dan kejujuran ini pula yang membuat suasana desa menjadi guyub. Suasana yang membuat siapa pun betah untuk datang dan menetap serta mengenangnya ketika pergi. Bahkan, suasana yang membuat pendatang dari kota seperti saya bermimpi dan berharap, “Semoga, suasana ini juga hadir di kota saya, bahkan negara saya, Indonesia.”


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun