Mohon tunggu...
Yudha Prakasa
Yudha Prakasa Mohon Tunggu... Teknisi - Teknisi

Mencoba untuk terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan yang Memilih Untuk Bahagia

11 Februari 2023   23:15 Diperbarui: 11 Februari 2023   23:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu di bulan Januari, tidak seperti hari-hari biasanya, hujan akan segera turun membasahi jalanan kota Bekasi. Dari langit kelihatan potongan-potongan awan yang menggantung rendah, sekali duakali angin berembus menggeser awan ke permukaan gedung-gedung tinggi untuk mencari kenangan yang hilang. Adakalanya hujan menari-nari di kedalaman angin, menghantam kaca-kaca mobil yang masih berseliweran di jalanan; seperti bongkahan es. Di kursi depan mobil aku duduk selayaknya penumpang, dan perempuan itu terus melaju menembus belantara hujan dengan mobilnya.

Sebelumnya akan aku ceritakan terlebih dahulu kenapa bukan aku, sebagai seorang laki-laki, yang mengambil alih kendali kendaraan tersebut melainkan perempuan itu. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengemudikan mobil, aku terbilang orang yang malas untuk mengikuti kelas mengemudi.

Aku bisa saja mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam dalam kurun waktu kurang dari lima menit, tetapi dengan mobil aku hanya bisa duduk diam di kursi penumpang. Sesekali perempuan itu terus mengoceh, mengingatkanku akan ketidakmampuanku untuk menyetir.

"Aku bukannya tidak mau belajar menyetir, tapi aku ingin memberikan ruang bagi semua perempuan untuk setara dengan laki-laki. Kini saatnya perempuan yang unjuk diri, mengemudikan mobil dan laki-laki duduk diam di kursi penumpang hehe..." jawabku dengan jokes satire feminis.

Aku baru mengenal dan menjalin hubungan dengannya kurang lebih setahun yang lalu. Ia tiga tahun lebih tua dariku. Ia memiliki kulit yang cerah, matanya selalu terlihat berbinar dengan air muka yang tampak serasi dengan matanya. Ia memiliki gen keturunan Tionghoa dari kakeknya, terlihat jelas dari mata dan kulitnya, namun hal itu justru bertolak belakang dengan lekuk hidungnya yang bangir---mungkin ia satu-satunya permpuan keturunan Tionghoa yang memiliki bentuk hidung seperti itu.

Kita menghabiskan waktu hampir satu jam dengan perdebatan di mobil di tengah-tengah kemacetan kota Bekasi. Tema perdebatan kita cukup berat; Sigmund Freud. Aku yang terus berargumen bahwa Freud adalah seorang Psikonalisis cum Filsuf dengan menjabarkan secara mendetail argumentasiku, namun ia yang beranggapan bahwa Psikologi tidak memiliki hubungan apa pun dengan filsafat jika memiliki hubungan maka itu hanya sedikit dan tidak merubah apa pun. "Psikologi ya psikologi, filsafat ya filsafat!" jawabnya dengan argumentasi psikologi positivistik---ia tidak pernah kehabisan akal untuk membahas psikologi dari A samapai Z, alasannya karena dia seorang alumni Psikologi di Universitas ternama di kota Bandung.

Ia adalah seorang perempuan yang anti terhadap kemunduran, baginya kemunduran adalah kesengsaraan maka ia lebih memilih untuk bahagia dengan mangalami perubahan. Orang kadang bisa berubah secara drastis, bisa juga menghancurkan gaya diri yang sebelumnya dengan berani dan bangkit kembali dengan penuh kekuatan dari puing-puing itu. Ia juga melakukan hal yang serupa.

Selama aku mengenalnya, ia terus berusaha menjalani hidup dengan begitu khidmat. Seorang perempuan yang terus menikmati setiap detik hidupnya. Bagi kebanyakan orang setiap hari itu terasa sama saja, namun baginya jika setiap hari terasa sama saja itu karena orang-orang tidak menyadari hal-hal indah yang terjadi dalam hidup mereka. Semua itu terlihat di kedalaman matanya terbentang dunia yang mendalam yang melampaui waktu, terlihat jelas ada sebuah kilau tekad dan optimisme.

Aku sedang menulis ini sambil menelusuri rangkaian ingatan terhadap peristiwa yang telah kita jalani. Jika sebelumnya aku menganggap bahwa tidak ada yang lebih penting di dunia ini kecuali buku-buku bacaanku, namun ingatan tentangnya merubah keselurahan sudut pandangku bahwa dia adalah satu-satunya buku bacaanku.

Dia yang telah membawaku keluar dan membebaskan diri dari jalan kesengsaraan, dan membawaku berjalan bersama pada kebahagiaan.

Hari ini adalah hari di mana ia merayakan ulang tahunnya, doa yang baik bukanlah saat kita menengadahkan muka dan menjulurkan tangan mengarah ke langit namun doa yang baik adalah saat kita terus berkata bahwa pilihanku adalah bahagia. Karena aku tahu upacara menjadi manusia itu sangat melelahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun