Pertanyaan ini dijawab oleh ahli sosio-psikologi. Mereka meneliti kondisi objektif apa yang menghasilkan tingkat kebahagiaan lebih tinggi. Kebahagiaan adalah apa yang kita rasakan dari dalam, baik itu rasa senang, rasa puas maupun rasa nyaman. Disebut dengan subjective well being (SWB). Lalu bagaimana peneliti, sebagai orang luar, mengukur perasaan seorang individu dari dalam?
Mahasiswa Psikologi tentu familiar dengan skala Likert. Kumpulan pertanyaan dalam kuisioner dimana responden diminta menyatakan tingkat persetujuan atas suatu pernyataan dengan skala jawaban dari 1 sampai 5.Â
Misal, 1 untuk sangat tidak setuju dan 5 untuk sangat setuju. Pernyataan yang dilontarkan bisa seperti 'Saya merasa puas dengan posisi saya saat ini', 'Gaji saya sepadan dengan beban kerja' atau 'Hidup saya menyenangkan'. Jawaban-jawaban tersebut dikompilir untuk mengukur SWB seorang individu.
Biasanya SWB dibandingkan dengan faktor objektif tertentu. Seperti tingkat pendapatan, sistem politik suatu negara atau jumlah followers Instagram.Â
Penelitian seperti itu akan menjawab apakah tingkat pendapatan berpengaruh terhadap kebahagiaan? Apakah meningkatnya pendapatan berbanding lurus dengan meningkatnya kebahagiaan? Apakah semakin banyak jumlah followers, orang akan semakin bahagia? Dan seterusnya.Â
Beberapa kesimpulan menarik dari penelitian tentang kebahagiaan adalah sebagai berikut:
- Uang menghasilkan kebahagiaan, namun hanya sampai tingkat tertentu. Lewat dari itu, uang tidak memberi kontribusi yang signifikan.
- Sakit menyebabkan orang menderita dalam jangka pendek. Setelah sembuh, dalam jangka panjang orang sakit akan lebih bersyukur.
- Hubungan sosial dengan keluarga dan kolega dekat (community) lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan dibanding uang dan kesehatan.
Di luar tiga kesimpulan di atas, kesimpulan paling penting mungkin membuat anda tercengang: bahwa kebahagiaan tidak benar-benar berasal dari kondisi objektif baik itu uang, kesehatan maupun hubungan sosial. Melainkan dari ekspektasi subjektif terhadap kondisi objektif.Â
Kita bahagia saat realita yang terjadi sesuai dengan ekspektasi, atau lebih baik. Kita bahagia saat mendapatkan apa yang diharapkan.Â
Misal, Budi ingin kuliah di ITB namun diterima di ITS, maka ia tidak bahagia. Jika Budi membeli motor seharga 10,5 juta di mana harga pasarnya 12, maka ia bahagia. Atau setidaknya puas bisa mendapatkan motor dengan harga lebih murah.
Lalu, bagaimana cara agar kita tetap bahagia dan terhindar dari rasa kecewa? Sepertinya kita harus memiliki kesadaran bahwa ada kemungkinan harapan atau keinginan kita tidak menjadi kenyataan. Dan menyiapkan hati untuk ikhlas menerimanya.