Latar Belakang
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran. Seperti halnya yang di cita-citakan oleh undang-undang dasar Indonesia tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pada kenyataannya belum terlaksana secara baik dan sesuai. Salah satu faktor utamanya tak lain ialah metoda pembelajaran yang dilakukan belum secara maksimal.
Metoda pembelajaran Indonesia saat ini masih dibilang kaku dan tidak fleksibel. Hal ini dapat dilihat dari peraturan sekolahnya yang masih mengikuti aturan dari pemerintah pusat, padahal pada kenyataannya penerapan tidak akan efektif untuk sekolah-sekolah yang letaknya berjauhan dari lokasi pemerintah pusat. Sistem full day school sangat kurang efektif bagi daerah-daerah di Indonesia. Tenaga dari siswa sekolah dasar dikuras habis padahal fisik mereka tentu tidak akan sekuat orang-orang dewasa yang sudah terbiasa dengan jam kerja dan lembur.
Selain pada peraturan dasar sistem jam sekolah, masih banyak lagi tugas yang seharusnya dibenahi oleh pemerintah. Hal ini diiringi oleh perkembangan zaman yang setiap harinya semakin berkembang. Untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan pengkajian ulang disetiap tahunnya. Sistem istirahat yang dimaksud adalah pada saat pergantian jam pelajaran. Waktu 15 menit istirahat dirasa cukup untuk setiap pergantian jam pelajaran. Sistem ranking yang selama ini dibanggakan pun dirasa kurang efektif bagi  setengah peserta didik terutama untuk sekolah dasar yang sebenarnya masih rawan dalam pembentukan karakter mereka.
Deskripsi  Â
Pendidikan diindonesia masih dianggap seperti robot. Kaku dan tidak fleksibel, jadwal mereka yang padat disinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Padahal seperti kita tahu bahwa orang dewasa maupun anak-anak sebenarnya memiliki pemikiran yang hampir sama pada umumnya. Otak kita akan merasa pusing apabila diberikan masukan secara berlebihan apalagi mengenai pendidikan dengan waktu yang padat.
Istirahat selama 15 menit setiap kali pergantian jam pasti akan membuat cukup efektif dalam penerapannya. Seperti kita tahu bahwa setiap manusia diberikan kekurangan dan juga kelebihan dari setiap dirinya. Setiap manusia tidak bisa dipaksakan untuk dapat menguasai semua ilmu secara bersamaan hal ini dapat kita lihat dengan pemilihan sistem jurusan pada sekolah tinggi yang bervariasi.
Pada saat sekolah dasar jadwal yang padat tidak akan berdampak baik dan hanya akan membuat mereka mendapatkan pendidikan yang masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Daya serap informasi dari setiap manusia tidak lah sama. Akan tetapi untuk dapat menyamakannya maka dengan sistem istirahat selama sekitar 15 menit setelah mendapat satu atau dua jam pelajaran setiap 35 menit atau 70 menit setiap mata pelajarannya dirasa mampu mengatasi perihal daya serap anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang baru. Untuk dapat menyerap pendidikan yang berbeda setiap mata pelajarannya maka dibutuhkan istirahat atau rehat sejenak yang berkisar 15 menit.
Anak-anak yang tidak berpendidikan baik maka akan mudah mendapatkan pemikiran yang salah. Hal ini lah yang merupakan dampak negatif dari pada penerapan ranking sekolah. Penerapan ranking sebenarrnya diharapkan dapat meningkatkan prestasi setiap siswanya. Akan tetapi pada kenyataannya mental anak-anak yang masih rawan justru akan tertekan dan bukan termotivasi terutama untuk siswa yang mendapat ranking rendah disekolah.
Hilangnya Einstein di Indonesia bisa dikatakan karena sistem ranking ini ada. Einstein dan beberapa penemu hebat lainnya saat kecil bukan merupakan anak pintar pada umunya bahkan guru pada masanya mencap sebagai anak yang  bodoh. Sistem pendidikan ranking sebenarnya menghambat potensi unggul yang sesungguhnya.
Dengan dihapuskan sistem rangking diharapkan hilangnnya strata pada anak-anak, Sistem rangking juga dapat menjadi penyebab dari pada kesenjangan sosial di dalam pendidikan. Bullying yang seharusnya hilang terutama pada saat masa kecil pertumbuhan karakter ternyata malah menjadi sumbu. Anggapan seseorang bodoh oleh temannya dapat menurunkan mental, motivasi dan semangat dalam mendapat pendidikan.
Jika dalam satu kelas terdiri dari 30 orang maka dalam mindset setiap orang, siswa yang mendapat 10 besar akan menjadi anak pintar dan sukses dimasa depan. Pada akhirnya anak yang memiliki tingkat rendah hanya akan kehilangan motivasi dan semangat belajar. Penerapan penghapusan ranking pada masa sekolah dirasa akan maksimal dikarenakan sistem ini sebenarnya tidak ada pada saat masa bangku kuliah. Jika pada saat masa kuliah sistem ranking ditiadakan maka tidak akan sulit menghilangkan sistem rangkingdisekolah.Â
Untuk menghilangkan tembok pembatas tersebut,  peningkatan kualitas pendidikan juga membutuhkan sistem yang baik dan pengkajian ulang pada penerapannya. Penerapan sistem rangking juga sebenarnya tidak menguntungkan bagi mayoritas  peserta didik yang ada. Pemahaman anak-anak yang masih seperti hukum rimba seharusnya ditiadakan. Mereka yang pintar tak jarang tidak ingin berkelompok dengan siswa yang memiliki rangking dibawahnya.
Mereka yang mendapat rangking tinggi pun akan merasa dirinya pintar dan sulit menerima kegagalan  padahal kunci dari pendidikan juga diperlukan kegagalan dalam menunjang pendidikan yang berkualitas. Kegagalan merupakan salah satu kunci kesuksesan dari setiap penemu dunia.
Mereka yang merasa pintar sejak kecil tentu akan sangat sulit menerima kegagalan di masa depan, dikhawatirkan justru mental mereka turun pada saat masa itu tiba dan memicu kehilangan akal sehat disaat remaja maupun  dewasa. Di setiap tahunnya ada saja mahasiswa yang bunuh diri karena merasa gagal dalam meraih pendidikan terutama di perguruan tinggi negeri atau swasta ternama. Pandangan ini tentu harus dihilangkan karena bibitnya berawal dari pada saat mengenyam pendidikan dasar. Lingkaran pembatas harus segera dihilangkan agar anak-anak seharusnya dapat berkembang dan unggul dengan sewajarnya. Â
Dampak Inovasi
Teknik dari pada istirahat sejenak pada siswa dirasa sangat perlu di setiap pergantian jam pelajaran. Hal ini dilandasi dengan daya serap manusia yang terbatas dan berbeda dalam satu waktu. Istirahat atau rehat akan mengistirahatkan otak sejenak dan berefek pada penyerapan pendidikan yang akan diberikan secara optimal. Sehingga setiap siswa diharapkan untuk dapat menerima pendidikan secara baik,
Selain pembenahan pada sistem cara belajar juga diperlukan pembenahan dari pada hasil belajar para siswa. Dengan hilangnya tingkatan prestasi hasil belajar yang selalu dibanggakan minoritas peserta didik dikelas diharapkan mampu mendongkrak para siswa dengan tingkatan prestasi rendah sebagai tambahan motivasi bahwa mereka semua sama dan memerlukan pendidikan yang serupa. Dari pada dampak positifnya, tingkatan rangking jauh mempunyai dampak negatif. Tinggkatan yang merupakan batasan pada peserta didik diharapkan dapat dihilangkan sehingga dirasa mampu menyamakan setiap peserta didik.
Lalu untuk dapat mengukur hasil belajar para siswa, guru dirasa jauh lebih tahu, rangking yang tak perlu diumumkan dirasa lebih efektif. Memberikan motivasi untuk terus belajar dan tingkatkan secara merata akan lebih memiliki dampak dibandingkan dengan menempatkan posisi mereka dalam tingkatan rangking kelas.Â
Guru yang merupakan orang tua disekolah dirasa jauh lebih mengetahui kemampuan para siswanya sehingga tahu mana yang harus lebih diperhatikan dan mana yang hanya diberikan pengarahan. Tingkatan rangking hanya akan memberi rasa malu posisi bawah meskipun tidak diumumkan pada tingkatan 10 besar ke atas mereka yang tidak masuk 10 besar akan merasa dirinya kurang mampu dan akhirnya malas dalam belajar.    Â
Peluang Replikasi
Sistem ini telah dilakukan pada sekolah di finlandia, dimana para siswanya tidak memiliki tingkatan dalam pembelajaran. Untuk meniru finlandia sebagai Negara pendidikan terbaik memang tidak harus seluruhnya karena secara budaya, letak, geografis dan banyaknya penduduk yang berbeda. Tapi setidaknya dengan meniru beberapa cara sukses negara pendidikan terbaik ini, yang dapat diaplikasikan beberapa dan dianggap baik diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Untuk penerapannya sendiri sebenarnya cukup mudah karena tidak akan menimbulkan konflik terkecuali merubah yang dianggap budaya yang sudah diatur sejak dulu dengan tingkatan. Perubahan hilangnya rangking dan tambahan waktu istirahat pasti akan mampu diterima tanpa perlu sosialisasi yang panjang, tapi dengan penerapan atau pengaplikasian secara langsung. Sistem ini juga dirasa perlu di uji coba terlebih dahulu dibeberapa sekolah karena cukup sulit merubah kebiasaan yang ada.
Selama anak-anak masih dalam tahap pembentukan karakter dari sejak kecil. Penerapan sistem ini akan membuat mereka berfikir bahwa pendidikan sebenarnya tanpa tingkatan karena pendidikan yang sesungguhnya adalah meningkatkan cara berfikir dengan semaksimal mungkin tanpa beban di hasil akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H