Mohon tunggu...
Yudananto Ramadan Saputro
Yudananto Ramadan Saputro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman

A life-time learner.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Partai Buruh dan Hukum Besi Oligarki

4 Mei 2022   17:33 Diperbarui: 4 Mei 2022   17:39 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tatanan negara demokrasi, keberadaan institusi partai politik menjadi suatu hal yang sangat esensial. Mereka merupakan suatu entitas yang tidak dapat terpisahkan. Secara konsepsional, keduanya menjadi pelengkap antara satu dengan yang lain. Partai membutuhkan ruang demokrasi untuk tumbuh, sedangkan demokrasi membutuhkan partai untuk dapat mencapai inti maknanya.

Keberadaan partai tersebut tidak hanya dipandang dari aspek kuantitas saja, namun juga harus dilihat mengenai derajat efektvitas dan kualitas terhadap kinerja mereka. Secara prinsipil, partai adalah sarana bagi masyarakat untuk mengakomodasi, mengagregasi, mengartikulasi, dan merepresentasikan kepentingan serta mencari jawaban atas tantangan masyarakat lewat lapangan politik. Partai merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk mencapai kedaulatannya.

Maka dari itu, ditinjau dari sifat-sifat prinsipil kepartaian di atas, mereka sesungguhnya adalah suatu instrumen yang dibutuhkan untuk dapat mencapai suatu kehidupan demokrasi yang sifatnya substansial, bukan hanya prosedural. Yang dimaksud disini, yaitu pelaksanaan demokrasi yang murni sesuai dengan tujuan-tujuan normatifnya, bukan praktik demokrasi yang sifatnya hanya seremonial semata dan mengabaikan prinsip utama demokrasi.

Tetapi secara riil, praktik kepartaian masih membutuhkan banyak koreksi. Relasi lembaga kepartaian dengan konstituennya masih sangat harus dioptimalisasikan. Apabila diperhatikan, kebijakan dan arus gerak kepartaian saat ini masih jauh dari upaya representatif partai terhadap konstituennya pada tingkat akar rumput, hal ini secara mudah dapat kita lihat dari beragam respon masyarakat terhadap kinerja mereka. Maka muncul pertanyaan: kemana kinerja dan arus gerak kepartaian mereka arahkan apabila bukan kepada konstituennya?

The Iron Law of Oligarchy

Robert Michels, seorang politisi dan sosiolog asal Jerman dalam bukunya yang berjudul Political Parties menciptakan suatu teoritisasi terkait ketimpangan relasi kuasa. Teori tersebut ia kembangkan dengan merujuk kepada suatu bentuk "hukum besi" yang mengikat dari kelompok oligarki.

Menurut Michels, dalam suatu negara maupun lembaga---Michels merujuk kepada partai politik---yang dibentuk se-demokratis apapun, pada ujungnya akan bersifat oligarkis. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya hanya akan ada sekelompok kecil saja yang benar-benar berkuasa, berdaulat, dan memiliki kewenangan riil atas tiap agenda pada partai tersebut. Michels menyebut kelompok tersebut sebagai "leadership class".

Kelompok kecil tersebut, walau sifatnya minoritas, namun memiliki kuasa untuk dapat mengorganisir, mengatur, bahkan hingga menciptakan suatu tatanan terhadap kelompok yang lebih besar jumlahnya. Struktur ini dapat diibaratkan sebagai sebuah piramida. Dalam bentuk piramida, digambarkan bahwa pada tingkatan paling bawah, merupakan area di mana lay people's berada. Sedangkan para elit duduk pada sisi piramida paling atas dan pada bentuk yang paling mengerucut kecil. Walaupun secara visual keberadaan mereka terlihat paling kecil ditambah dengan ruang gerak yang cenderung lebih sempit, tetapi pada kenyataannya mereka berdiri dengan "menginjak" struktur paling bawah pada piramida tersebut, yang digambarkan sebagai lay people's, atau, masyarakat dan kader biasa. Mereka bahkan memiliki ruang gerak yang jauh lebih leluasa dalam sistem kelembagaan partai tersebut.

Visualisasi pada piramida tersebutlah yang sesungguhnya terjadi pada realitas politik kini. Perbedaan kuasa pada kelompok kecil dan besar tersebut akhirnya menciptakan suatu kesenjangan. Yang dimaksud dengan perbedaan kuasa ini adalah disebabkan oleh adanya suatu permasalahan struktural, yaitu kesenjangan terhadap kepemilikan basis sumberdaya materiil diantara keduanya yang kemudian berpengaruh terhadap aksesibilitas mereka terhadap kelompok yang secara riil dan normatif menjadi penguasa di partai tersebut.

Kelompok kecil tersebut, walaupun sifatnya minoritas tetapi mereka memiliki resources yang lebih besar sehingga dapat ikut menentukan agenda kepartaian. Dalam hal ini, mereka berupaya untuk mencipatakan suatu simbiosis mutualisme. Di satu sisi, untuk menjalankan roda kepartaian dengan maksimal, partai membutuhkan suatu suntikan sumberdaya. Tetapi pada sisi yang lain, sumberdaya yang dibutuhkan tersebut tidak selamanya dimiliki secara personal oleh para pengurus di internal partai tersebut. Sehingga, untuk memenuhi hasrat materiil kelembagaannya, mereka harus bersedia membuka diri terhadap kelompok eksternal yang bersedia mengulurkan bantuan. Sebagai timbal balik, partai bersedia mengikuti agenda kelompok eksternal tersebut yang diharuskan tercapai lewat agenda-agenda politik-pemerintahan. Hal ini akan membuat partai tidak benar-benar memperhitungkan suara konstituennya pada tingkat akar rumput. Pada titik ini pula, partai akan menjadi tawanan kelompok elite.

Michels melihat dalam konstelasi politik riil---setidaknya pada Partai Sosialis Jerman, partai tempat ia bernaung---bahwa hampir tidak ada satu partai pun di dunia yang tidak terhinggapi oleh penyakit elitisme ini. Hal ini sangat berkebalikan dengan konsepsi partai yang terdapat pada alam pikir Michels. Menurutnya, partai seharusnya dikembangkan dengan berlandaskan pada aspirasi dan kepentingan kader serta konstituennya. Konsepsi partai menurut Michels ini sejatinya juga merupakan esensi dari keberadaan partai politik pada alam demokrasi. Lewat konsepsi ini, Michels berupaya untuk mendorong terciptanya demokrasi yang substansial.

Fenomena ini merusak citra partai yang semula merupakan suatu institusi demokrasi, menjadi institusi yang berwatak otokratik-oligarkis.

Politik Indonesia

Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini, beberapa partai bahkan telah dihinggapi oleh elitisme yang menyangkut ketergantungan yang nyaris total terhadap figur. Dalam nuansa seperti ini, tidak heran kalau kemudian berbagai peristiwa politik lebih identik  berbau sebagai konsensus antar kekuatan eksklusif dari balik layar yang sesungguhnya adalah aspirasi dari para elite. Agenda tersebut dikhawatirkan tak lebih dari sekadar suatu penggembira dan pemberian legitimasi atas kehendak para elite pada partai tersebut, tanpa adanya upaya akomodatif terhadap suara-suara dari pihak lain yang lebih penting untuk dipertimbangkan.

Tahun-tahun belakangan ini misalnya, kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang begitu bising. Anehnya, kebisingan tersebut hampir-hampir selalu dimulai oleh partai politik. Simak saja misalnya mulai dari "kudeta" Partai Demokrat, perumusan UU Omnibus Law Ciptaker, hingga yang teranyar yaitu isu perpanjangan masa jabatan presiden. Semua isu tersebut barangkali memiliki substansi permasalahan yang berbeda. Namun secara mendasar apabila dilihat dari perspektif hukum besi oligarki Michels, maka akar dari penyebab permasalahan itu semua adalah pertarungan kepentingan kepartaian, khususnya di level elite.

Bagi Saya, pertarungan kepentingan besar yang dilakukan antar partai jelas adalah pertarungan antar para elite di pucuk kekuasaan. Hal itu bahkan mungkin saja dilakukan dengan didasari oleh kepentingan sepihak, tanpa adanya pertimbangan dan perhitungan suara kader maupun simpatisan pada tingkat akar rumput. Kecurigaan kita dapat semakin meningkat jikalau kepentingan yang dicetuskan oleh partai tersebut tidak membawa suatu gagasan yang populer dan populistik. Alih-alih menciptakan suatu respon positif dan dukungan di masyarakat, hanya keributan sajalah yang didapat.

Pertarungan antar elite tersebut sejatinya dapat kita lihat dari beberapa tujuan. Pertama, keinginan bagi mereka untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan, dan kedua, kebutuhan mempertahankan resources lewat pernak-pernik kebijakan yang dapat mereka buat dan pengaruhi.

Dalam kasus perumusan UU Omnibus Law Ciptaker misalnya, kita dapat melihat bagaimana kekuatan para elite partai, baik di pihak eksekutif maupun legislatif melebur menjadi satu lewat terbentuknya suatu satgas maupun panja perumusan regulasi ini. Dalam komposisi satgas dan panja ini, kita dapat melihat bahwa saat ini "garis batas" antara pejabat publik dengan pebisnis nyaris hilang. Artinya, terdapat ketercampuran status antara pejabat publik dengan pebisnis aktif yang secara mayoritas juga merupakan elite partai. 

Regulasi ini nampaknya juga bukan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pasalnya dalam proses perumusan yang mengikutinya, gejolak penolakannya begitu tinggi. Bahkan gelombang penolakan tersebut sampai kepada kelompok buruh. Entitas buruh adalah pihak yang dianggap oleh otoritas akan "diuntungkan" lewat regulasi ini. Tetapi pada sisi lain, mereka justru menjadi salah satu pihak penolak regulasi Ciptaker.

Maka, pertanyaan besar yang kini telah menjadi umum, adalah: untuk siapa sebenarnya regulasi tersebut? Kelompok buruh? Atau justru kekuatan lain di luar kelompok buruh? Mengapa ketika Ciptaker ini diklaim sebagai sesuatu yang menguntungkan buruh, mereka justru menolaknya? Dan, apakah pihak otoritas tidak mendengar dan memperhitungkan aspirasi masyarakat pada tingkat akar rumput terkait perumusan regulasi ini?

Partai Buruh

Buruh adalah entitas yang berpotensi menjadi suatu kekuatan sosial-politik paling besar di Indonesia. Apabila kita merujuk kepada pengertian buruh dari Oxford Dictionary misalnya, buruh merupakan orang yang dipekerjakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan/upah. Artinya, komposisi buruh di Indonesia sangat besar. Tetapi pada sisi lain, walaupun mereka merupakan suatu kekuatan yang besar, dalam lapangan politik hampir-hampir suara mereka tidak pernah diperhitungkan. Pasalnya seperti yang sudah dijelaskan pada bagian atas, besaran jumlah mereka dikalahkan oleh kekuatan yang dimiliki oleh suatu "kelompok kecil" namun dengan kepemilikan resources yang jauh lebih besar. Alhasil, mereka hanya menjadi suatu kelompok subordinat dan marginal.

Pada titik itulah, mereka membutuhkan suatu integrasi kekuatan, yang di Indonesia dan pelbagai belahan negara lainnya, diwujudkan salah satunya lewat suatu bentuk organisasi partai sosial-politik perburuhan. Secara prinsipil, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian atas, partai adalah sarana akomodatif, agregatif, aspiratif, dan artikulatif terhadap pasar dari konstituennya. Maka dalam hal ini, partai buruh adalah entitas yang akan paling mewakili kepentingan para buruh.

Partai Buruh harus dapat menjadi organisasi solutif terhadap beragam masalah keburuhan. 

Bagi Saya, partai ini akan menjadi suatu kelompok representatif yang akan mewakili dan memperjuangkan kelompok yang sangat---bahkan bisa dianggap "paling"---besar di Indonesia. Mereka memikul beban yang cukup berat untuk dapat memperjuangkan nasib para buruh di lapangan politik.

Hingga pada artikel ini terbit, Saya masih harap-harap cemas terhadap Partai Buruh. Sepatutnya kita memang harus berharap, bahwa partai ini akan benar-benar dapat mengakomodasi, mengartikulasi, mengagregasi, dan merepresentasikan kekuatan para buruh pada lapangan politik dan mendorong terciptanya demokrasi yang substansial. 

Namun disisi lain, tidak sentimental rasanya apabila Saya justru skeptis terhadap Partai Buruh. Pasalnya, kita sudah dapat mengerti bagaimana Robert Michels membedah "perilaku partai" lewat teori Hukum Besi Oligarki miliknya.

Semua organisasi berpeluang besar untuk terikat oleh "besi" milik oligarki. Begitu pula pada Partai Buruh. Inti makna "buruh" yang melekat pada partai dapat begitu saja hilang. Bila merujuk pada teori Michels, elite Partai Buruh bisa menjadi berkuasa sendiri. Walaupun mereka akan tetap menggunakan embel-embel buruh. Apalagi, sejauh ini---pasca Orde Baru---kita belum pernah melihat Partai Buruh---maupun konfederasi buruh lainnya---benar-benar menunjukkan taringnya. 

Tetapi bagi Saya, skeptisisme harus dihilangkan, optimisme harus ditumbuhkan. Maka dari itu, patut kita nantikan kiprah Partai Buruh pada kontestasi elektoral 2024 nanti.

Referensi:

Michels, R. 1911. Political Parties. German: Werner Klinkhardt.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun