Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Belajar Perjuangan Timor Leste di Arquivo & Museu da Resistência Timorense

21 Juni 2015   19:52 Diperbarui: 5 Juli 2015   13:31 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arquivo & Museu da Resistência Timorense, atau dalam bahasa Inggris Timorese Resistance Archive & Museum. (Foto: Blogspot.com)

Arquivo & Museu da Resistência Timorense, atau dalam bahasa Inggris Timorese Resistance Archive & Museum. (Foto: Blogspot.com)

Bagi saya yang orang Indonesia, berpetualang ke Dili tidak hanya mengeksplorasi kota baru, tetapi juga menapaki keberadaan Indonesia di Negeri Lorasae. Setidaknya, itulah yang saya rasakan dalam pengembaraan singkat saya di ibu kota Timor Leste tersebut.

Seusai penutupan acara National Transparancy Forum on Citizen and Civic Media to Corruption Eradication, saya meminta kepada Gil untuk diantarkan ke museum yang ada di Dili. Satu-satunya museum yang tersedia adalah Arquivo & Museu da Resistência Timorense, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Timorese Resistance Archive & Museum. Saya pikir, ini adalah tempat yang cocok untuk mulai memahami sejarah Timor Leste.

Gil mengantarkan saya sampai ke resepsionis museum. Dia mengenal banyak orang di Dili, termasuk staf museum. Gil mengenalkan saya kepada staf museum yang ada di resepsionis, dan meminta bantuan mereka untuk memandu saya selama di museum. “Saya akan jemput jam 3 sore, yah,” pamit Gil kepada saya.

Arquivo & Museu da Resistência Timorense terletak di Av. Cidade de Lisboa, di depan Kementerian Keuangan Timor Leste. Museum ini diresmikan pada 7 Desember 2005, tepat 30 tahun setelah invasi Indonesia ke Timor Leste, dan ditujukan untuk mengenang perjuangan rakyat Timor Leste dalam meraih kemerdekaannya.

Bangunannya sendiri merupakan bekas pengadilan pada era Portugis, yang kemudian terbakar pada peristiwa September 1999 silam. Kemudian, oleh arsitek Tânia Bettencourt Correia, bangunan ini dirancang dan dibangun ulang, dan kini luasnya berkembang dari 500 meter persegi menjagi 1.325 meter persegi.

Untuk masuk ke museum ini, pengunjung harus membayar US$ 1,00. Saya kemudian diminta menitipkan barang bawaan dan tidak diperkenankan untuk memotret selama di dalam museum. Menyambut saya, sebuah paparan singkat beserta foto tentang perjuangan rakyat Negeri Lorosae dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Paparan ini tertambat di dinding lorong pertama menuju ruang pameran tetap museum dalam tiga bahasa: Bahasa Inggris, Bahasa Portugis, dan Bahasa Tetum, bahasa nasional Timor Leste.

Usaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Timor Leste mulai terentang ketika saya menginjak ruang pameran tetap museum. Pengunjung disuguhkan tidak hanya teks dan gambar, tetapi juga video, replika, dan barang-barang peninggalan masa perjuangan Timor Leste. Seluruh kronologi yang dipaparkan dalam museum ini, bisa dilihat di situs museum.

Pasukan Indonesia dalam Operasi Komodo. (Foto: amrtimor.org)

Bagi saya yang orang Indonesia, bagian yang cukup mendebarkan adalah detik-detik invasi Indonesia ke Timor Leste pada 7 Desember 1975 melalui Operasi Komodo. Kala itu, Dili digempur dari laut menggunakan artileri oleh kekuatan laut pasukan Indonesia. Gempuran ini disusul dengan mendaratnya pasukan Indonesia, baik dari laut maupun dari udara.

