Mohon tunggu...
Yudha Prakasa
Yudha Prakasa Mohon Tunggu... Teknisi - Teknisi

Mencoba untuk terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Separuh Dunia Telah Berdusta! Percayalah

28 Januari 2023   02:46 Diperbarui: 28 Januari 2023   03:00 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket foto: Dokumen pribadi

Antusiasme seperti itu yang membuat kita setiap harinya bisa bertahan hidup. Namun bagaimana jika kebahagiaan itu telah didapatkan, apakah kita akan kehilangan alasan untuk hidup seperti layaknya manusia? Aku rasa tidak, begitu pun dengan Marx.

Marx memandang bahwa keruntuhan kapitalisme bukanlah ketika kapitalisme memproduksi barang---dari proses kerja buruh yang teraleanasi---yang berlebih dan seturut dengannya daya beli masyarakat yang menurun karena penghisapan tenaga kerja buruh semakin keras (pemiskinan).

Tapi sangat disayangkan bahwa sampai hari ini era kapitalisme tidak pernah runtuh. Asumsi Karl Marx mungkin benar tetapi sekaligus keliru, justru ia lupa menempatkan satu hal paling penting yang sudah ada dalam diri manusia yaitu, sebuah sosok yang begitu mengerikan: hasrat, yang memaksa untuk terus-menerus mengkonsumsi.

Hasrat itulah yang membawa setiap manusia terus mencari kebahagiaan, yang sebelumnya sudah diraih, secara terus-menerus. Dengan itu setiap manusia masih memiliki alasan untuk terus melanjutkan hidup.

Namun situasi seperti ini justru memperlihatkan bahwa kebahagiaan itu bukanlah sebuah tujuan. Kebahagiaan hanyalah sebuah Oase di tengah-tengah padang gurun. Ia akan selalu hadir secara terus-menerus tanpa henti, seperti sebuah rantai lingkaran tak terputus yang telah mengikat diri kita. "Berjalan terus dan terus", samsara.

Aku pernah mendengar sebuah cerita "katanya Tuhan bersemayam di dalam diri semua orang yang bahagia." Namun kadangkala kita tidak pernah tahu bahkan di dalam setets air pun, yang hampir setiap harinya kita lihat, di sana terdapat banyaknya sumber kebahagiaan.

Ada sebuah kecenderungan di mana kita suka membangun sebuah proyeksi akan sesuatu, yang semuanya terarah pada kebahagiaan.

Aku curiga mungkin selama ini kita telah salah melihat sebuah dunia di mana kita hidup, manusia pada umumnya terlalu takut akan hal-hal yang sebenarnya tidak diketahuinya; takut kehilangan apa yang belum kita miliki.

Bukan berarti aku menyarankan untuk menekan semua hasrat kebahagiaan, meskipun hanya sebuah proyeksi, dan mengikuti jalan asketisme ekstrim untuk melepaskan semua keinginan dan hasrat tersebut. Percayalah kita tidak seperti Tathagata---sebagaimana Buddha disebut.

Aku hanya ingin memperlihatkan gambaran yang lebih luas lagi: mungkin selama ini dunia telah membohongi kita dan membentuk dunia baru dengan kebahagiaan sebagai berhalanya.

Mungkin juga penglihatan dan sudut pandang kita yang telah diperdaya akan hal itu, seperti sebuah camera obscura yang memperlihatkan gambar terbalik dari objek yang diperlihatkan---atas menjadi bawah, kiri menjadi kanan dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun