Sayangnya, di Indonesia hampir setengah jumlah anak perempuan mengalami praktik sunat. Sunat perempuan masih dipertahankan karena sebuah tradisi, simbolis upacara dan agama.
Tujuan dari tradisi ini dapat menyucikan kehormatan perempuan dan mengurangi hasrat seksual.
Namun, Badan Kesehatan Dunia WHO menegaskan bahwa sunat perempuan adalah ilegal, sangat bertentangan dari segi medis, serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Karena itu, setiap tanggal 6 Februari dunia memperingati The International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation atau Hari Tanpa Toleransi terhadap Sunat Perempuan.
Badan Kesehatan Dunia menjelaskan bahwa ada 4 tindakan dalam praktik sunat perempuan:
1. Pemotongan klitoris atau bagian klitoris perempuan (clitoridectomy)
2. Pemotongan klitoris dan bagian dalam bibir kemaluan perempuan
3. Pemotongan klitoris, bibir luar dan bibir dalam kemaluan serta penjahitan hasil potongan tersebut
4. Pemotongan secara simbolis klitoris maupun bagian lain kemaluan perempuan.
Tradisi sunat perempuan di Indonesia masih kontroversial.
Tahun 2006, Kementerian Kesehatan pernah melarang tindakan sunat pada perempuan.
Namun, sangat ditentang oleh berbagai kalangan termasuk Majelis Ulama Indonesia, bahwa sunat laki dan perempuan itu wajib.
Mereka mendesak untuk tidak melarang tradisi ini dan menegaskan bahwa sunat yang dilakakan tidak seekstrim seperti mutilasi, female genital mutilation/cutting.
Kemudian Kementerian Kesehatan mencabut larangan ini sehingga terbitlah Peraturan kementerian kesehatan tahun 2010 tentang praktik sunat perempuan.