Hanya dalam hitungan jam, pasukan di bawah pemerintahan Orde Baru tersebut menguasai seluruh kota Dili. Pasukan perjuangan Timor Leste bersama rakyat Dili kemudian mengungsi ke perbukitan di sebelah selatan Dili. Di bagian ini, museum dengan detail menampilkan teks dan foto lengkap dengan grafis kekuatan armada laut dan udara pasukan Indonesia serta cuplikan video pada saat invasi berlangsung.

Dengan bermodalkan informasi tersebut, saya bisa membayangkan bagaimana mencekamnya kejadian tersebut. Masyarakat Dili benar-benar tidak bisa berkutik menghadapi kekuatan senjata yang belum bisa ditandingi pasukannya ketika itu. Mereka benar-benar terkepung oleh musuh dari arah laut. Sedangkan di belakang mereka adalah perbukitan yang curam. Kondisi ini praktis mengurung mereka di medan perang tanpa banyak alternatif jalan keluar.

Bagian setelahnya lebih banyak menampilkan usaha pejuang Timor Leste untuk mendapatkan kemerdekaannya. Usaha ini dilakukan melalui perang gerilya dan perjuangan diplomasi. Pada bagian ini, museum juga menampilkan berbagai peninggalan senjata dan atribut yang digunakan pejuang kemerdekaan Timor Leste pada era 1975 hingga 1999 silam.

Bagian yang tidak kalah seru adalah meningkatnya aktivitas demonstrasi, perjuangan senjata, dan diplomasi untuk meraih kemerdekaan Timor Leste setelah pengunduran diri Soeharto pada 1998 silam. Bahkan, beberapa video dengan jelas memperlihatkan keterlibatan pasukan Indonesia di balik kerusuhan di Dili. Meskipun begitu, setelah mengalami masa-masa yang cukup sulit, Timor Leste akhirnya berhasil meraih kembali kemerdekannya pada 20 Mei 2002. Hal ini diiringi keanggotaan Negeri Lorosae di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Komunitas Negara-Negara Berbahasa Portugis.

Selain memiliki ruang pameran tetap, Arquivo & Museu da Resistência Timorense juga dilengkapi ruang audio-visual yang cukup besar dan nyaman. Interiornya dibuat modern dengan layar besar terpampang di depannya. Sayang, ketika saya mengunjungi ruangan ini, pengunjung kosong dan ruang audio-visual sedang tidak menayangkan apa pun.

Salah satu hal yang saya sukai adalah kebersihan museum. Staf museum benar-benar menjaga seluruh ruangan rapih dan mengkilap. Bahkan di kamar mandi sekali pun, lantainya selalu kering dan aroma ruangannya cukup wangi. Membuat pengunjung museum merasa nyaman untuk menikmati pameran dalam waktu yang cukup lama.

Sepuluh menit menjelang jam 3 sore waktu setempat, saya harus mengakhiri kunjungan di Arquivo & Museu da Resistência Timorense. Meskipun area ruang pameran tetap cukup kecil, hanya seluas 2 lapangan tenis, tetapi waktu 2 jam tidaklah cukup untuk menelusurinya. Cukup banyak teks dan video yang kemudian harus saya lewatkan agar bisa selesai menelusuri museum tepat waktu.

Dengan pemaparannya yang menyeluruh dan detail, saya rasa, museum ini cocok menjadi tujuan pertama bagi orang Indonesia, dan umumnya bagi warga dunia, yang pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Lorosae. Museum ini membuat kita tidak hanya mengerti tentang Timor Leste, tetapi juga sejarah perjuangan mereka untuk merdeka dari penjajahan Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto.

Tepat jam 3 sore saya kembali ke resepsionis untuk mengambil tas dan barang bawaan lainnya. “Menakjubkan dan mengejutkan,” komentar saya kepada staf museum yang berjaga. Mereka menjawab dengan senyum dan dengan sigap membukakan pintu ketika saya hendak melangkah ke luar. Tak lama kemudian, Gil datang dan siap membawa saya ke destinasi berikutnya.{}

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun