Setelah selesai, dengan segera kami berangkat ke Mandalamekar. Perjalanan kami tempuh selama sekitar 2 jam, sudah termasuk menyasar. Waktu tempuh ini lebih cepat dibandingkan perjalanan saya ke Mandalamekar pada 2011 silam yang mencapai 3 jam. Pasalnya, jalan menuju Mandalamekar sudah diperbaiki, sehingga kendaraan bisa melaju lebih cepat.
Tiba di Mandalamekar, kang Irman Meilandi dan masyarakat Mandalamekar langsung menyambut saya dan tim Kompas TV. “Ka mana wae, Yudh,” pertanyaan yang kerap dilontarkan mereka kepada saya. “Ada aja di Bandung,” jawab saya, dengan sedikit malu-malu.
Tentunya, bukan Mandalamekar bila tidak menyajikan hal baru. Pun ketika saya berkunjung kembali setelah 3 tahun lamanya absen bertandang. Kang Irman banyak menceritakan capaian-capaian baru yang luar biasa di desa yang terletak di Kecamatan Jatiwaras tersebut. Salah satunya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah setahun berdiri di Mandalamekar. SMK Karya Putra Manggala namanya, dan dibangun atas swadaya masyarakat desa Mandalamekar.
Sekolah ini merupakan jawaban atas minimnya kemampuan masyarakat Mandalamekar dan sekitarnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah menengah atas atau sederajat. Setiap tahunnya, menurut kang Irman, kurang dari 30 persen lulusan SMP yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Adapun 70 persen sisanya memilih untuk bekerja di desa atau mengadu nasib ke kota.
Bagi masyarakat Mandalamekar dan sekitarnya, melanjutkan ke bangku SMA sama seperti kuliah di perguruan tinggi. Mereka harus ke luar dari Mandalamekar dan tinggal jauh dari rumah. Pasalnya, sebelum SMK tersebut berdiri, belum ada sekolah menengah atas yang menampung lulusan SMP dari Mandalamekar.
Tinggal jauh dari rumah, tentunya orang tua di Mandalamekar harus mengeluarkan biaya tambahan berupa akomodasi dan makan sehari-hari untuk anaknya yang menempuh SMA di perantauan. Belum lagi tambahan biaya transportasi harian bila ternyata sekolah sang anak harus ditempuh dengan kendaraan.
Tentunya, kondisi ini hanya dapat dipenuhi oleh sebagian kecil keluarga menengah ke atas di Mandalamekar. Sedangkan sisanya, menurut kang Irman, hanya memiliki pendapatan 10-15 ribu Rupiah per hari. “Jangankan untuk sekolah (SMA) ke luar Mandalamekar. Untuk makan sehari-hari saja seringkali tidak cukup,” papar kang Irman.
Aktivitas baru lainnya dari Mandalamekar adalah drone desa. Kegiatan ini merujuk kepada pemetaan desa dan kawasan di sekitarnya. Nantinya, pemetaan ini akan digunakan sebagai bekal bagi pemerintah desa untuk menginventarisir sumber daya alam kawasannya serta merancang program desa hingga jangka 5-10 tahun mendatang.
Ketika saya datang malam itu, hadir juga tim drone desa dari Institut Pertanian Bogor. Sejak 3 hari sebelumnya, mereka membantu masyarakat Mandalamekar untuk memetakan potensi desanya menggunakan drone yang bisa terbang dan memotret daratan secara otomatis.
Kang Irman berseloroh bahwa hasil pemetaan ini akan digunakan sebagai persiapan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang melibatkan 4 desa lainnya di sekitar Mandalamekar. Rencananya, SPR ini akan melibatkan 1.600 ternak dengan 800 pemilik ternak di kawasan Mandalamekar dan sekitarnya.
Meskipun malam belum juga larut, tetapi keseruan cerita dari kang Irman harus berhenti dulu. Kami dipersilahkan untuk istirahat di kediaman pak Yana Noviadi, Kepala Desa Mandalamekar. Berbekal cerita tersebut, tampaknya, dua hari mendatang akan menjadi hari yang penuh dengan inspirasi dan pengalaman luar biasa.{*}