“teruskan,” desak si perempuan.
“kau itu, lelaki dengan perempuan, pria dengan wanita pasangan semacam itu sudah pemikiran kuno, jaman sudah berganti.”
“apa maksudmu?”
“dijaman ini semua bebas menentukan pilihan!” jawab si lelaki sekenanya lagi.
“apa sih maksudnya? Kalu satu term merujuk pada satu konsep, bukankah lebih baik jika term yang lain dihapus saja, toh juga sama saja artinya, ujung-ujungnya sama-sama arti.”
“kalau term adalah tanda verbal untuk kenyataan, sedang konsep adalah tanda mental dari kenyataan, tahukah kau ada yang lebih penting dari itu?”
“apa maksudmu? Tentang apa ini.”
“tentang tanda apa yang paling penting.” Si lelaki mulai bernada serirus.
Wajah si perempuan semakin menunjukkan gelagat kebingungan, “teruskan, jangan sepotong-sepotong,” si perempuan semakin mendesak penasaran.
“yang paling penting, adalah kenyataan diriku yang secara indrawi dapat dirasakan dalam fenomena milikmu, aku ada dalam neunema yang tak terjangkau, sebatas indramu cukup menjadikanku nyata, pikirkanlah, aku ada sebagai tanda kebesaran dan kasih sayang dia yang menciptakan segala keberadaan dan permulaan kepadamu, itu saja sudah cukup.”
Wajah si perempuan semakin cemberut, merasa digombalin, tak terima dengan jawaban itu ia mendesak lagi, “lalu, apa hubungan jaman dengan pasangan pria wanita dan lainya.”