Mohon tunggu...
Yuda Rian Bahari
Yuda Rian Bahari Mohon Tunggu... Administrasi - -

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (''Bukan'') Budaya Indonesia

20 April 2019   17:27 Diperbarui: 20 April 2019   18:03 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

          Tetapi pendapat seperti itu dibantah dengan tegas oleh Smith. Smith mengemukakan sejumlah contoh yang mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Penyebab utamanya adalah gaji yang sangat rendah. Karena menerima gaji yang sangat rendah, orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda sangat mudah tergoda untuk menerima imbalan tambahan dari organisasi-organisasi pribumi yang lemah. Hanya saja, karena banyak dari bentuk-bentuk korupsi yang terjadi ketika itu berlangsung dengan modus operandi yang belum dikenal sebelumnya, ia cenderung mendapat nama yang cukup sopan dan dipandang sebagai perbuatan legal.

          Berbagai bentuk korupsi yang telah berlangsung sejak sebelum tahun 1800-an itu, cenderung semakin meluas setelah terjadinya peralihan kekuasaan ke tangan gubernur jenderal belanda. Penyebab nya adalah terjadinya perubahan metode pembayaran terhadap para aristokrat pribumi. Pembayaran terhadap aristokrat pribumi ini, yang oleh kompeni dilakukan dengan memberikan upeti, oleh gubernur jenderal Belanda diganti dengan memberi gaji. Akibatnya, para aristokrat pribumi tersebut terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak sah jika mereka ingin mempertahankan taraf hidup yang sudah menjadi kebiasaan mereka.

          Perluasan pengertian korupsi secara besar-besaran terjadi setelah Indonesia memasuki periode merdeka. Dengan beralihnya kekuasaan dari penguasa kolonial ke tangan pemerintah Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap penggunaan kekayaan negara secara benar cenderung meningkat. Pemakaian secara pribadi kekayaan negara secara benar oleh para pejabat negara akan serta merta dipandang sebagai tindakan korupsi. Sebagaimana dikemukakan Wertheim, tindakan yang sebelumnya dipandang sebagai tindakan normal, kini dipandang secara lebih kritis.

          Kembali lagi ke pembahasan mengenai pendapat Daron Acemoglu, sejalan dengan pendapat beliau bangsa ini dapat berkaca pada pembangunan di era orde baru yang berakhir dengan sebuah klimaks di penghujung abad ke-20. Kita tahu, orde baru membawa perbaikan signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang carut marut di masa orde lama. Kurang lebih 3 dasawarsa orde baru dapat mengklaim berbagai keberhasilan pembangunan yang dapat dibuktikan dengan berbagai data-data terpercaya. Tidak sedikit lembaga internasional yang memberi apresiasi terhadap kemajuan pembangunan Indonesia terutama di dasawarsa awal orde baru. Namun, hantaman krisis 98 yang merontokan ekonomi Indonesia hingga ke titik terendah kemudian membuka mata banyak orang bahwa pembangunan di masa orde baru tidak dijalankan diatas fundamen yang kokoh sehingga sangat rapuh dan sewaktu-waktu dapat berbalik ke titik ekstrim.

          Penyebabnya ialah, tata kelola institusi politik dan ekonomi yang sangat buruk di masa orde baru membuat pertumbuhan ekonomi yang sempat meroket tersebut tidak dapat dipertahankan dan justru membawa Indonesia pada titik balik kehancuran. Politik ekonomi yang tidak inklusif membuat Indonesia di zaman orde baru gagal mempertahankan capaian-capaian yang sempat ditorehkannya.

          Lantas mengapa harus menerapkan politik ekonomi inklusif ? karena politik ekonomi inklusif akan membuka ruang pada proses meritokrasi. Secara sederhana dapat diterjemahkan, institusi politik inklusif akan memberi peluang pada orang-orang terbaik untuk mengisi pos-pos pemerintahan dan pos-pos lain yang membutuhkan proses politik. Dengan demikian birokrasi dapat berjalan dengan baik karena dijalankan orang-orang yang memiliki keahlian dan memiliki kualitas moral yang memadai untuk menjalankannya. Orde baru secara praktis mengabaikan prasyarat ini sehingga menyuburkan oligarki politik. Di masa orde baru, para politisi akan berjuang lebih keras untuk mendekat ke lingkaran oligarki daripada membekali diri dengan kualitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas politiknya. Karena itu, institusi politik orde baru bersifat sangat eksklusif. Hanya dapat diakses oleh pihak-pihak yang dapat memasuki oligarki orde baru yang kemudian oligarki politik tersebut melahirkan oligarki ekonomi.

          Institusi politik yang bersifat eksklusif memunculkan keraguan pada para pelaku ekonomi untuk menjalankan persaingan sehat, tidak ada jaminan bahwa temuan-temuan teknologi atau inovasi-inovasi yang dijalankan pelaku ekonomi mendapat perlindungan negara dari klaim pihak lain yang sesungguhnya tidak berhak. Karena itu, dalam sebuah institusi politik eksklusif kemajuan usaha ekonomi hanya dapat dicapai degan menjadi bagian dari oligarki politik. Maka praktek korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi proses paling logis yang mesti ditempuh oleh siapapun untuuk bisa unggul dalam ekonomi. Karena hanya segelintir orang dapat berhasil menjalankan proses ini dan menikmati konsesi bisnis melalui relasi-relasi politik. Karena itu terjadilah pemusatan ekonomi dalam lingkaran sebuah oligarki.

          Dari seluruh pembahasan paragraph diatas, pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia ialah: Pertama, korupsi pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan. Mengutip Lord Acton, kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang berkuasa secara absolut, akan korup secara absolut pula. Kedua, korupsi sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang semakin meluas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun