Di pagi hari yang sejuk, tepatnya Selasa, 14 Januari 2025, pukul 07.00 WIB, suasana di rumah saya terasa begitu tenang dan damai. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan menghadirkan perasaan rileks, seolah memberikan hadiah kecil berupa momen hening sebelum rutinitas harian dimulai. Langit pagi itu cukup cerah, meski awan-awan tipis masih menggantung di cakrawala, memberikan nuansa yang menenangkan. Pemandangan ini seperti mengisyaratkan harapan akan hari yang baik, penuh keberkahan, dan semangat baru.
Setelah melaksanakan ibadah shalat dhuha, saya berdiri di dekat jendela ruang tamu, menikmati pemandangan di luar rumah. Dari balik jendela rumah, saya melihat burung-burung gereja yang hinggap di kabel listrik dan ranting pohon di depan rumah. Suara cericit mereka terdengar merdu, seolah menjadi orkestra alami yang menyambut pagi. Beberapa burung tampak saling mengejar, bermain-main, sementara yang lain berdiam diri seakan merenung. Saya membiarkan diri tenggelam dalam suasana ini, menikmati ketenangan yang jarang saya rasakan di tengah kesibukan hidup sehari-hari.
Namun, waktu terus berjalan, dan saya tahu bahwa saya harus mulai bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dengan penuh kesadaran akan pentingnya ketepatan waktu, saya mengatur langkah-langkah pagi saya dengan disiplin. Saya menuju kamar, mengambil pakaian kerja yang sudah saya siapkan sejak malam sebelumnya. Kemeja biru muda yang sudah disetrika rapi tergantung di gantungan baju, menunggu untuk dikenakan. Saya memilih dasi abu-abu dengan pola sederhana yang saya rasa cocok dengan suasana hari itu. Setelah mengenakan pakaian kerja, saya memeriksa kembali isi tas saya, memastikan dokumen-dokumen penting, laptop, dan barang-barang lainnya sudah siap. Rutinitas ini selalu saya lakukan untuk menghindari kekacauan di tengah hari.
Selesai mempersiapkan diri, saya mengenakan jaket yang tergantung di belakang pintu, memeriksa ulang kunci rumah, lalu melangkah keluar. Udara pagi yang sejuk langsung menyapa kulit saya, memberikan sensasi segar yang membuat langkah saya terasa ringan. Jalanan di sekitar rumah saya masih lengang, hanya ada beberapa tetangga yang sudah mulai aktivitas mereka. Beberapa terlihat menyiram tanaman di depan rumah, sementara yang lain sibuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Pemandangan ini memberikan perasaan hangat, sebuah pengingat akan pentingnya komunitas kecil di lingkungan tempat tinggal.
Saya berjalan santai menuju halte bus pengumpan Transjakarta yang terletak tidak jauh dari rumah saya. Sepanjang perjalanan, saya menikmati pemandangan pepohonan di tepi jalan, yang daunnya tampak segar setelah hujan ringan semalam. Angin pagi bertiup pelan, membawa aroma tanah yang basah dan dedaunan yang baru tersiram embun. Ada rasa syukur yang menyelimuti hati saya saat itu, menyadari betapa indahnya momen-momen kecil yang seringkali terlewatkan dalam kesibukan.
Sesampainya di halte, saya melihat beberapa orang lain yang juga sedang menunggu bus. Suasana di halte terasa cukup tenang, meski ada percakapan kecil di antara beberapa penumpang. Saya menyapa mereka dengan senyuman, sebuah kebiasaan kecil yang saya yakini bisa membuat suasana lebih ramah. Sekitar 20 menit kemudian, bus yang kami tunggu akhirnya tiba. Suara mesin bus yang mendekat segera menarik perhatian semua orang di halte. Kami berdiri dalam barisan rapi, menunggu giliran untuk naik.
Begitu pintu bus terbuka, saya melangkah masuk dengan tertib. Di dekat pintu masuk, saya mengetap kartu Tapcash saya pada alat pembayaran Tap On Bus (TOB). Suara bip dari mesin menandakan pembayaran berhasil, dan saya melanjutkan langkah ke bagian tengah bus untuk mencari tempat duduk yang kosong. Setelah memindai sejenak, saya menemukan kursi di dekat jendela. Saya segera duduk, membuka resleting jaket saya agar lebih nyaman, dan mengambil gadget pribadi dari saku celana sebelah kanan.
Rutinitas saya di dalam bus biasanya dihabiskan untuk membaca berita atau mencari informasi terkini yang menarik perhatian. Saya membuka browser di gadget dan mulai menggulir layar, membaca headline demi headline. Beberapa berita menarik perhatian saya, tetapi ada satu judul artikel yang langsung membuat saya berhenti: "Para Siswa SD di Depok Tinggalkan Pesan Menyentuh untuk Prabowo di Ompreng Makanan Bergizi Gratis." Judul ini memicu rasa penasaran saya, terutama karena isu ketahanan pangan dan program makan bergizi menjadi topik yang sering saya dengar belakangan ini.
Artikel itu mengisahkan tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Presiden RI, Prabowo Subianto. Program ini telah berjalan selama sepekan, mencakup 190 titik di 26 provinsi. Anak-anak sekolah dasar yang menjadi penerima manfaat program ini menunjukkan rasa syukur mereka dengan meninggalkan pesan-pesan menyentuh di kotak makan atau ompreng yang mereka gunakan. Salah satu kisah yang diangkat dalam artikel itu adalah tentang Regita, seorang siswa kelas 3 SD, yang menulis pesan dengan penuh antusias di tempat omprengannya. Pesannya sederhana, tetapi sarat makna: "Makasih ya, Pak Prabowo atas semua makanannya. Jadi aku bisa nabung, karena uang jajanku gak habis."
Selain Regita, ada juga cerita dari Aliya, siswa kelas 5, dan Alena, siswa kelas 6. Keduanya menulis pesan cinta dan doa untuk Presiden Prabowo, disertai gambar hati yang penuh warna. Program MBG ini tampaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan nutrisi anak-anak, tetapi juga memberikan dampak emosional yang mendalam, menciptakan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus.