Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan dan Politik

Pemerhati bidang sosial budaya, pendidikan dan politik mengantarkan dirinya menjadi kolumnis media lokal dan nasional. Pernah mengenyam pendidikan di MTs-MA YTI Sukamerang Cibatu Garut, S1 PBA Tarbiyah IAIN SGD Bandung dan S2 Ikom Unpad. Mediator bersertifikat dari PMI MM UGM, Arbitrase Kanaka Yogyakarta juga legal drafting dari Jimly School of Law and Government Jakarta. Istri dari F.Saad dan Ibu 3 anak ini pernah mengemban amanat sebagai Dosen di beberapa PTS atl: STIKOM Bdg, Institut Manajemen Telkom, APIKES Bdg, STABA (Sekolah Tinggi Analis Bhakti Asih Bandung), Fikom Universitas Sangga Buana dan Telkom University. Pernah aktif di beberapa lembaga negara atl: 2010-2012 Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Kec Cimenyan Kab Bdg; 2013-2018 Komisioner KPU Kab Bdg; 2019-2024 Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Ketua Persma Suaka IAIN SGD Bandung juga Presidium Forum Pers Mahasiswa (FPMB) Bandung 1997/1998 ini aktif juga di Dewan Pakar ICMI Orwil Jabar dan ICMI Kota Bandung, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jabar juga Majlis Pembinaan Kader Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah Provinsi Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya yang Padam

15 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   16:09 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://uinsgd.ac.id/

Yani  adalah perempuan yang dikenal dengan integritas dan dedikasinya. Namanya harum di Kabupaten Bandang ketika ia menjadi Komisioner KPU, memimpin jalannya pemilu dengan adil dan transparan. Kemudian, kiprahnya berlanjut di Komisi Transparansi  Provinsi, di mana ia memperjuangkan hak masyarakat atas informasi publik. 

Ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang ibu dan pendidik yang selalu percaya bahwa kebenaran akan menang di atas segalanya. Namun, perjalanan hidup seringkali tidak seindah idealisme. 

Tahun itu, Yani memutuskan untuk mengikuti seleksi sebagai Komisioner Komisi Lembaga Cahaya Provinsi Java. Ia merasa ini adalah langkah yang tepat sebuah lahan pengabdian untuk melanjutkan perjuangannya melawan hoaks dan menjaga kualitas penyiaran yang sehat di masyarakat. Persiapan ia lakukan dengan matang. Seluruh dokumen, portofolio, hingga visi-misinya ia susun dengan hati-hati. 

Di tengah proses seleksi, ia mulai merasakan adanya atmosfer yang berbeda. Ada bisikan tentang sejumlah uang yang berpindah tangan di belakang layar. Teman-teman sesama peserta seleksi mulai membicarakan bagaimana beberapa kandidat mendekati pihak-pihak tertentu dengan "amplop". 

Fadli teman Yani berujar: "Ini kan cost politic, hal yang wajarlah dilakukan untuk meraih sebuah kursi jabatan". "Kamu punya modal berapa? Atmosfer sekarang tidak butuh hanya bermodal dengkul dan keenceran otak" tanya Fadli agak sinis.

"Kamu sudah diusung Parpol apa? Berapa rupiah mahar yang telah kamu titipkan ke mereka, atmosfer sekarang satu kandidat harus diusung satu Parpol, syukur jika diusung Parpol besar, jangan Parpol kecil karena kurang kuat daya tawarnya" Tegas Fadli sambil berlalu tanpa menunggu Yani mengungkapkan jawabannya.

Yani  tetap pada pendiriannya. "Integritas itu tidak bisa dibeli," katanya pada seorang teman dekat. Namun, hatinya mulai terusik. Bisakah ia bertahan dalam tahapan seleksi yang tidak lagi berdasarkan kemampuan? 

Sebelum hari H pengumuman tiba, kabar burung para kandidat terpilih sudah berseliweran lewat WA tepat satu jam usai uji kelayakan Komisi Penentu Provinsi Java. Hari pengumuman resmi tiba. Yani harap-harap cemas. Tersenyum simpul saat mengklik laman website namanya tidak ada diantara kandidat terpilih. Ia menyadari bahwa integritas saja tidak cukup di dunia yang penuh dengan kompromi ini. Beberapa nama yang ia tahu kurang memiliki pengalaman atau rekam jejak yang kuat, tiba-tiba ada di daftar terpilih. 

Ia tidak marah, tetapi cukup kecewa. Dirinya yang berlumur dosa harus bisa berlapang dada, harus bisa instrospeksi diri, harus bisa bangkit kembali. Setelah pengumuman, seorang teman mendekatinya. Dengan nada pelan, ia berbisik, "Kamu kalah, bukan karena kamu tidak layak, tapi karena kamu tidak mau ikut permainan, kaamu kurang gesit lobi plus plus". 

" Ingat Non, Politik membutuhkan sumber daya yang besar, baik secara finansial maupun jaringan", lontaran kalimat dari sahabatnya masih melekat erat di rungunya.

Yani tersenyum pahit. Ia tahu perjuangannya belum selesai, meski kali ini ia harus menerima kenyataan pahit. Baginya, tereliminasi di tahapan seleksi ini bukan akhir, melainkan pengingat bahwa jalan kebenaran selalu penuh duri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun