Feminisme yang tidak terjamah
Latar waktu yang sering digunakan Pram adalah masa-masa sebelum kemerdekaan. Jika kita pelajari secara cermat, sekali lagi, baik pada Tetralogi Buru, Arok Dedes, Midah Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, para tokoh wanita Pribumi dalam buku Pram sering kali diceritakan sedang mengalami perjuangan, berbagai bentuk penindasan dan keterpaksaan.
Tidak terkecuali pada Panggil Aku Kartini Saja.
Sedikit berbeda dengan ulasan Ruth Indiah Rahayu di akhir buku, saya berpendapat bahwa Pram sebenarnya menaruh perhatian pada kontradiksi gender. Di mata Pram, wanita Pribumi adalah pejuang sesungguhnya. Berjuang tidak hanya melawan penjajah, namun juga sistem sosial masyarakat Pribumi yang masih memandang sebelah mata peran wanita. Di PAKS, berulangkali digambarkan bagaimana Kartini yang seorang wanita Pribumi berjuang melawan bangunan raksasa egoisme dalam berbagai bentuk manifestasi.
Pram adalah seorang pendukung feminisme. Bahkan sampai-sampai tak nampak berbeda baginya, hasil kerja atau karya dari seorang yang berlainan gender. Yang pokok adalah hasil kerja. Serta daya upaya dalam proses menuju hasil kerja tersebut. Yang lain hanyalah penunjang. Pria atau wanita adalah sama. Sejajar sederajat.
Bukankah itu cita-cita daripada feminisme? Menyamajajarkan derajat pria dan wanita.
Penggambaran pria yang mendominasi wanita perlu dimafhumi sebagai akibat dari kuatnya sistem sosial patriarki dan feodalisme saat itu. Dan memang itulah yang terjadi. Jika kita melakukan observasi kecil-kecilan pada lingkungan sekitar, sisa-sisa sistem sosial tersebut masih terasa. Terutama kabupaten-kabupaten di Jawa.
Cerita fiksi karangan Pram memiliki derajat kemiripan yang tinggi dengan realita. Membuat pembaca seolah hidup di dalamnya. Karena memang terinspirasi oleh kehidupan itu sendiri. Membawa pembaca terbang menghayal, namun tetap dalam batas kesadaran. Kesadaran bahwa kita terikat oleh sistem sosial. Kesadaran bahwa sistem sosial tersebut tidak sempurna. Kesadaran bahwa setiap upaya percobaan untuk merubahnya, atau bahkan hanya untuk tidak mengindahkannya, akan berbuntut pada diskriminasi dan sanksi sosial.
Kartini sebagai suri tauladan
Kartini memiliki terlalu banyak hal untuk diteladani. Mulai dari yang paling dasar, rasa benci terhadap egoisme. Karena ternyata egoisme jauh lebih jahat dari apa yang kita kira selama ini. Egoisme memiliki daya rusak yang besar. Berkaca dari Kartini, saya menyadari bahwa diri ini masih sangat egois, mursal dan tidak tahu diri. Mungkin selama ini, hampir mayoritas waktu yang kita miliki, habis untuk memikirkan kepentingan diri sendiri. Bagaimana karir, bagaimana menjadi kaya, bagaimana mendapatkan kemahsyuran, bagaimana jodoh dan seterusnya.
Dengan kesadaran dan rasa benci terhadap egoisme. Setiap individu akan memiliki tanggung jawab sosial. Akan memiliki tanggung jawab lingkungan. Setiap perbuatan akan diperhitungkan sekali lagi baik buruknya, kadar manfaatnya bagi bukan hanya diri sendiri namun juga seluruh alam semesta.