Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Liputan Bersama Kompas TV: "Mandalamekar, Saya Datang Kembali" (1/3)

28 Juli 2015   01:57 Diperbarui: 28 Juli 2015   01:57 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Popo Sidik, salah seorang Camera Person Kompas TV, tengah mengambil stock shoot untuk episode Cerita Indonesia. (Foto: Yudha PS)

Mas Popo Sidik, salah seorang Camera Person Kompas TV, tengah mengambil stock shoot untuk episode Cerita Indonesia. (Foto: Yudha PS)

Mandalamekar”, tiba-tiba saja nama desa itu terbisik di telinga saya pada akhir Mei 2015 lalu. Rasanya, ingin saya mengunjungi kembali desa yang inspiratif tersebut. Semacam ada “panggilan” untuk kembali menuai inspirasi lagi di sana. Namun, apa daya, saya tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengunjungi Tasik dan Mandalamekar kala itu.

Namun, semua itu berubah ketika saya mendapatkan telepon dari mba Jessica Sinaga, jurnalis Kompas TV, pada pekan pertama Juni 2015. Sebuah kabar menggembirakan sekaligus luar biasa dan tidak pernah saya duga sebelumnya. Cerita saya tentang Mandalamekar di Kompasiana pada 2011 silam hendak diangkat menjadi film dokumenter oleh Kompas TV. Saya juga diajak untuk ikut mengunjungi Mandalamekar bersama mereka. Tanpa pikir panjang, saya langsung bersedia memenuhi ajakan mereka.

Sejak saat itu, saya mulai menghitung hari dan tidak sabar untuk kembali ada di Mandalamekar. Mba Yessi, begitu mba Jessica akrab dipanggil, menjadwalkan kami tiba di Mandalamekar pada Rabu, 24 Juni 2015. Karena tim Kompas TV harus meliput terlebih dahulu kegiatan di Ciwidey, Bandung, mba Yessi menyarankan agar saya menunggu di Tasikmalaya. Rencananya, kami akan berangkat bersama-sama dari Tasikmalaya menuju Mandalamekar.

Saya pribadi sempat heran dengan keputusan Kompas TV untuk mengangkat cerita yang sudah cukup lama tersebut. Dalam benak saya, tampaknya masih banyak cerita inspiratif lain yang ditulis oleh Kompasianer di situs Kompasiana. Hal ini sempat saya tanyakan ke mba Yessi ketika kami bertemu di Tasik.

“Kami mencari tulisan yang memungkinkan kami visualisasikan,” jawabnya. Dalam benak saya, jawaban beliau cukup wajar. Pasalnya, televisi butuh banyak gambar sebagai media untuk menyampaikan sebuah kisah. Mba Yessi sendiri menemukan banyak tulisan di Kompasiana yang tidak kalah inspiratif. Namun, sayangnya, tidak banyak yang bisa dieksplorasi secara visual dalam tulisan-tulisan tersebut. Terlebih lagi, banyak tulisan yang didominasi oleh opini dibandingkan reportase dari hasil wawancara dan observasi.

Mba Yessi sendiri sebenarnya ingin mengangkat 2 cerita dari tulisan saya. Selain Mandalamekar, beliau juga berharap bisa meliput SD IT Rabbani, sebuah sekolah yang diselamatkan dan dikelola oleh sekelompok mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun, sayang sekali, sekolah tersebut sudah bubar sekarang. Penyebabnya klasik sekali. Pemilik lahan dan bangunan ingin mengambil kembali asetnya. Karena tidak memiliki posisi tawar dan kekuatan modal yang cukup, akhirnya sekolah itu harus bubar jua.

***

Pada hari yang ditentukan, saya sudah terlebih dahulu berada di Tasikmalaya. Saat itu, arloji di tangan saya menunjukkan jam 3 sore. Sinar terik matahari musim kemarau menerpa langsung tubuh saya, membuat suasana di dalam bus berpendingin terasa hangat.

Di luar sana, tugu perbatasan antara kota dan kabupaten Tasikmalaya baru saja saya lewati. Artinya, tak lama lagi, bus Budiman jurusan Bandung-Tasikmalaya yang saya tumpangi akan tiba di pemberhentian terakhirnya. Saya segera mengabarkan kedatangan saya di Kota Santri ke kang Duddy RS, seorang sahabat karib di Tasikmalaya. Balasannya, beliau akan menjemput saya.

Kedatangan saya ke Tasikmalaya saya manfaatkan juga untuk mengunjungi sahabat lainnya. Bagaimana pun, Tasikmalaya merupakan salah satu bagian penting dari hidup saya pada era 2011-2012. Selain mengunjungi Mandalamekar, pada era tersebut saya juga kerap membantu teman-teman komunitas media warga di Tasikmalaya untuk membangun gerakan dan mengisi materinya.

Di balik keriuhan saya berkegiatan di Tasikmalaya, kang Duddy lah promotor saya pada era tersebut. Selain memperkenalkan saya ke kawan-kawan komunitas media warga, beliau juga kerap menyediakan tempat bermalam di rumahnya. Tak jarang, beliau juga yang mendukung segala kebutuhan makan saya selama di Tasik. Tak heran bila hubungan kami cukup erat, hingga saat ini.

Tak lama setelah saya tiba di terminal bus Budiman, kang Duddy datang dengan mobil oranyenya. Kemudian, beliau mengarahkan mobilnya ke rumahnya. “Kita buka puasa di rumah saya saja, yah,” ajaknya. Dengan segera saya menyetujui usulannya tersebut.

Kang Duddy sendiri merupakan wartawan di Kabar Priangan. Saat ini, beliau merupakan Redaktur Pelaksana koran terbesar di wilayah Priangan Timur tersebut. Bagi saya, kang Duddy merupakan tokoh literasi di Tasikmalaya. Tanpa pamrih, beliau konsisten membangun komunitas berbasiskan literasi di kota-kota Priangan Timur: Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, dan Garut. Kegiatan yang sudah dilakoninya sejak 2005 silam ini masih terus dilakukan di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan dan peneliti kebudayaan di Tasikmalaya, hingga saat ini.

Sudah lebih dari tiga tahun saya tidak berjumpa dengan kang Duddy. Ternyata, banyak prestasi yang sudah ditorehkannya selama tiga tahun terakhir. Salah satunya, yang membuat saya takjub, adalah penerbitan jurnal Soekapoera. Jurnal ini menawarkan penelitian sejarah Tasikmalaya yang dikelola oleh Soekapoera Institut. Meskipun sudah 3 tahun berdiri, tetapi baru 3 edisi jurnal yang diterbitkan. “Maklum, masalah klasik, pendanaan,” tuturnya.

Dalam perjumpaan yang singkat sore itu, kami berbincang-bincang tentang cita-cita kami masing-masing. Beliau ingin sekali memperluas jangkauan pengaruh literasinya ke anak-anak sekolah dasar. Untuk yang satu ini, beliau berusaha memperkenalkan Bahasa Sunda melalui majalah anak yang diedarkannya ke seluruh sekolah dasar di Priangan Timur. Namun, lagi-lagi, usahanya ini masih kandas tersandung pendanaan.

Keseruan obrolan kami harus terhenti ketika adzan maghrib berkumandang. Kami segera menyantap makanan berbuka dan harus kembali berpisah. Waktu pertemuan 3 jam terlalu singkat untuk mengungkapkan kerinduan kami setelah 3 tahun tak bersua. Kang Duddy sendiri harus segera pergi ke kantor, sedangkan saya harus menemui tim Kompas TV yang sudah tiba di Tasikmalaya.

***

Angkot 05 di Tasikmalaya merupakan angkutan yang legendaris bagi saya. Selama bolak-balik ke Tasikmalaya, hanya angkot itu yang saya hafal dan kerap saya tumpangi. Selebihnya, saya tidak pernah hafal angkot lainnya, dan memang jarang sekali menaikinya. Malam itu, Angkot 05 kembali menjadi tumpangan saya. Kali ini, angkot tersebut mengantarkan saya ke jalan Soekarjo, tempat para kru Kompas TV tengah menyantap hidangan berbuka.

Di depan restoran, terpakir mobil dengan tulisan besar Kompas TV di sekujur tubuhnya. Ketika saya melangkahkan kaki ke pintu rumah makan, dengan segera saya bisa mengenali mba Yessi. Pun sebaliknya. Perempuan bertubuh kecil, berambut keriting, dan berkaca mata tersebut melihat kepada saya dan langsung mengenali saya. “Kang Yudha, yah? Ayo, sini, gabung. Kita makan bersama,” ajaknya.

Saya kemudian berkenalan dengan ketiga kru Kompas TV lainnya. Mas Popo Sidik dengan keahliannya mengambil gambar di bawah air, mas Ridwan dengan ujung topinya yang selalu diletakkan di belakang, dan mas Anjas yang selalu setia mendukung tim. Bersama mba Yessi, mereka akan mengambil gambar di Mandalamekar dalam 2 hari ke depan.

Dengan lahapnya, mereka menghabiskan sepiring nasi dan sepotong bebek setelah seharian berpuasa dan menempuh perjalanan Bandung-Tasikmalaya. Raut wajah mereka tidak bisa menyembunyikan rasa lelah yang amat sangat. Maklum, selama 10 hari sebelumnya, mereka berjibaku untuk memproduksi gambar untuk 2 episode Cerita Indonesia.

Setelah selesai, dengan segera kami berangkat ke Mandalamekar. Perjalanan kami tempuh selama sekitar 2 jam, sudah termasuk menyasar. Waktu tempuh ini lebih cepat dibandingkan perjalanan saya ke Mandalamekar pada 2011 silam yang mencapai 3 jam. Pasalnya, jalan menuju Mandalamekar sudah diperbaiki, sehingga kendaraan bisa melaju lebih cepat.

Tiba di Mandalamekar, kang Irman Meilandi dan masyarakat Mandalamekar langsung menyambut saya dan tim Kompas TV. “Ka mana wae, Yudh,” pertanyaan yang kerap dilontarkan mereka kepada saya. “Ada aja di Bandung,” jawab saya, dengan sedikit malu-malu.

Tentunya, bukan Mandalamekar bila tidak menyajikan hal baru. Pun ketika saya berkunjung kembali setelah 3 tahun lamanya absen bertandang. Kang Irman banyak menceritakan capaian-capaian baru yang luar biasa di desa yang terletak di Kecamatan Jatiwaras tersebut. Salah satunya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah setahun berdiri di Mandalamekar. SMK Karya Putra Manggala namanya, dan dibangun atas swadaya masyarakat desa Mandalamekar.

Sekolah ini merupakan jawaban atas minimnya kemampuan masyarakat Mandalamekar dan sekitarnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah menengah atas atau sederajat. Setiap tahunnya, menurut kang Irman, kurang dari 30 persen lulusan SMP yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Adapun 70 persen sisanya memilih untuk bekerja di desa atau mengadu nasib ke kota.

Bagi masyarakat Mandalamekar dan sekitarnya, melanjutkan ke bangku SMA sama seperti kuliah di perguruan tinggi. Mereka harus ke luar dari Mandalamekar dan tinggal jauh dari rumah. Pasalnya, sebelum SMK tersebut berdiri, belum ada sekolah menengah atas yang menampung lulusan SMP dari Mandalamekar.

Tinggal jauh dari rumah, tentunya orang tua di Mandalamekar harus mengeluarkan biaya tambahan berupa akomodasi dan makan sehari-hari untuk anaknya yang menempuh SMA di perantauan. Belum lagi tambahan biaya transportasi harian bila ternyata sekolah sang anak harus ditempuh dengan kendaraan.

Tentunya, kondisi ini hanya dapat dipenuhi oleh sebagian kecil keluarga menengah ke atas di Mandalamekar. Sedangkan sisanya, menurut kang Irman, hanya memiliki pendapatan 10-15 ribu Rupiah per hari. “Jangankan untuk sekolah (SMA) ke luar Mandalamekar. Untuk makan sehari-hari saja seringkali tidak cukup,” papar kang Irman.

Aktivitas baru lainnya dari Mandalamekar adalah drone desa. Kegiatan ini merujuk kepada pemetaan desa dan kawasan di sekitarnya. Nantinya, pemetaan ini akan digunakan sebagai bekal bagi pemerintah desa untuk menginventarisir sumber daya alam kawasannya serta merancang program desa hingga jangka 5-10 tahun mendatang.

Ketika saya datang malam itu, hadir juga tim drone desa dari Institut Pertanian Bogor. Sejak 3 hari sebelumnya, mereka membantu masyarakat Mandalamekar untuk memetakan potensi desanya menggunakan drone yang bisa terbang dan memotret daratan secara otomatis.

Kang Irman berseloroh bahwa hasil pemetaan ini akan digunakan sebagai persiapan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang melibatkan 4 desa lainnya di sekitar Mandalamekar. Rencananya, SPR ini akan melibatkan 1.600 ternak dengan 800 pemilik ternak di kawasan Mandalamekar dan sekitarnya.

Meskipun malam belum juga larut, tetapi keseruan cerita dari kang Irman harus berhenti dulu. Kami dipersilahkan untuk istirahat di kediaman pak Yana Noviadi, Kepala Desa Mandalamekar. Berbekal cerita tersebut, tampaknya, dua hari mendatang akan menjadi hari yang penuh dengan inspirasi dan pengalaman luar biasa.{*}

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun