Adrian bercerita kepada Alif tentang dilema itu. "Aku tidak ingin klenteng ini hilang, tapi aku juga tahu kami butuh uang untuk bertahan hidup."Â
Alif, seperti biasa, mendengarkan dengan tenang. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Kau bisa kehilangan bangunan, tetapi kau tidak akan pernah kehilangan warisan leluhurmu jika kau menjaga nilai-nilainya."Â
Kata-kata Alif itu memberi Adrian kekuatan. Ia akhirnya memutuskan untuk menjual klenteng, tetapi dengan syarat: pengembang harus membangun taman budaya yang tetap menghormati sejarah tempat itu.Â
Keputusan itu mendapat dukungan luas dari warga, termasuk komunitas Muslim di sekitar klenteng. Taman budaya yang dibangun kemudian menjadi simbol harmoni antaragama di kota itu. Di sana, setiap orang bebas berkumpul, berdialog, dan saling belajar tentang perbedaan mereka.Â
Pada peresmian taman budaya itu, Adrian berdiri di atas panggung kecil, bersama Alif di sampingnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Hari ini, kita membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang. Persahabatan saya dengan Alif telah mengajarkan saya bahwa kita bisa saling menghormati tanpa kehilangan siapa diri kita sebenarnya."Â
Langit sore itu jingga keemasan, seolah menyetujui setiap kata yang terucap. Di tengah tepuk tangan hadirin, Alif dan Adrian saling tersenyum. Mereka tahu perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.Â
Dan di bawah langit jingga itu, dua sahabat dari dua dunia berbeda berdiri bersama, membuktikan bahwa harmoni bukan sekadar impian, tetapi sesuatu yang bisa dicapai dengan hati yang tulus.
Setelah peresmian taman budaya, Adrian dan Alif semakin dikenal sebagai simbol persatuan di kota kecil mereka. Taman itu, yang diberi nama "Taman Harmoni Langit Jingga", menjadi tempat di mana berbagai komunitas berkumpul untuk berdiskusi, belajar budaya, dan mengadakan acara lintas agama.Â
Namun, di tengah kebahagiaan itu, datang sebuah tantangan baru yang tak terduga. Seorang tokoh agama berpengaruh dari luar kota mulai mengkritik keberadaan taman budaya tersebut. Dalam sebuah ceramahnya, ia menyatakan bahwa taman itu adalah simbol "sinkretisme" yang mengaburkan batas-batas keyakinan.Â
Kabar itu menyebar dengan cepat, memicu perdebatan di kota. Sebagian orang mulai meragukan niat baik di balik taman tersebut, sementara sebagian lainnya tetap mendukung Adrian dan Alif. Kritik itu juga memengaruhi bisnis kafe mereka, yang mulai kehilangan pelanggan karena dianggap "kontroversial."Â
Di tengah tekanan itu, Alif dan Adrian merasa terhimpit. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Adrian. "Aku tak ingin ini menjadi alasan kota kita terpecah."Â