Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Liputan bersama Kompas TV, Belajar dari Jurnalis TV (2/3)

29 Juli 2015   01:49 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:26 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Ridwan tengah mengambil gambar suasana pagi di Mandalamekar. (Foto: Yudha PS)

Mang Tata memberitahukan bahwa kondisi hutan Pasirsalam dahulu hampir menyerupai lahan hutan milik masyarakat di sebelahnya: jarang pohon dan gersang. Namun, kondisinya saat ini jauh berbeda. Semenjak ditanami kembali, hutan di Pasirsalam hijau kembali. Bahkan, beberapa spesies khas Mandalamekar mulai muncul lagi, setelah sempat dinyatakan punah 2 dekade lalu.

Mang Tata menyebutkan salah satu contohnya adalah bambu berduri. Bambu ini cukup unik karena memiliki duri besar-besar di permukaan kulitnya hingga ketinggian 2 meter dari tanah. Hal ini berbeda dengan bambu-bambu lainnya yang tidak memiliki duri sedikit pun. Bambu berduri ini pernah menghilang ketika hutan di Mandalamekar tak berpohon. Namun, saat ini, bambu tersebut bisa dengan mudah ditemui di hutan-hutan di Mandalamekar, khususnya area hutan lindung Pasirsalam.

Cerita lainnya yang mang Tata sampaikan adalah konsep perkebunan penyangga hutan. Konsep ini merujuk pada lahan di sekitar hutan yang ditanami buah-buahan yang memiliki kayu keras, seperti durian, rambutan, cengkeh, kopi, dan nangka. Antara hutan dan kebun penyangga ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Bagi tumbuhan di perkebunan, hewan-hewan di dalam hutan membantu meningkatkan kualitas buah-buahannya. Sedangkan bagi hutan, kebun ini menjaganya dari perambahan pohon-pohon di hutan lindung.

Hal ini akan lain ceritanya bila lahan yang berbatasan dengan hutan ditanami pohon untuk ditebang, seperti jati dan sengon. Jenis kebun seperti ini umumnya meningkatkan ancaman terhadap perambahan hutan. Ketika musim panen tiba, seringkali orang-orang tidak hanya memanen kayu dari lahannya, tetapi juga dari hutan, seperti yang terjadi beberapa dekade sebelumnya.

Meskipun begitu, upaya ini masih perlu sosialisasi ke masyarakat pemilik lahan yang berbatasan dengan hutan. Mereka masih melihat nilai nominal kayu keras yang begitu besar dibandingkan menanam pohon buah-buahan. Padahal, bila dibandingkan dalam durasi waktu yang sama, sekiar 10-15 tahun, bisa jadi nominal dari panen buah-buahan lebih besar dibandingkan nominal dari kayu keras.

Hampir 2 jam kami berjalan-jalan di area hutan Pasirsalam sembari melakukan pengambilan gambar. Di ujung jalan, mang Tata memperlihatkan perkebunan penyangga hutan yang ditanami pohon buah-buahan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang sedang dalam status “panen”. Meskipun begitu, saya cukup takjub ketika melihat sebuah pohon durian yang tingginya 4 kali tiang listrik di perkotaan. Bila musim panen tiba, saya tidak bisa membayangkan cara pemiliknya untuk memanen semua durian yang ada di pohon tersebut.

Sambil membawa tripod di pundaknya, mas Popo harus melewati jalanan berbatu di tengah teriknya matahari. (Foto: Yudha PS)

Kemudian, mang Tata juga mengarahkan kami ke mata air yang terletak di area hutan Cigandasoli. Untuk menuju tempat tersebut, kami harus melewati jalan setapak yang dipenuhi semak-belukar. Bahkan, mang Tata harus mengeluarkan goloknya untuk membuka jalan bagi saya dan tim Kompas agar lebih mudah melewatinya.

Hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk menggapai lokasi mata air Cigandasoli. Mata air ini terletak di perbatasan antara kebun warga dan hutan. Mata air ini berbentuk gua kecil dengan mulut gua selebar kertas A3. Meskipun begitu, air bening terus-terusan memancar dari dalam gua. Padahal, saat itu, musim kemarau sedang melanda Indonesia, termasuk Mandalamekar.

Di atas gua terdapat tebing setinggi tiang telepon. Di atas tebing tersebut tumbuh dengan kokoh berbagai tumbuh-tumbuhan hutan. Menurut mang Tata, pada pagi hari, sering tampak monyet-monyet mencari makan di perbatasan antara hutan dengan kebun warga ini. Namun, karena suplai makanan yang berlimpah di hutan, membuat monyet-monyet ini tidak mengganggu dan merusak tanaman di area kebun warga.

Menjelang jam 15 waktu setempat, kami memutuskan kembali ke rumah pak Yana. Bila pada saat berangkat kami ditemani oleh tajuk pohon yang rimbun, tetapi tidak pada saat pulang. Mang Tata mengajak kami menelusuri area persawahan di Mandalamekar. Hal ini membuat kami terpapar terik matahari secara langsung. Jarak yang kami tempuh pun termasuk lumayan jauh, sekitar 3-5 Kilometer. Meskipun begitu, tim Kompas TV tetap semangat untuk melangkahkan kaki menuju tempat pengambilan gambar selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun