Mohon tunggu...
Yudha A
Yudha A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa serba bi(a)sa

Lebih tahu perbedaan “di” dan “di” daripada pilihan hidup

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Rekonstruksi Makna Asesmen: Kurikulum Merdeka sebagai Instrumen Pengembangan Potensi Intelektual dan Emosional

4 Oktober 2024   05:40 Diperbarui: 4 Oktober 2024   08:29 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kurikulum Merdeka hadir sebagai sebuah respons terhadap tantangan global abad ke-21. Salah satu transformasi signifikan dari kurikulum ini adalah rekonstruksi terhadap makna asesmen dalam sistem pendidikan nasional. Selama bertahun-tahun, asesmen identik dengan pengukuran numerik---sekadar instrumen untuk menentukan siapa yang lulus dan siapa yang gagal. Akan tetapi, lahirnya Kurikulum Merdeka mengajak kita untuk melihat asesmen sebagai instrumen yang jauh lebih kaya dan kompleks, tidak hanya menilai kecerdasan kognitif, tetapi juga mengakomodasi dimensi emosional, sosial, dan karakter siswa.

Dalam pandangan tradisional, asesmen sering kali dipersempit menjadi pengukuran hasil belajar berbasis tes dan angka yang pada akhirnya mereduksi kompleksitas proses belajar-mengajar menjadi sekadar kompetisi akademik. Padahal, pendidikan adalah sebuah proses multidimensi yang tidak dapat sepenuhnya diukur melalui skor numerik. Kurikulum Merdeka berupaya melampaui batasan tersebut dengan menekankan pada pembelajaran yang bersifat personal, holistik, dan kontekstual. Asesmen dalam kerangka Kurikulum Merdeka difungsikan untuk mengukur hasil akhir dan juga memantau perkembangan proses belajar siswa secara menyeluruh.

Rekonstruksi makna asesmen yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka membuka ruang bagi pengembangan potensi intelektual dan emosional siswa secara lebih seimbang. Asesmen bukan lagi sekadar alat untuk mengukur hal yang diketahui siswa, melainkan juga cara siswa berpikir, bersikap, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Salah satu prinsip dalam perencanaan pembelajaran dan asesmen yang digunakan dalam Kurikulum Merdeka dan menekankan pada pemahaman mendalam siswa adalah Understanding by Design (UbD). Prinsip ini tidak hanya sekadar proses penerimaan informasi, tetapi menempatkan pemahaman siswa sebagai tujuan utama dalam proses pembelajaran. Hal tersebut dikemas secara lebih terstruktur dalam tujuan pembelajaran yang relevan, asesmen pembelajaran yang terencana, dan kegiatan pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa. Asesmen dalam prinsip ini mencakup asesmen diagnostik, formatif, dan sumatif yang terus-menerus mengamati dan memberi umpan balik terhadap proses belajar, sehingga memungkinkan pendidik untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar individu dan meresponsnya secara tepat.

Selain itu, dalam kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen beralih dari sekadar menjadi alat evaluasi menuju instrumen refleksi bagi guru dan siswa. Dalam implementasinya, guru dan siswa didorong untuk lebih aktif dalam proses penilaian melalui self-assessment dan peer assessment yang dapat meningkatkan kemampuan metakognitif dan membangun kesadaran emosional. Proses penilaian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif, reflektif, dan kolaboratif. Melalui proses ini, guru dan siswa diajak untuk lebih memahami posisi siswa, hal yang harus dipertahankan, dan hal yang perlu ditingkatkan baik dalam aspek intelektual maupun emosional, sehingga memungkinkan mereka mengembangkan potensi diri secara lebih utuh.

Lebih jauh lagi, asesmen dalam Kurikulum Merdeka juga berperan penting dalam membentuk karakter dan keterampilan abad ke-21 seperti kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan berpikir kritis. Asesmen berbasis proyek, misalnya, selain menguji kemampuan akademik, juga menilai kemampuan siswa dalam bekerja sama, memecahkan masalah, dan berinovasi. Asesmen berbasis proyek mencerminkan pendekatan yang lebih kontekstual, aplikatif, dan relevan dengan tantangan di lingkungan siswa, sekaligus mengintegrasikan pengembangan aspek intelektual dan emosional secara bersamaan.

Namun demikian, perubahan paradigma ini juga menuntut perubahan dalam cara pandang guru terhadap asesmen. Guru bukan lagi sekadar pengumpul data prestasi siswa, tetapi menjadi fasilitator yang membantu siswa menemukan dan mengembangkan potensi siswa secara holistik. Peran guru dalam memberikan umpan balik yang bermakna, mendorong refleksi diri, dan membangun lingkungan belajar yang mendukung pengembangan intelektual serta emosional menjadi semakin esensial.

Rekonstruksi makna asesmen dalam Kurikulum Merdeka adalah sebuah langkah maju dalam mengubah wajah pendidikan Indonesia. Pendidikan tidak lagi terjebak dalam paradigma sempit yang berfokus pada hasil semata, tetapi mengarah pada pengembangan potensi manusia secara menyeluruh. Asesmen berperan sebagai katalisator yang mendorong pertumbuhan intelektual, emosional, dan karakter yang pada gilirannya akan mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Dengan demikian, Kurikulum Merdeka bukan sekadar sebuah reformasi struktural, lebih dari itu, transformasi ini adalah sebuah revolusi filosofis yang merekonstruksi makna pendidikan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun