Yani  adalah perempuan yang dikenal dengan integritas dan dedikasinya. Namanya harum di Kabupaten Bandang ketika ia menjadi Komisioner KPU, memimpin jalannya pemilu dengan adil dan transparan. Kemudian, kiprahnya berlanjut di Komisi Transparansi  Provinsi, di mana ia memperjuangkan hak masyarakat atas informasi publik.Â
Ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang ibu dan pendidik yang selalu percaya bahwa kebenaran akan menang di atas segalanya. Namun, perjalanan hidup seringkali tidak seindah idealisme.Â
Tahun itu, Yani memutuskan untuk mengikuti seleksi sebagai Komisioner Komisi Lembaga Cahaya Provinsi Java. Ia merasa ini adalah langkah yang tepat sebuah lahan pengabdian untuk melanjutkan perjuangannya melawan hoaks dan menjaga kualitas penyiaran yang sehat di masyarakat. Persiapan ia lakukan dengan matang. Seluruh dokumen, portofolio, hingga visi-misinya ia susun dengan hati-hati.Â
Di tengah proses seleksi, ia mulai merasakan adanya atmosfer yang berbeda. Ada bisikan tentang sejumlah uang yang berpindah tangan di belakang layar. Teman-teman sesama peserta seleksi mulai membicarakan bagaimana beberapa kandidat mendekati pihak-pihak tertentu dengan "amplop".Â
Fadli teman Yani berujar: "Ini kan cost politic, hal yang wajarlah dilakukan untuk meraih sebuah kursi jabatan". "Kamu punya modal berapa? Atmosfer sekarang tidak butuh hanya bermodal dengkul dan keenceran otak" tanya Fadli agak sinis.
"Kamu sudah diusung Parpol apa? Berapa rupiah mahar yang telah kamu titipkan ke mereka, atmosfer sekarang satu kandidat harus diusung satu Parpol, syukur jika diusung Parpol besar, jangan Parpol kecil karena kurang kuat daya tawarnya" Tegas Fadli sambil berlalu tanpa menunggu Yani mengungkapkan jawabannya.
Yani  tetap pada pendiriannya. "Integritas itu tidak bisa dibeli," katanya pada seorang teman dekat. Namun, hatinya mulai terusik. Bisakah ia bertahan dalam tahapan seleksi yang tidak lagi berdasarkan kemampuan?Â
Sebelum hari H pengumuman tiba, kabar burung para kandidat terpilih sudah berseliweran lewat WA tepat satu jam usai uji kelayakan Komisi Penentu Provinsi Java. Hari pengumuman resmi tiba. Yani harap-harap cemas. Tersenyum simpul saat mengklik laman website namanya tidak ada diantara kandidat terpilih. Ia menyadari bahwa integritas saja tidak cukup di dunia yang penuh dengan kompromi ini. Beberapa nama yang ia tahu kurang memiliki pengalaman atau rekam jejak yang kuat, tiba-tiba ada di daftar terpilih.Â
Ia tidak marah, tetapi cukup kecewa. Dirinya yang berlumur dosa harus bisa berlapang dada, harus bisa instrospeksi diri, harus bisa bangkit kembali. Setelah pengumuman, seorang teman mendekatinya. Dengan nada pelan, ia berbisik, "Kamu kalah, bukan karena kamu tidak layak, tapi karena kamu tidak mau ikut permainan, kaamu kurang gesit lobi plus plus".Â
" Ingat Non, Politik membutuhkan sumber daya yang besar, baik secara finansial maupun jaringan", lontaran kalimat dari sahabatnya masih melekat erat di rungunya.
Yani tersenyum pahit. Ia tahu perjuangannya belum selesai, meski kali ini ia harus menerima kenyataan pahit. Baginya, tereliminasi di tahapan seleksi ini bukan akhir, melainkan pengingat bahwa jalan kebenaran selalu penuh duri.Â