Seakan membuka lembaran lama, ingatan itu datang meskipun samar. Ingatan tentang kisah masa kecil ku di tahun 90-an, ingatan tentang sebuah perjalanan.
Sore itu, ayah dan ibu bersiap-siap untuk berangkat ke stasiun Solo Balapan. Kereta akan berangkat sekitar pukul 7 malam. Kami akan menumpang kereta jurusan Solo Balapan menuju Bandung. Kami sekeluarga akan pergi ke Bandung untuk mengunjungi nenek buyut yang tinggal di Cimahi.
Ayah menggendong ku yang masih berusia sekitar 2 atau 3 tahun sedangkan ibu ku menggandeng kakak yang berusia sekitar 5 tahun. Kami masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan kami menuju stasiun Solo Balapan.
Nampaknya aku tertidur lelap sepanjang perjalanan, atau memang aku sudah lupa apa saja yang terjadi di dalam kereta. Namun, kondisi pagi itu masih samar terlintas di ingatan ku. Aku terbangun dengan posisi berada di atas kursi, kakak ku tidur di atas kursi di depan ku, sedangkan ibu ku tidur dibawah diantara kursi kami dengan beralaskan tikar. Ayah ku, aku tidak ingat Ia tidur dimana, nampaknya Ia mencari kursi yang kosong di dekat tempat kami.
Begitulah kenangan ku saat pertama kali naik kereta. Meskipun hanya samar namun berkesan.
Dua puluh tahun berlalu, aku sudah dewasa dan bekerja di Jakarta. Kereta api bagi ku bukan hanya sekedar alat transportasi, namun sebagai alat pengobat rindu yang dipisahkan oleh jarak. Setiap dua minggu sekali, sepulang dari bekerja di hari Jumat, dengan menumpang ojek online aku berangkat menuju Stasiun Pasar Senen.
Di stasiun aku melihat wajah-wajah yang sudah tidak sabar menunggu rindunya terobati. Wajah senang karena terbayang keluarga di kampung halaman dan untuk sejenak beristirahat dari hiruk pikuk kota metropolitan. Mereka, termasuk aku adalah kaum PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Sebutan bagi kami yang pulang pada hari Jumat dan harus kembali lagi ke Ibu Kota pada hari Senin untuk mencari nafkah.
Kereta perlahan mulai berjalan meninggalkan stasiun diiringi dengan degup jantung ku yang semakin kencang dipompa oleh semangat. Bersama dengan kawan, aku menghabiskan malam di dalam kereta, mulai dari mengobrol, membeli nasi goreng dan coklat panas di gerbong makan hingga tertidur, meskipun cuma tidur ayam-ayaman.
Kutengok ke luar jendela, semburat cahaya mentari pagi mulai nampak, pertanda stasiun tujuan ku sudah dekat. Pemandangan sawah di pagi hari dengan embun di jendela disertai suara roda besi kereta menggilas rel menimbulkan perasaan haru. Perasaan yang sangat aku rindukan. Ya, aku pulang.
Terimakasih KAI.
Sukses selalu dan jangan pernah lelah untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H