Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalisme Kepiting a la Kompas

5 Agustus 2015   01:01 Diperbarui: 5 Agustus 2015   01:01 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama belajar tentang jurnalisme, saya baru mendengar ada istilah “Jurnalisme Kepiting”. Istilah ini bukan merujuk kepada sebuah aliran jurnalisme di dunia ini, melainkan hanya sebuah sindiran yang dilontarkan kepada harian umum Kompas pada era akhir 1970-an.

Adalah Rosihan Anwar, tokoh pers Indonesia yang pertama kali melontarkan sindiran “jurnalisme kepiting” tersebut. Pasalnya, Kompas lebih memilih jurnalisme yang lebih lembut dan dinamis, dibandingkan surat kabar pada masanya yang menganut jurnalisme keras dan sarat kritik tajam terhadap pemerintahan Soeharto.

Jalan jurnalisme yang lebih halus ini diambil setelah Kompas dibredel selama tiga pekan oleh pemerintahan Soeharto pada awal 1978. Saat itu, Jakoeb Oetama berusaha fokus untuk membangun strategi agar Kompas bisa kembali hadir dan melayani publik.

Sebagai konsekuensinya, Kompas harus mentaati sejumlah larangan yang digariskan oleh Orde Baru dalam melakukan tugas jurnalismenya. Meskipun dikritik oleh tokoh pers dan ditentang oleh sebagian awak redaksinya, strategi inilah yang kemudian membuat Kompas bisa mencapai usianya yang ke-50 tahun pada Juni 2015 lalu.

Wartawan Kompas 1978 ST Sularto melihat jurnalisme kepiting Kompas sebagai jalan budaya. “Dan jalan ini ternyata sebuah pencerahan (bagi Kompas),” ungkapnya dalam tayangan dokumenter 50 tahun Kompas episode kedua.

Lebih lanjut, ST Sularto menjeaskan bahwa jurnalisme kepiting yang dimaksud Rosihan Anwar merujuk kepada cara jalan kepiting. Ketika kepiting menemui hambatan di depannya, maka dia akan mundur atau berjalan menyamping lalu mencari jalan lain yang lebih aman. Bila memaksakan diri untuk menabrak halangan di depannya, maka kepiting itu akan mati.

Hal yang sama diibaratkan kepada Kompas. Bila Kompas harus kembali menabrakkan dirinya dengan dinding kekuasaan, yang terjadi selanjutnya, surat kabar tersebut tidak akan pernah ada lagi saat ini.

Rikard Bangun, pemimpin redaksi Kompas 2009-2014, menjelaskan bahwa jurnalisme kepiting merujuk kepada pemberitaan redaksi yang selalu memaksimalkan pemberitaan hingga ambang batas. Ketika mulai ada teguran, kemudian ketajaman pemberitaan diturunkan hingga keadaan pemerintah reda. Begitu seterusnya, hingga pemerintah Orde Baru tumbang dan digantikan reformasi.

Jakoeb Oetama menambahkan bahwa Kompas berusaha lebih dinamis usai dibredel pemerintah. Surat kabar tersebut menerima peringatan dari Orde Baru. Namun, mereka juga memiliki pendapat dan berusaha untuk menyuarakannya secara mandiri. "Hal yang penting adalah message (pesan) yang ingin kita sampaikan bisa sampai kepada publik dan pemerintah yang sedang berkuasa," tandas pendiri Kompas ini.

Daniel Dhakidae, Kepala Litbang Kompas 1995-2005, menambahkan bahwa untuk melihat pesan Kompas jangan melihat apa yang ditulisnya di koran. "Read between the line, baca di antara garis," sarannya. "Memang (cara membaca seperti ini) susahnya minta ampun. Namun, inilah yang menjaga Kompas tetap aman," lanjutnya lagi.

Akibat diterapkannya strategi ini, di dalam awak redaksi Kompas sendiri berkembang guyonan tentang prinsip jurnalisme Kompas, yaitu: 5W+1H+S. Seperti yang kita tahu, 5W+1H merupakan kependekan dari What + Where + When + Who + Why + How. Sedangkan tambahan huruf "S" di belakangnya merujuk kepada kata "Safe" atau aman. Dengan kata lain, setiap wartawan Kompas pada era Orde Baru harus mampu menyajikan tulisan dan foto yang sesuai dengan kaidah jurnalisme dan aman di mata pemerintah.

Jalan panjang jurnalisme Kompas ini kemudian disimpulkan secara apik oleh narator tayangan dokumenter 50 tahun Kompas. Dia menekankan bahwa fungsi jurnalisme yang ideal bukan meliput dan mengkritik secara membabi buta. "Namun, membuka jalan bagi sebuah solusi dengan memaknai peristiwa bagi kemanusiaan," tutupnya.

Bagi teman-teman yang ingin menyaksikan tayangan 50 Tahun Kompas episode kedua, silahkan membuka saluran Kompas TV di Youtube.{*} 

Foto: wikimedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun