Patung Cristo Rei tertambat di puncak bukit di pesisir pantai Dili. (Foto: Yudha PS)
“Kalau belum ke Cristo Rei, berarti belum ke Dili,” ungkap Gil, ketika mengarahkan mobilnya ke area Cristo Rei. Saat itu, jam masih menunjukkan jam 17 waktu setempat. Kami masih memiliki waktu 2 jam sebelum matahari benar-benar tenggelam di Dili.
Situs Cristo Rei berjarak sekitar 10 Kilometer dari Kota Dili. Untuk menggapainya, kami harus melalui jalanan beraspal yang mengikuti lekuk kontur pesisir pantai Dili yang berliku. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan pesisir pantai Dili yang indah di sisi kiri, lengkap dengan deburan ombak dan lembayung sinar matahari sore. Sedangkan di sisi kanan, berdiri dengan kokoh deretan perbukitan berbatu yang minim pepohonan.
Bayangan patung Cristo Rei setinggi 27 meter perlahan mulai tampak jelas. Patung Yesus yang berdiri kokoh di timur Kota Dili ini dibangun oleh pemerintahan Soeharto untuk memperingati 20 tahun “penjajahan” Indonesia atas Timor Leste. Angka 27 sendiri merepresentasikan Timor Leste sebagai provinsi ke-27 dari Indonesia saat masih menyandang nama Timor Timur.
Tak sampai 20 menit, saya, Gil, dan Cheche, sudah tiba di area parkir Cristo Rei. Setiap sore, banyak warga Timor Leste yang berolahraga di sini. Ada yang berlari di tempat parkir di bawahnya, tetapi ada juga yang berlari hingga ke puncak patung. “Sewaktu muda, saya sering berlari sore di sini (area Cristo Rei),” ungkap Gil. “Sekarang, cocok untuk menghilangkan perut buncit saya,” sambungnya, yang diiringi renyah tawa kami.
Untuk menggapai puncak Cristo Rei memang bukan hal yang mudah, baik dilakukan dengan berjalan maupun dengan berlari. Pengunjung harus melewati sekitar 500 anak tangga yang terbentang sepanjang sekitar 1,5 Kilometer. Di sepanjang perjalanan antara tempat parkir dan plaza Cristo Rei terdapat gambar-gambar yang menceritakan prosesi penyaliban Yesus, mulai dari ditangkap oleh tentara kerajaan Roma hingga disalib, wafat, dan bangkit kembali. Puncaknya adalah plaza Cristo Rei. Tepat di depan anak tangga menuju puncak, tergambar Yesus yang sudah dinaikkan ke langit.
Gil menceritakan bahwa situs yang dirancang oleh Mochamad Syailillah ini digunakan sebagai tempat memperingati prosesi penyaliban Yesus menjelang Paskah di Timor Leste setiap tahunnya. Sang aktor yang berperan sebagai Yesus, akan mengangkat salib hingga ke plaza Cristo Rei. Plaza Cristo Rei sendiri merupakan area lapang di antara tempat parkir dan puncak tempat patung Yesus tertambat.
Waktu saya tidak banyak untuk menikmati salah satu landmark Dili tersebut. Tak kurang dari satu jam, matahari akan terbenam dan gelap dengan segera menyelimuti Timor Leste. Oleh karena itu, saya pamit ke Gil untuk berlari menuju Cristo Rei di puncak bukit. Hanya butuh waktu 15 menit bila ditempuh dengan berlari. Meskipun begitu, ketika sampai di hadapan patung Cristo Rei, nafas saya tersenggol-senggol dengan keringat bercucuran di sekujur tubuh.
Namun, lelah itu terbayar begitu sampai di puncak bukit. Bila melihat ke arah barat, Kota Dili tampak indah bermandikan cahaya matahari senja. Pesona ini bertambah kuat ditambah dengan pemandangan pasir putih serta perbukitan Timor Leste yang dibalut sedikit tanaman dan pohon. Sejenak, keringat yang luluh dan jantung yang berdegup kencang akibat berlari, sirna begitu saja ketika dihadapkan dengan pemandangan sore alam Timor Leste yang indah.
Patung Kristus Raja di Dili, demikian terjemahan Cristo Rei dalam Bahasa Indonesia, merupakan patung tertinggi kedua di dunia pada zamannya. Patung ini berbentuk Yesus yang merentangkan kedua tangannya ke depan, seolah-olah mengajak manusia untuk kembali ke jalan kebenaran. Tepat di bawah patung terdapat sebuah bola dunia bergambar kepulauan nusantara. Soeharto membuatnya dengan tujuan menarik simpati masyarakat Timor Leste untuk memantapkan hati bergabung dengan Indonesia kala itu.
Pada malam hari, Cristo Rei akan bermandikan cahaya dari lampu-lampu yang dipasang di sekitarnya. Bila cuaca cerah, mereka yang tengah berada di pesisir pantai Dili akan mampu melihatnya dari kejauhan. Sayang, ketika saya ke sana, lampu-lampu tersebut padam, sehingga Cristo Rei tidak nampak dari kejauhan.
Setelah sekitar 30 menit beristirahat di hadapan Cristo Rei, saya kembali ke parkiran di bawah. Di bawah, Gil dan Cheche sedang menunggu sambil mengobrol dengan penduduk setempat yang kebetulan tengah berkunjung. “Akhirnya, saya resmi menginjak Dili,” ungkap saya kepada Gil, yang diiringi tawa kami bersama.{}
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H