Indonesia merupakan negara yang indah. Tapi, tidak semua orang setuju dengan pernyataan itu. Banyak sudut pandang yang bisa kita eksplore sehingga kita bisa menyimpulkan apakah Indonesia ini indah atau tidak.
Seringkali saya melihat acara-acara di TV ataupun di Youtube yang menceritakan tentang kondisi negara-negara lain di dunia. Mereka bercerita bagaimana kehidupan dan kondisi alam di negara Jerman, Swiss, Jepang, Rusia, Amerika, dan lain-lain.Â
Sepintas, kehidupan di sana lebih teratur dan tertata. Buat saya, hal itu memberikan persepsi tentang sebuah kemajuan, kemodern-an, dan peradaban yang tinggi. Secara tidak langsung saya bisa melihat dan mengukur diri, dimanakah posisi peradaban Indonesia ini.
Ketika terjun ke ruang publik, saya dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang nyata (re: kekacauan). Kemacetan, sampah, kota yang semrawut, dan permasalahan sosial seperti premanisme dan anak jalanan.Â
Kota ini begitu tidak teratur dan tidak tertata. Orang-orang yang menikmati ketidakteraturan, mengganggu aktivitas warga yang lainnya. Saya meyakini, ada yang salah dengan cara hidup dan pola pikir masyarakat kita pada umumnya.
Anggaplah faktor ekonomi penyebab kekacauan itu. Tapi pada beberapa kasus, saya sering menemukan orang miskin yang berwibawa, berpikiran maju, taat pada aturan.Â
Di sisi lain, saya menemukan orang kaya yang arogan, ingin menguasai manusia yang lainnya, dan mementingkan diri sendiri. Artinya, jika kita menyalahkan orang miskin atas kekacauan tersebut, saya kira itu keliru.
Hal yang paling tepat adalah mengklasifikasikannya ke dalam dua golongan, yaitu masyarakat yang berfikiran maju, dan masyarakat yang berfikiran primitif.Â
Seringkali dalam banyak hal, orang-orang dengan pemikiran primitif inilah yang menghambat kemajuan. Biasanya, mereka menginginkan kemajuan, tapi tanpa disadari mereka adalah bagian dari kemunduran itu sendiri.
Orang-orang yang berfikiran primitif, menyebar di semua sendi kehidupan. Mereka ibarat kopi yang ditabur ke dalam sebuah gelas berisi air bening. Begitu menyebar.Â
Itulah sebabnya kita jarang sekali menemukan kota-kota/lingkungan yang benar-benar "ideal" untuk ditempati atau dinikmati. Misalkan, di area sekitar jalan Dago, Bandung.Â
Anda akan menemukan sampah berserakan, selain itu juga, Anda akan menemukan orang yang berjualan dengan lapak lusuh. Ini kontras dengan keadaan jalan Dago yang modern.
Pernah di suatu daerah, saya menemukan area luas dengan hamparan pemandangan sawah yang sangat indah. Ditengahnya terdapat mesjid yang megah.Â
Tapi sayang, disampingnya terdapat gubuk-gubuk pedagang yang dibangun asal-asalan. Seketika pemandangannya jadi tidak nyaman. Keindahan itu seolah-olah sirna oleh hal kecil. Dan, hal-hal seperti ini, hampir terjadi di semua tempat.
Masih banyak orang yang tertipu oleh slogan-slogan keindahan Indonesia, sebagian malah overproud. Pada hakikatnya keindahan itu hanya dalam sebuah teori. Ketika anda turun ke ruang publik, keindahan itu tidak ada, hanya parsial, dan semu.
Anugerah terbesar Indonesia adalah bentang alam yang indah dan alam yang bersahabat dengan manusia. Tapi, keberadaan manusia dengan cara hidupnya yang keliru membuat semuanya tidak nyaman. Kita terperangkap dalam sebuah kebudayaan/kebiasaan yang keliru. Banyak dari kita yang tidak menyadari hal ini, dan malah menikmati status quo ini.
Kekacauan ruang publik ini adalah kesalahan kolektif yang terakumulasi. Dan generasi saya yang menanggung semuanya. Kita harus mulai mengatur cara hidup kita. Kita harus sadar kita hidup di zaman modern, jangan membawa pemikiran primitif dan mengaplikasikannya ke kehidupan modern.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H