Dari kiri ke kanan: mba Dinorah Granadeiro, mas Tito De Jesus Filipe, bu Karen Stanton, dan saya. (Foto: Dok. Kedubes AS utk Timor Leste)
Meskipun baru jam 9 pagi, tetapi cuaca pesisir pantai Dili sudah sangat terik pada 3 Maret 2015 lalu. Terang saja, kondisi ini membuat saya yang berasal dari dataran tinggi Bandung yang relatif dingin, kegerahan. Pakaian yang saya pilih pun relatif tipis dibandingkan baju-baju yang saya gunakan di Bandung yang relatif tebal.
Pengalaman yang sama dirasakan juga oleh Duta Besar Amerika untuk Timor Leste Karen Stanton. Ketika saya tiba di Fundasaun Oriente, gedung tempat acara berlangsung, Karen beserta Glenn Alexander, staf Kedutaan Besar Amerika untuk Timor Leste sudah menunggu sejak 30 menit sebelumnya. Glenn berpakaian jas tanpa dasi. Dari keringat di keningnya, tampak jelas bahwa dia juga merasa kepanasan.
Gil langsung memperkenalkan saya dengan Karen dan Glenn. Karen sendiri baru sekitar 2 bulan menjabat sebagai Duta Besar Amerika di Timor Leste. Sebelumnya, beliau bertugas di Kedutaan Besar Amerika untuk Singapura. Sebagai pembuka perbincangan dengan orang asing, saya langsung menanyakan pandangan Karen tentang Indonesia. Baginya, Indonesia adalah negara yang besar dan indah. “Namun, saya lebih suka tinggal di Dili. Di sini lebih tenang dan nyaman dari pada Jakarta dan Denpasar yang penuh dengan kemacetan,” ungkapnya. “Saya mohon maaf harus jujur tentang itu,” tambahnya lagi, diiringi tawa kami bersama.
Alur pembicaraan mengarah tentang masa lalu Timor Leste ketika dikuasai oleh Indonesia. Karen sendiri memuji rakyat Timor Leste yang mampu “move on” dari hubungan masa lalu mereka dengan Indonesia. “Mereka (masyarakat Timor Leste) adalah orang-orang yang pemaaf, ini juga yang saya kagumi dari orang-orang Timor Leste” paparnya.
Menjelang acara, saya dan Karen diminta untuk duduk di depan. Gil membuka acara diikuti sambutan dari beberapa tokoh anti korupsi dan media di Dili. Sayangnya, saya tidak memahami paparan yang mereka sampaikan dalam bahasa Tetum, bahasa nasional Timor Leste. Beruntung, Karen ditemani staf lokalnya yang membisiki terjemahannya ke dalam Bahasa Inggris, dan saya pun turut menyimak.
Acara yang digelar oleh Gil dan tim sendiri merupakan penutup dari rangkaian Anti-Corruption Campaign (ACC). Bentuknya berupa seminar bertajuk National Transparancy Forum on Citizen and Civic Media Movement to Corruption Eradication. Adapun Karen Stanton, selaku perwakilan pemerintah Amerika, bertindak menutup rangkaian program yang didanai oleh Alumni Engagement Innovation Fund (AEIF), sebuah skema pendanaan dari pemerintah Amerika untuk para alumninya.
Selepas rangkaian pembukaan, Karen didaulat untuk memberikan sambutan di atas panggung. Beliau membacakan sambutan dalam Bahasa Inggris yang disusul terjemahannya dalam Bahasa Tetum oleh staf lokal Kedutaan Besar Amerika. Secara umum, Karen menyampaikan bahwa pemerintah Amerika memiliki perhatian mendalam untuk melawan korupsi dan meningkatkan transparansi dalam pemerintahan di banyak negara di dunia.
Ke depannya, Karen berharap aktivitas ini mampu menghasilkan kerangka kerja legal yang kuat, bagian dari undang-undang yang diperlukan, kepemimpinan dari pejabat terpilih yang berkomitmen, serta pengawasan dan dorongan dari masyarakat madani dan media dalam konteks melawan korupsi di Timor Leste.
Setelah sesi coffee break, barulah giliran saya untuk menyampaikan pemaparan. Dalam sesi ini, saya tidak sendiri. Ada juga mba Dinorah Granadeiro sebagai moderator dan mas Tito De Jesus Filipe sebagai pembicara selain saya. Mba Dinorah sendiri adalah Director of Timor-Leste NGO Forum, sedangkan mas Tito merupakan President of AJTL (Timor Leste's Journalists Association) dan deputy Director of information and actualities of RTTL (Radio and Television of Timor-Leste). Mas Tito mendapatkan giliran pertama. Beliau memberikan paparannya dalam bahasa Tetum, sehingga saya tidak bisa memahami isi presentasi beliau.
Selepas mas Tito, giliran saya memberikan pemaparan mengenai Civic and Citizen Media Movement to Corruption Eradication. Atas saran beberapa orang, saya memberikan pemaparan dalam Bahasa Indonesia. “Mereka (peserta) lebih memahami bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, mas,” ungkap mba Roselia Da Conceicao Pinto, Alumni Coordinator di Kedutaan Besar Amerika untuk Timor Leste.
Usulan mba Roselia tampaknya cukup beralasan. Masyarakat Dili masih cukup familiar mendengarkan percakapan dalam Bahasa Indonesia dibandingkan Bahasa Inggris. Salah satunya melalui siaran televisi nasional Indonesia yang tertangkap di Dili. Barangkali, mereka jauh lebih hafal tayangan sinetron televisi nasional Indonesia dibandingkan saya, yang memang tidak pernah menonton televisi.
Slide presentasi saya bisa diunduh di Slideshare.net. Secara garis besar, saya memaparkan tentang pentingnya membangun masyarakat anti korupsi melalui media. Ada 2 hal yang menjadi landasan pemaparan saya. Pertama, korupsi tidak terjadi di level pemerintahan semata, tetapi juga masyarakat. Kedua, kondisi negara adalah akumulasi dari warga negaranya, sehingga tidak mungkin mengharapkan negara baik bila kondisi masyarakatnya buruk.
Adapun solusi yang ditawarkan melalui konsep Citizen Journalism dan Civic Journalism. Citizen Journalism menitikberatkan pada upaya warga untuk memproduksi informasi agar mampu menguatkan pemahaman warga tentang sikap anti-korupsi. Informasi yang disampaikan pun hendaknya memenuhi kriteria informasi positif. Sedangkan Civic Journalism mendorong media mainstream untuk mengajak warga berpartisipasi aktif dalam mengembangkan sikap anti korupsi.
Meskipun acara ini bertajuk anti-korupsi, tetapi justru saya tidak memaparkan contoh kasus dalam konteks anti-korupsi. Alasannya, saya tidak memiliki banyak data yang mencerminkan pendekatan citizen journalism dan civic journalism untuk membangun sikap anti-korupsi di Indonesia. Adapun contoh yang saya paparkan adalah kegiatan Citizen Journalism di Desa Mandalamekar, Tasikmalaya; dan program Wali Pohon yang dilakukan oleh Pikiran Rakyat Bandung.
Dalam sesi tanya jawab, mba Dinorah berusaha membangun diskusi dengan meminta pandangan saya terkait pertanyaan yang dilontarkan kepada mas Tito. Mba Dinorah menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam Bahasa Indonesia kemudian meminta pandangan saya.
Dari diskusi yang berkembang, Gil dan kawan-kawan Timor Leste tertarik dengan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia yang tengah membangun komunitas anti-korupsi di kampus-kampus yang terletak di kota-kota besar di Indonesia. Saya sendiri pernah beririsan dengan gerakan tersebut, meskipun kemudian saya tidak melanjutkannya karena masalah komunikasi.
Tepat jam 12 waktu setempat, acara berakhir yang ditutup dengan sesi makan siang. Akhirnya, acara yang mendebarkan bagi saya di Timor Leste sudah lewat. Satu hal yang menyenangkan, paparan saya memberikan inspirasi bagi mereka untuk membangun Timor Leste yang lebih baik lagi pada masa yang akan datang. Melengkapi kunjungan ke Dili, giliran saya yang mengeksplorasi keindahan-keindahan tersembunyi Dili.{}
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H