Mohon tunggu...
Yudha Prawira
Yudha Prawira Mohon Tunggu... Bankir - Penulis Lepas

Ilmu-Seni-Enterpreneurship

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resensi Panggil Aku Kartini Saja (Karya Pramoedya Ananta Toer)

22 April 2021   04:21 Diperbarui: 25 April 2021   16:05 4557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap tanggal 21 April, media sosial kita akan banyak menampilkan sosok R.A. Kartini dengan semboyan "Habis Gelap Terbitlah Terang". Yang merupakan terjemahan dari "Door Duisternis Tot Licht". 

Sebuah himpunan surat-menyurat Kartini kepada sahabat-sahabat terdekatnya.Yang disusun oleh Mr. J.H. Abendanon, dalam upayanya untuk meningkatkan reputasi, memperlancar jalannya menjadi Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.

Sepanjang yang kita ketahui, Kartini merupakan tokoh pergerakan perjuangan wanita. Kartini adalah simbol usaha peningkatan derajat dan pengembalian hak-hak dasar --terutama hak menikmati pendidikan-- kaum wanita. Dimana pada zamannya, hak tersebut adalah kemewahan yang hanya dapat dinikmati segelintir saja. Dimana pada zamannya, hak tersebut direnggut oleh budaya patriarki dan feodalisme Pribumi. Dimana pada zamannya, wanita Pribumi baru benar-benar bebas setelah ia menikah, lalu hidup menjanda.

Namun, hanya sampai situkah peran Kartini?

Mengapa ia sampai digelari pahlawan nasional?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, Pram menyajikan Panggil Aku Kartini Saja (PAKS). Sebuah alternatif sejarah. Berdasarkan observasi sistematis terhadap surat, nota, artikel dan seluruh berkas otentik yang berkaitan dengan Kartini yang dapat dikumpulkan.

Peran sesungguhnya Kartini untuk bangsa

Pram menampilkan Kartini sebagai patriot. Yang berjuang lewat lapangan kepengarangan. Lapangan yang memiliki ruang lingkup juang yang lebih luas dibanding lapangan kerja lain.

Memang hampir semua karya Kartini ditulis dengan bahasa Belanda. Menciptakan tanda tanya pada golongan Pribumi beberapa. Berada pada pihak mana Kartini? Mengapa tidak menggunakan bahasa Melayu atau Jawa? Bahasa sebangsanya?

Kartini sengaja. Ini terkait kepada siapa karya itu ditujukan.

Pada saat itu, Bahasa Belanda merupakan bahasa kaum intelektual. Dengan Belanda, Kartini berharap dapat menarik perhatian semua pihak, yang dapat membantu usaha perbaikan nasib Rakyat. Hendak menciptakan propaganda secara halus. Hendak menggalang suatu pembentukan opini. Hendak menghidupkan kesadaran atau paradigma baru. 

Bagi bangsawan Pribumi, agar tidak memandang Rakyat melalui kacamata feodal. Bagi Belanda, agar menaruh simpati dan lebih menghargai Pribumi secara keseluruhan. Sedangkan untuk Rakyat sendiri, Kartini berpendapat, contoh-contoh bicara lebih jelas dan gamblang daripada ribuan kata-kata.

Menepis segala keraguan, manifes kepengarangan Kartini jelas: Rakyat adalah tujuan akhir. Senada dengan yang berulangkali lantang diteriakkan oleh humanis besar, Multatuli, "Tugas Manusia adalah menjadi Manusia". Seluruh hasil karya Kartini merupakan bentuk perjuangan meningkatkan peradaban sebangsa. Seluruh pekerjaannya adalah suatu bentuk usaha untuk membangkitkan kesadaran berbangsa (nasionalisme). Kata Kartini:

"Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi bagi pengangkatan derajat dan pengadaban Rakyatku." (PAKS hal. 207)

Usaha ini membuahkan hasilnya. Karena sejarah mencatat awal abad ke-20 sebagai momentum konsolidasi gagasan dan kekuatan menuju Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh peletak batu pertama (founding fathers) konstruksi NKRI mulai bermunculan. Sebut saja. Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, Amir Syarifuddin, Sutan Sjahrir, Tan Malaka. Konsolidasi tersebut mencapai puncak dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928. 

Sumpah Pemuda menegaskan bahwa kesadaran Pribumi sebagai suatu bangsa yang berbeda namun adalah satu telah hidup. Dan bahwa Pribumi telah siap mengambil alih kehidupan berbangsa dan bernegara diatas kakinya sendiri. Karya-karya Kartini baik secara langsung maupun tidak langsung, sedikit banyak memiliki andil di dalamnya.

Cinta dan Egoisme

Kartini mendapatkan daya dorong (ausdauer) dari cinta dan rasa benci.

Cinta pada jiwa-jiwa yang seiya. Cinta pada Rakyat. Sampai-sampai ia memiliki gagasan radikal untuk tinggal bersama Rakyat jelata. Cinta pada alam dan bumi kelahirannya. Bagi Kartini, cinta tidak buta. Cinta memiliki bentuk atau suatu sikap konkrit. Terpancar pada tingkah laku dan perbuatan. Cinta berarti memberikan segala-galanya yang dipunya. Dan baru berhenti memberi apabila nafas berhenti berhembus. Konsep ini adalah apa yang juga diajarkan dalam Islam, dikenal dengan rahmatan lil alamin atau bermanfaat bagi seluruh alam semesta.

Pram dan Kartini adalah jiwa-jiwa seiya. Keduanya memiliki beberapa kesamaan kondisi psikologi, lingkungan dan sosial. Keduanya sama-sama lahir dan besar di daerah yang tidak terlalu subur dan banyak ditumbuhi pohon jati. Kartini di Jepara dan Pram di Blora. Jawa Tengah. Keduanya sama-sama penggemar sastra. Kartini, karena kedudukannya dalam tatanan sosial, lebih banyak bercengkrama dengan buku daripada Rakyat sekitar. Pram juga, yang merupakan anak seorang guru sekolah yang disegani di Blora. Tentu memperoleh fasilitas bacaan yang baik dari ayahnya.

Keduanya mendapatkan pencerahan dari buku-buku yang mereka telan. Lalu nurani mereka tergoncang. Merasakan ironi ketidakadilan saat membandingkan dunia abstraksi di buku dengan kondisi riil Rakyat di lingkungan sekitar. Mereka sama-sama menentang sistem tatanan sosial yang menggolongkan derajat manusia berdasarkan garis keturunan. Merka memiliki musuh yang sama. Musuh dari cinta. Yang sangat dibenci dan dilawan sekuat tenaga oleh Kartini, yakni egoisme. Egoisme merupakan musuh utama, dan Kartini hampir tidak peduli pada siapa yang mewujudkan egoisme ini menjadi kenyataan, bahkan jika itu dirinya sendiri. Kata Kartini:

"Egoisme selamanya kupandang sebagai kejahatan yang paling buruk yang ada, dan yang paling, paling aku jijiki; demikian pula kemursalan, ketidaktahuan bersyukur itu..." (PAKS hal. 283)

Egoisme adalah rangsang hidup yang berlebih-lebihan buat diri sendiri. Oleh karenanya merupakan sumber penderitaan bagi orang lain. Alokasi perhatian pada hanya alam mikrokosmos dalam diri tanpa simpati pada alam makrokosmos diluarnya. Egoisme ini mewujudkan diri dalam bentuk keserakahan. 

Keserakahan pada gilirannya memanggil kezaliman, ketidakadilan dan kepalsuan. Sifat-sifat ini menciptakan dua sistem sosial yang paling menyengsarakan wanita Pribumi: poligami dan adat feodal. Ironisnya, dua sistem ini diwujudkan oleh orang yang paling dicintai Kartini, Ayahnya. Kartini berjuang sekaligus mengalami penderitaan yang amat sangat, berhadapan dengan cinta sekaligus musuh terbesarnya tersebut.

Feminisme yang tidak terjamah

Latar waktu yang sering digunakan Pram adalah masa-masa sebelum kemerdekaan. Jika kita pelajari secara cermat, sekali lagi, baik pada Tetralogi Buru, Arok Dedes, Midah Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, para tokoh wanita Pribumi dalam buku Pram sering kali diceritakan sedang mengalami perjuangan, berbagai bentuk penindasan dan keterpaksaan.

Tidak terkecuali pada Panggil Aku Kartini Saja.

Sedikit berbeda dengan ulasan Ruth Indiah Rahayu di akhir buku, saya berpendapat bahwa Pram sebenarnya menaruh perhatian pada kontradiksi gender. Di mata Pram, wanita Pribumi adalah pejuang sesungguhnya. Berjuang tidak hanya melawan penjajah, namun juga sistem sosial masyarakat Pribumi yang masih memandang sebelah mata peran wanita. Di PAKS, berulangkali digambarkan bagaimana Kartini yang seorang wanita Pribumi berjuang melawan bangunan raksasa egoisme dalam berbagai bentuk manifestasi.

Pram adalah seorang pendukung feminisme. Bahkan sampai-sampai tak nampak berbeda baginya, hasil kerja atau karya dari seorang yang berlainan gender. Yang pokok adalah hasil kerja. Serta daya upaya dalam proses menuju hasil kerja tersebut. Yang lain hanyalah penunjang. Pria atau wanita adalah sama. Sejajar sederajat.

Bukankah itu cita-cita daripada feminisme? Menyamajajarkan derajat pria dan wanita.

Penggambaran pria yang mendominasi wanita perlu dimafhumi sebagai akibat dari kuatnya sistem sosial patriarki dan feodalisme saat itu. Dan memang itulah yang terjadi. Jika kita melakukan observasi kecil-kecilan pada lingkungan sekitar, sisa-sisa sistem sosial tersebut masih terasa. Terutama kabupaten-kabupaten di Jawa.

Cerita fiksi karangan Pram memiliki derajat kemiripan yang tinggi dengan realita. Membuat pembaca seolah hidup di dalamnya. Karena memang terinspirasi oleh kehidupan itu sendiri. Membawa pembaca terbang menghayal, namun tetap dalam batas kesadaran. Kesadaran bahwa kita terikat oleh sistem sosial. Kesadaran bahwa sistem sosial tersebut tidak sempurna. Kesadaran bahwa setiap upaya percobaan untuk merubahnya, atau bahkan hanya untuk tidak mengindahkannya, akan berbuntut pada diskriminasi dan sanksi sosial.

Kartini sebagai suri tauladan

Kartini memiliki terlalu banyak hal untuk diteladani. Mulai dari yang paling dasar, rasa benci terhadap egoisme. Karena ternyata egoisme jauh lebih jahat dari apa yang kita kira selama ini. Egoisme memiliki daya rusak yang besar. Berkaca dari Kartini, saya menyadari bahwa diri ini masih sangat egois, mursal dan tidak tahu diri. Mungkin selama ini, hampir mayoritas waktu yang kita miliki, habis untuk memikirkan kepentingan diri sendiri. Bagaimana karir, bagaimana menjadi kaya, bagaimana mendapatkan kemahsyuran, bagaimana jodoh dan seterusnya.

Dengan kesadaran dan rasa benci terhadap egoisme. Setiap individu akan memiliki tanggung jawab sosial. Akan memiliki tanggung jawab lingkungan. Setiap perbuatan akan diperhitungkan sekali lagi baik buruknya, kadar manfaatnya bagi bukan hanya diri sendiri namun juga seluruh alam semesta.

Kartini adalah pencilan (outliers) dari sebangsanya. Kartini adalah seorang visioner. Kartini adalah konseptor awal benih bangsa yang bernama Indonesia. Brahma, dalam sistem kasta Hindu. Penanda beralihnya zaman feodalisme "sakitan" menuju babak Indonesia modern. Sehingga diskusi, pembahasan maupun pengajaran sejarah awal Indonesia modern, tidak akan mendapatkan pijakan yang tepat sebelum membahas Kartini. Panggil Aku Kartini Saja merupakan sumber yang dapat diandalkan (reliable) untuk memulai bahasan tersebut. Dan yang paling penting, di PAKS, Pram memposisikan Kartini sebagai manusia. Sesuai dengan tugasnya. Dengan segala keluarbiasaanya dan kelemahannya. Bukan sekedar relikwi, atau tokoh mitos dalam dunia dewa-dewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun