Bicara tentang semarak merdeka belajar, bangsa Indonesia perlu mengambil inspirasi dari Jepang. Masyarakat negara yang dikenal dengan kemajuan tekologinya itu memiliki sebuah budaya yang unik dan inspiratif bernama Tachiyomi. Bisa dibilang, inilah cara masyarakat Jepang mengimplementasikan merdeka belajar. Bukan merdeka dari belajar, tetapi memerdekakan pembelajaran dari sekat ruang dan waktu.
Seperti kata filsuf Lao Tzu, "Watch your actions, they become your habits." Praktik baik yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan di jalur pendidikan melahirkan berbagai kebiasaan positif yang menguat menjadi kebiasaan dan akhirnya berkembang menjadi budaya masyarakat Jepang. Salah satunya adalah Tachiyomi. Â
Bentuk budaya tachiyomi adalah aktivitas membaca buku secara gratis sambil berdiri di toko buku. Di Jepang memang banyak toko buku yang menyediakan satu space buku tanpa segel, sehingga bisa dibaca pengunjung secara gratis. Uniknya, pemilik toko ataupun pelayannya sama sekali tidak keberatan dengan budaya Tachiyomi dan tidak merasa dirugikan.
Untuk bisa menduplikasi budaya Tachiyomi di Indonesia tentunya harus menduplikasi pula praktik baik pendidikan ala Jepang. Salah satunya adalah membaca buku 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Jenis buku yang bisa dibaca juga  tidak melulu buku pelajaran sekolah.
Kuatnya budaya baca di Jepang memberi dampak sangat signifikan terhadap masyarakatnya. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) telah melakukan riset 166.000 orang dari 24 negara di dunia usia 16 -- 65  tahun. Hasilnya menyatakan bahwa orang dewasa Jepang memiliki keunggulan dalam mengolah informasi dan mencari teks-teks padat dibanding orang-orang dari negara lain. Selain itu, orang Jepang usia 25 -- 34  tahun yang telah mengantongi ijazah SMA ternyata memiliki kemampuan menulis lebih hebat daripada  alumnus perguruan tinggi di Italia dan Spanyol dari kelompok usia yang sama.
Tentang berapa banyak buku yang berhasil diterbitkan di Jepang, sungguh istimewa. Pada tahun 1913 saja, Jepang telah meraih rekor jumlah buku yang telah diterbitkan. Kuantitasnya bahkan melebihi Amerika Serikat.
Ada banyak data yang melatarbelakangi perlunya penduplikasian praktik baik pendidikan ala Jepang yang menguatkan budaya baca masyarakat. Salah satunya adalah Indeks Aktivitas Literasi Baca (Alibaca) Nasional 2020 yang merupakan hasil riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud).
Berdasarkan hasil riset lembaga tersebut, bisa diketahui bahwa Indeks Alibaca Nasional menunjukkan kategori aktivitas literasi rendah, yaitu 37,32. Â Ada empat indeks dimensi penyusunnya, antara lain Indeks Dimensi Kecakapan sebesar 75,92, Indeks Dimensi Akses sebesar 23,09, Â Indeks Dimensi Alternatif sebesar 40,49 dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50.
Kalau mengacu pada keempat dimensi tersebut bisa ditarik interpretasi bahwa masalah besar pendidikan di Indonesia bukan pada kecakapan membaca dan tersedianya alternatif sumber bacaan. Selain pada lemahnya kemampuan mengakses bacaan, masalah terbesar lainnya adalah termarginalkannya membaca dari daftar budaya bangsa Indonesia.
Karena itulah, penguatan budaya baca masyarakat Indonesia harus dimulai dari  actions atau praktik membaca di sekolah. Dalam konsep Merdeka Belajar, praktik pembiasaan membaca akan menjadi ruh pembelajaran.
Selain merdeka dari batas ruang dan waktu, semarak merdeka belajar juga ditandai dengan terkikisnya patronisme pembelajaran. Pola pembelajaran bergeser dari teacher centered (berpusat pada guru) ke student centered (berpusat pada siswa). Pola  ini akan bisa terimplementasikan denan optimal bila ditunjang dengan kualitas literasi informasi sebagai dampak dari pembiasaan membaca. Â