Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Liputan bersama Kompas TV, Belajar dari Jurnalis TV (2/3)

29 Juli 2015   01:49 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:26 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mang Tata (berbaju biru - kanan) tengah menunjukkan pohon yang disukai oleh primata hutan. (Foto: Yudha PS)

Mas Ridwan tengah mengambil gambar suasana pagi di Mandalamekar. (Foto: Yudha PS)

Jarum pendek jam dinding begitu beratnya meninggalkan angka 3. Seberat saya yang harus meninggalkan peraduan untuk sahur kala itu. Cuaca yang dingin di luar sana dan sleeping bag yang hangat memang perpaduan yang tepat untuk meneruskan tidur hingga siang menjelang.

Namun, pagi itu, tampaknya bukan pilihan yang tepat untuk berlaku malas di Mandalamekar. Tak lama setelah saya bangun, gempa mengguncang Tasikmalaya dan sekitarnya. Sebentar, tetapi cukup keras dan terbukti membuat panik serta meningkatkan adrenalin siapa pun yang ada di situ, termasuk saya.

“Cuman gempa untuk membangunkan orang sahur,” pak Yana berseloroh dengan santai kepada kami. “Ayo, cepat kita sahur. Hidangan sudah siap,” ajaknya lagi. Dengan segera, saya bersama tim Kompas TV langsung menyantap hidangan sahur buatan istri pak Yana. Masakannya yang lezat, membuat kami nambah, nambah, dan nambah lagi. Sampai adzan subuh berkumandang, tanda waktunya menjalankan ibadah puasa.

Selepas subuh, tim Kompas TV langsung menyamber kameranya. “Cari sunrise,” kata mas Ridwan. Dengan segera, dia bersama mas Anjas mencari posisi yang uenak untuk mendapatkan gambar terbaik. Balkon di rumah pak Yana sang Kepala Desa Mandalamekar segera dijajakinya jengkal demi jengkal. Mereka kemudian mengarahkan kamera ke arah terbitnya matahari, kemudian menunggu matahari nongol.

***

Dua hari bersama tim Kompas TV di Mandalamekar merupakan berkah tersendiri bagi saya. Pasalnya, saya bisa banyak belajar tentang dunia jurnalisme TV kepada mereka. Bagi saya, yang lahir dan besar serta menggeluti di “dunia teks”, dunia audio-visual merupakan sesuatu yang baru dan berbeda.

Tim Kompas tengah mempersiapkan wawancara siswa dan guru SMK. (Foto: Yudha PS)

Mba Yessi sempat menjelaskan bahwa kekuatan utama dunia audio-visual adalah gambar. Untuk menceritakan sesuatu, tim harus berjuang keras untuk memvisualkan data-data yang mereka dapat dari studi pustaka dan wawancara dalam bentuk gambar bergerak dan suara. “Show, not tell,” barangkali ungkapan jurnalisme tersebut cocok untuk membingkai aktivitas tim Kompas TV selama di lapangan, termasuk di Mandalamekar.

Tuntutan tersebut tentunya membuat para jurnalis TV harus bekerja ekstra keras dibandingkan mereka yang menggeluti “dunia teks”. Bagi saya, dan mungkin juga para jurnalis media cetak, hanya cukup mewawancarai narasumber dan mengeksplorasi data secara online atau kepustakaan. Adapun observasi ke lapangan merupakan pilihan ketika data sudah lengkap. Sisanya, saya dan “makhluk dunia teks” lainnya tinggal meramu kata-kata agar pembaca bisa memahami dan membayangkan dalam imajinasinya realitas yang saya dapatkan melalui wawancara dengan narasumber.

Tentunya, hal ini berbeda dengan mba Yessi dan tim Kompas TV. Tugas mereka tidak selesai seiring tuntasnya runtutan wawancara dengan narasumber, seperti halnya para penulis. Selanjutnya, mereka harus memvisualisasikan agar data-data yang didapatnya bisa dirangkai menjadi cerita yang menarik bagi para penontonnya. Mereka harus bekerja keras mengambil gambar di lokasi-lokasi yang dipaparkan oleh narasumber pada wawancara pra-liputan.

Setidaknya, hal inilah yang saya perhatikan selama “mengekor” tim Kompas TV. Pada malam ketika kami tiba di Mandalamekar, mba Yessi dan mas Popo secara serius mengumpulkan data dari perbincangan mereka dengan kang Irman Meilandi. Tidak hanya itu saja. Mereka juga meminta saran lokasi shooting dan narasumber yang harus mereka wawancarai untuk memvisualkan data-data yang mereka punyai.

Setelahnya, mereka tidak langsung tidur. Padahal, waktu sudah hampir mendekati tengah malam. Saya perhatikan, mba Yessi selaku asisten produser langsung membuat daftar gambar yang harus diambil oleh mas Popo dan mas Anjas. Beliau juga mendaftar pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber dan mengarahkan saya untuk pengambilan gambar keesokan harinya.

***

Persiapan penerbangan Drone Desa oleh tim Drone Desa dari Institut Pertanian Bogor (IPB). (Foto: Yudha PS)

Kabut yang menyelimuti Mandalamekar dan dingin yang menerpa perlahan-lahan sirna, digantikan sinaran matahari yang terik dan hangat. Tim Kompas TV baru saja selesai mengambil time lapse matahari terbit. Selanjutnya, petualangan shooting di Mandalamekar yang sebenarnya pun dimulai.

Sebagai pemanasan, mba Yessi dan kawan-kawan Kompas TV memutuskan untuk mengambil gambar penerbangan drone desa dan meliput aktivitas SMK Karya Putra Manggala. Untuk drone desa sendiri, diterbangkan di lapangan belakang SMP 2 Jatiwaras, tak jauh dari kantor Desa Mandalamekar.

Sayangnya, tidak banyak gambar yang bisa diharapkan dari aktivitas drone desa tersebut. Tak lama setelah usaha untuk menerbangkan drone gagal, tim memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya dan menangguhkan proses pemetaan Mandalamekar sampai keesokan harinya.

Pangkal dari keputusan tersebut adalah angin terlalu kencang dengan arah yang berubah-ubah. Hal ini membuat drone kepayahan untuk menggapai ketinggian 400 meter dari permukaan tanah. Ketinggian minimum ini merupakan syarat agar drone bisa terbang dan memetakan wilayah Mandalamekar dengan mode auto-pilot atau secara otomatis. Bahkan, saking kencang dan labilnya angin, drone berbentuk pesawat berbaling-baling satu tersebut sempat kehilangan kendali serta menabrak pohon dan menyangkut.

Dari kiri ke kanan: mas Popo, mas Anjas, mas Ridwan, dan mba Yessi. Mereka tengah menunggu drone yang tersangkut di pohon. (Foto: Yudha PS)

Tanpa membuang waktu, tim Kompas langsung berpindah ke agenda peliputan selanjutnya: SMK Karya Putra Manggala. Aktivitasnya pun sederhana: mewawancarai narasumber dan melakukan simulasi aktivitas sehari-hari SMK pertama di Desa Mandalamekar ini. Simulasi ini dilakukan karena aktivitas belajar di sekolah tersebut tengah libur. Beruntung, seluruh siswa SMK sedang berkumpul, sehingga tidak sulit untuk melakukan simulasi belajar mereka.

Cukup lama waktu yang dibutuhkan untuk meliput SMK Karya Putra Manggala. Meskipun pengambilan gambar cukup sederhana dan mudah, tetapi ada faktor non-teknis yang membuat proses tersebut diulang beberapa kali: narasumber gugup di depan kamera.

Mba Yessi sampai beberapa kali berusaha menenangkan siswi yang menjadi narasumber liputannya tersebut. Bahkan, untuk membuat sang narasumber nyaman, mba Yessi sampai memperbolehkannya menjawab menggunakan Bahasa Sunda. Strategi ini berhasil membuat narasumber menyelesaikan sesi wawancaranya dengan cukup baik.

Aktivitas meliput SMK Karya Putra Manggala diakhiri dengan simulasi proses belajar yang berbeda dibandingkan sekolah-sekolah pada umumnya. Siswa belajar secara melingkar dengan guru di tengahnya. Aktivitas belajar yang diadaptasi dari Pramuka ini membawa pengalaman belajar yang cukup disenangi oleh para siswa. Lebih jauh mengenai cerita SMK Karya Putra Manggala dan Drone Desa akan saya paparkan dalam tulisan lainnya.

***

Simulasi belajar siswa SMK di kelas. (Foto: Yudha PS)

Matahari mulai beranjak terik ketika kami mulai melakukan proses pengambilan gambar untuk episode Cerita Indonesia Kompas TV tentang Mandalamekar. Konsepnya, saya seperti merekonstruksi perjalanan saya ke Mandalamekar beberapa tahun silam dan melakukan wawancara ke beberapa narasumber. Dengan kata lain, saya sebagai “pemeran utama” dalam episode Cerita Indonesia tentang Mandalamekar.

Sejujurnya, saya pribadi tidak terlalu suka tampil di depan layar. Maklum, sejak berkecimpung di dunia media, saya lebih banyak menjadi orang di balik layar. Mulai dari penulis skrip, pemegang kamera, sampai editor pernah saya lakoni. Saya terbiasa mengarahkan orang dan mengolah hasilnya. Dan sekarang, saya harus berada di posisi yang membuat banyak orang seringkali merasa gugup. Ah, karena cuma sesekali, saya pun berusaha melakoni peran saya semaksimal mungkin.

Teriknya matahari tidak menyurutkan tim Kompas TV beraktivitas siang itu. Padahal, mereka semua sedang berpuasa, termasuk mba Yessi yang seorang Nasrani. “Kalau (aktivitas tim) diselingi oleh makan siang saya, nanti agenda pengambilan gambar malah terhambat,” begitu jawabnya, mentoleransi ibadah puasa tim. Saya benar-benar terharu mendengar komentarnya.

Kembali ke aktivitas pengambilan gambar. Saya diminta oleh mas Popo untuk menaiki motor dan bertemu dengan narasumber pertama, mang Tata Sumitra. Mang Tata sendiri merupakan wakil ketua dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mitra Alam Munggaran. KSM ini merupakan ujung tombak aktivitas pembangunan hutan di Mandalamekar dalam kurun waktu 10 - 15 tahun terakhir.

Saya, mang Tata, dan tim Kompas TV melakukan pengambilan gambar di area hutan Pasirsalam. Untuk menuju lokasi ini, kami harus berjalan sejauh lebih-kurang 3 Kilometer dari rumah Kepala Desa Mandalamekar. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi jalanan berbatu yang agak menanjak dan ditemani matahari tengah hari bulan Ramadhan. Mas Popo dan mas Ridwan bahkan memanggul tripod dan membawa kameranya masing-masing, tanpa bantuan siapa pun. Padahal, barang-barang yang mereka bawa beratnya mencapai 5 Kilogram.

Sesampainya di lokasi, suasana agak teduh dipayungi tajuk pohon hutan lindung Pasirsalam. Kami melakukan aktivitas pengambilan gambar tepat di pinggiran hutan yang berbatasan dengan perkebunan masyarakat. Kondisi masing-masing lahan sangat kontras. Kondisi di dalam Hutan lindung Pasirsalam sangat gelap. Pepohonan tumbuh dengan sangat rapat dan ukurannya pun besar-besar. Adapun lahan hutan milik masyarakat sangat terang dengan jarak antar pohon cukup jauh dan usia pohon masih sangat muda.

Mang Tata (berbaju biru - kanan) tengah menunjukkan pohon yang disukai oleh primata hutan. (Foto: Yudha PS)

Mang Tata memberitahukan bahwa kondisi hutan Pasirsalam dahulu hampir menyerupai lahan hutan milik masyarakat di sebelahnya: jarang pohon dan gersang. Namun, kondisinya saat ini jauh berbeda. Semenjak ditanami kembali, hutan di Pasirsalam hijau kembali. Bahkan, beberapa spesies khas Mandalamekar mulai muncul lagi, setelah sempat dinyatakan punah 2 dekade lalu.

Mang Tata menyebutkan salah satu contohnya adalah bambu berduri. Bambu ini cukup unik karena memiliki duri besar-besar di permukaan kulitnya hingga ketinggian 2 meter dari tanah. Hal ini berbeda dengan bambu-bambu lainnya yang tidak memiliki duri sedikit pun. Bambu berduri ini pernah menghilang ketika hutan di Mandalamekar tak berpohon. Namun, saat ini, bambu tersebut bisa dengan mudah ditemui di hutan-hutan di Mandalamekar, khususnya area hutan lindung Pasirsalam.

Cerita lainnya yang mang Tata sampaikan adalah konsep perkebunan penyangga hutan. Konsep ini merujuk pada lahan di sekitar hutan yang ditanami buah-buahan yang memiliki kayu keras, seperti durian, rambutan, cengkeh, kopi, dan nangka. Antara hutan dan kebun penyangga ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Bagi tumbuhan di perkebunan, hewan-hewan di dalam hutan membantu meningkatkan kualitas buah-buahannya. Sedangkan bagi hutan, kebun ini menjaganya dari perambahan pohon-pohon di hutan lindung.

Hal ini akan lain ceritanya bila lahan yang berbatasan dengan hutan ditanami pohon untuk ditebang, seperti jati dan sengon. Jenis kebun seperti ini umumnya meningkatkan ancaman terhadap perambahan hutan. Ketika musim panen tiba, seringkali orang-orang tidak hanya memanen kayu dari lahannya, tetapi juga dari hutan, seperti yang terjadi beberapa dekade sebelumnya.

Meskipun begitu, upaya ini masih perlu sosialisasi ke masyarakat pemilik lahan yang berbatasan dengan hutan. Mereka masih melihat nilai nominal kayu keras yang begitu besar dibandingkan menanam pohon buah-buahan. Padahal, bila dibandingkan dalam durasi waktu yang sama, sekiar 10-15 tahun, bisa jadi nominal dari panen buah-buahan lebih besar dibandingkan nominal dari kayu keras.

Hampir 2 jam kami berjalan-jalan di area hutan Pasirsalam sembari melakukan pengambilan gambar. Di ujung jalan, mang Tata memperlihatkan perkebunan penyangga hutan yang ditanami pohon buah-buahan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang sedang dalam status “panen”. Meskipun begitu, saya cukup takjub ketika melihat sebuah pohon durian yang tingginya 4 kali tiang listrik di perkotaan. Bila musim panen tiba, saya tidak bisa membayangkan cara pemiliknya untuk memanen semua durian yang ada di pohon tersebut.

Sambil membawa tripod di pundaknya, mas Popo harus melewati jalanan berbatu di tengah teriknya matahari. (Foto: Yudha PS)

Kemudian, mang Tata juga mengarahkan kami ke mata air yang terletak di area hutan Cigandasoli. Untuk menuju tempat tersebut, kami harus melewati jalan setapak yang dipenuhi semak-belukar. Bahkan, mang Tata harus mengeluarkan goloknya untuk membuka jalan bagi saya dan tim Kompas agar lebih mudah melewatinya.

Hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk menggapai lokasi mata air Cigandasoli. Mata air ini terletak di perbatasan antara kebun warga dan hutan. Mata air ini berbentuk gua kecil dengan mulut gua selebar kertas A3. Meskipun begitu, air bening terus-terusan memancar dari dalam gua. Padahal, saat itu, musim kemarau sedang melanda Indonesia, termasuk Mandalamekar.

Di atas gua terdapat tebing setinggi tiang telepon. Di atas tebing tersebut tumbuh dengan kokoh berbagai tumbuh-tumbuhan hutan. Menurut mang Tata, pada pagi hari, sering tampak monyet-monyet mencari makan di perbatasan antara hutan dengan kebun warga ini. Namun, karena suplai makanan yang berlimpah di hutan, membuat monyet-monyet ini tidak mengganggu dan merusak tanaman di area kebun warga.

Menjelang jam 15 waktu setempat, kami memutuskan kembali ke rumah pak Yana. Bila pada saat berangkat kami ditemani oleh tajuk pohon yang rimbun, tetapi tidak pada saat pulang. Mang Tata mengajak kami menelusuri area persawahan di Mandalamekar. Hal ini membuat kami terpapar terik matahari secara langsung. Jarak yang kami tempuh pun termasuk lumayan jauh, sekitar 3-5 Kilometer. Meskipun begitu, tim Kompas TV tetap semangat untuk melangkahkan kaki menuju tempat pengambilan gambar selanjutnya.

Sayangnya, ketika hendak melakukan agenda peliputan berikutnya, baterai kamera habis. Hal ini membuat tim Kompas TV harus mengisi ulang energi baterai kamera di rumah pak Yana. Tak seberapa lama, di tengah menunggu baterai terisi penuh, angin sepoi-sepoi yang adem membuat mata menjadi berat. Suasana kemudian hening, dan tim Kompas TV pun tertidur. Saya, yang sedang rebahan di teras depan pun, kemudian hilang dari kesadaran, dan terbang ke alam mimpi.

***

Tim Kompas TV tengah melewati galangan sawah. (Foto: Yudha PS)

Sayup-sayup adzan maghrib terdengar dari kejauhan, tanda waktu berbuka puasa tiba. Sepuluh buah kelapa yang sudah dibuka mang Tata, kami sikat habis. Air dan lapisan kelapa muda di dalamnya turut ludes untuk menghilangkan lapar dan dahaga kami.

Selepas maghrib, agenda berikutnya adalah meliput aktivitas radio komunitas Ruyuk FM yang dimiliki oleh Mandalamekar. Tim Kompas TV tidak hanya meliput aktivitas di radio, tetapi juga di rumah pendengarnya. Tim kemudian dibagi dua. Mas Popo dan mas Anjas bertugas mengambil gambar di studio radio, sedangkan mas Ridwan dan mba Yessi meliput para pendengar setia yang ada di sekitar studio radio.

Studio radio Ruyuk FM tidak jauh dari rumah pak Yana, hanya sekitar 50 meter. Selama Ramadhan, aktivitas radio dimulai setelah shalat tarawih, yaitu sekitar jam 20.30 WIB. Saat itu, kang Priatna kebagian menjadi penyiar di Ruyuk FM. Uniknya, setiap penyiar dan pendengar memiliki “nama udara”, yaitu nama yang hanya disebutkan di radio. Adapun identitas aslinya mereka sembunyikan.

Kang Priatna sendiri di “udara” dikenal sebagai kang Korea. Hal ini tidak lepas dari matanya yang sipit, dan raut wajahnya yang sangat Asia Timur sekali. Meskipun begitu, kulitnya jauh dari warna kuning sebagaimana umumnya orang korea, dan lebih tampak seperti kulit sawo matang.

Aktivitas di studio siaran cukup ramai pada malam hari. Penyiar umumnya ditemani oleh warga sekitar yang sengaja berkumpul di studio. Umumnya, selain berbincang-bincang sesama warga, mereka juga kerap mendengarkan siaran dan mendendangkan lagu-lagu yang sedang diputar di udara.

Di dalam ruang siaran, suasananya pun tidak kalah ramai. Meskipun penghuninya hanya 1-2 orang penyiar, tetapi hampir setiap menit telepon berdering. Para penelepon ini umumnya meminta lagu sambil berkirim-kirim salam. Bahkan, tak jarang, ketika lagu diputar, telepon pun masih tetap berdering. Hal ini membuat penyiar harus mengecilkan suara lagu dan terpaksa mengangkat telepon.

Proses shooting di studio radio Ruyuk FM. (Foto: Yudha PS)

Sebagai orang yang pernah berkecimpung membangun radio, hal ini sangat tidak lumrah. Seharusnya, suara dari telepon bisa terpisah, sehingga tidak mengganggu lagu yang tengah diputar. Namun, setelah saya amati, ternyata teleponnya sendiri menggunakan ponsel yang dimodifikasi, sehingga suaranya bisa masuk ke komputer. Tidak hanya suara penelepon, nada dering pun akan masuk ke komputer.

Bila ada panggilan masuk, hal ini membuat telepon harus diangkat melalui komputer. Tentunya, keterbatasan teknologi ini membuat aktivitas memutar lagu harus dihentikan ketika ada telepon masuk. Meskipun begitu, keterbatasan ini tidak membuat kehidmatan siaran di radio Ruyuk FM terganggu. Justru, sangat amat khas dibandingkan radio lainnya.

Radio Ruyuk FM cukup terkenal di kalangan masyarakat Desa Mandalamekar dan desa-desa lainnya di Kecamatan Jatiwaras, bahkan kecamatan tetangga. Karena posisinya yang berada lebih tinggi dibandingkan desa-desa lainnya, membuat radio ini bisa ditangkap oleh warga desa lain yang jaraknya lebih dari 5 Kilometer. Padahal, secara teknologi antena, jangkauan radio ini hanya sebatas 3-5 Kilometer.

Setiap harinya, radio Ruyuk FM memiliki program yang berbeda-beda. Beberapa yang saya ingat adalah program kebudayaan Sunda, penghijauan hutan, dan kesehatan. Program-program ini sejalan dengan program desa yang dipimpin oleh pak Yana Noviadi ini.

Karena jangkauan radio yang cukup luas, membuat program-program desa ini didengar juga oleh masyarakat desa dan kecamatan tetangga. Hal ini membantu Mandalamekar untuk mensukseskan program-programnya. Sebagai contoh, ketika ada peraturan desa yang tidak memperbolehkan menebang pohon di hutan lindung dan menembak burung di Mandalamekar, membuat warga desa sekitar menghormati peraturan tersebut dan mentaatinya.

Menjelang jam 22, tim Kompas TV menarik diri, demikian juga saya. Besok masih ada agenda peliputan yang harus kami kerjakan kembali. Dan saatnya untuk kami beristirahat sejenak, dininabobokan oleh suara katak dan jangkrik di rumah pak Yana yang masuk kategori Mewah alias "Mepet ke Sawah". Yah, rumahnya pak Yana tepat terletak di pinggir sawah.{*}

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun