Tentunya ini berbeda dengan di Indonesia. Negara dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini memiliki struktur pemerintahan yang rumit dan besar. Akibatnya, seorang pemuda harus menjajaki karir dari bawah untuk bisa berkontribusi di pemerintahan. Bagi mereka yang memang berniat berkarir di pemerintahan, meniti karir di birokrasi memang jadi satu-satunya jalan yang harus dilaluinya. Namun, bagi mereka yang lebih senang bergerak dan berkontribusi secara nyata dan segera, pilihannya adalah turun langsung ke masyarakat. Sebagai bentuk aktualisasi dirinya, generasi muda seperti ini umumnya berkecimpung di dunia komunitas atau lembaga non-pemerintah.
Tak sampai satu jam, kami sudah selesai menyatap hidangan makan siang. Gil kemudian mengantarkan saya ke hotel dan mempersilahkan untuk istirahat. Setelah mandi, saya pun sejenak merebahkan diri di kamar hotel. Sembari menikmati deburan ombak di Pantai Kelapa, Timor Leste, secara tak sadar, mata saya pun terpejam.
***
Jeritan bel kamar hotel saya berulang-ulang kali terdengar. Dalam keadaan linglung, saya segera menuju pintu. Di depan pintu, sudah ada Gil berdiri. Sesuai janjinya, jam 7 malam, Gil datang dan menjemput saya untuk makan malam bersama. Segera saya buka pintu dan memohon maaf bahwa saya ketiduran. Tanpa membuang waktu, saya langsung mandi dan bersiap di lobi. Sedangkan Gil, pamit untuk mandi dan ganti baju ke rumahnya, 10 menit dari hotel yang saya tempati.
Tak lama setelah saya mendudukkan diri di lobi, Gil datang bersama istrinya, Cheche. Keduanya membawa saya ke pesisir pantai untuk menikmati makanan laut yang dijajakan oleh penduduk setempat. Saya mencicipi tentakel gurita dan ikan besar sepanjang penggaris 30 Sentimeter, yang biasa saya gunakan ketika masih berseragam pelajar. Keduanya dipanggang di atas bara api dan disajikan bersama ketupat.
Mengenai tentakel gurita, sebenarnya saya agak seram memakannya. Bayangkan, satu tentakel saja ukurannya cukup besar. Panjangnya sekitar 30 Sentimeter, sedangkan ketebalan dagingnya seukuran dua kali jempol tangan saya. Namun, ketika saya mulai mencicipinya, rasanya cukup unik. Manis dan asin menjadi satu di mulut, dan berpadu dengan usaha gigi untuk melumatnya menjadi ukuran yang lebih kecil. Meskipun saya agak seram karena membayangkan gurita, toh, habis juga. Satu hal yang membuat saya senang, akhirnya ada makanan khas Dili yang bisa saya cicipi. Horay!
Dengan segera, Gil menganjurkan saya minum Sagiko untuk menemani santap malam saya saat itu. Sagiko merupakan minuman kaleng yang diimpor dari Australia. Rasanya pun beragam. Kali ini, Sagiko yang saya nikmati adalah rasa buah-buahan, lengkap dengan potongan buah kecil-kecil. Cocok untuk mencuci mulut saya yang belepotan menikmati makanan laut Dili malam itu.
Deburan kecil ombak pesisir pantai Dili, Timor Leste, menemani obrolan kami bertiga. Di dalam cahaya yang remang-remang, kami berbagi tawa dan cerita. Gil dan Cheche banyak bercerita mengenai perjalanan program Anti Corruption Campaign (ACC) di Timor Leste. Mengenai Cheche, dia adalah seorang penyiar radio lokal di Timor Leste. Dia pernah lama di Surabaya ketika menyelesaikan jenjang sarjana di Kota Pahlawan tersebut.
Keduanya juga bercerita tentang hubungan Indonesia dan Timor Leste. Salah satunya adalah keberadaan perusahaan-perusahaan Indonesia di Timor Leste. Sebut saja, beberapa di antaranya adalah Bank Mandiri, Telkomcel (yang tidak lain adalah Telkomsel dari Indonesia), dan Pertamina. Ketiganya menjadi bagian dari roda perekonomian nasional di Timor Leste.
Di ranah akar rumput, banyak toko-toko milik orang Jawa dan orang Indonesia lainnya di Dili. Mereka sudah berasimilasi dengan masyarakat setempat, dan kini menjadi bagian dari roda perekonomian lokal Dili, bersama-sama dengan etnis Tionghoa.