Sebagai contoh, ada tabrakan antara bebek dan sepeda motor yang menewaskan pengendara sepeda motor. Informasi tentang peristiwa tersebut akan semakin akurat dan mendekati kebenaran pada narasumber yang melihat langsung kejadian tersebut.
Informasi akan semakin terdistorsi dan jauh dari kebenaran seiring semakin jauhnya narasumber dari sumber informasi. Dalam hal ini, tentunya, narasumber yang melihat langsung kejadiannya lebih akurat informasinya dibandingkan dengan narasumber ketiga, misalnya, yang mendapatkan informasinya dari narasumber kedua, yang dia pun hanya mendengarkan informasinya dari narasumber pertama.
Mengenai hal ini, saya jadi teringat permainan Pesan Berantai ketika SMA dulu. Kala itu, satu kelompok dibagi menjadi 5 orang. Orang pertama akan diberikan sebuah kalimat yang harus dihafal dalam jangka waktu 1 menit. Setelahnya, orang pertama tersebut harus memberitahukan pesannya kepada orang kedua dalam jangka waktu 1 menit. Pun seterusnya hingga orang kelima. Untuk menentukan kelompok pemenang, wasit akan menilai keutuhan pesan yang disampaikan oleh orang kelima.
Kembali ke penyu, eh, aktivitas ilmiah. Kutipan ide atau pernyataan seseorang diperlukan untuk menilai tingkat akurasi jawaban dari sebuah pertanyaan penelitian. Bila dia mampu menunjukkan bukti-bukti dari “narasumber” yang diakui, maka gagasannya dinilai layak secara akademis.
Oleh karena itu, fokeus seseorang yang hendak melakukan aktivitas ilmiah adalah membuat pertanyaan, kemudian mencari jawabannya dari berbagai literasi. Bukan justru mengeluh karena dipatok harus mengutip sekian ide atau pernyataan. Dalam hal ini, 5W+1H adalah alat yang mumpuni untuk membangun pertanyaan tersebut. Adapun jawabannya, tetaplah KEPO, sebagaimana seorang jurnalis melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H