Kesadaran bahawa revolusi mental, perluasan ide kemanusiaan yang adil dan beradap, tidak mungkin terjadi semaunya sendiri harus disadari, pasalanya, ketidak pahaman bagaimana kesadaran tiap generasi tidak pernah mengalami transfernya secara sempurna sehingga selalu berubah, adalah perlu untuk menindak lanjuti, menerka dan sedapat mungkin menemukan cara agar kelak bangsa ini tidak terjerumus dalam kebiadaban dan kehancuran.
masyarakat mulany tidak mengenal sekolah, dan pada dasarnya transfer budaya, pengetahuan tentang etika, nilai norma tidak begitu saja seperti proses ajar-mengajar, tetapi hadir dan tertansfer melalui aktivitas bersama orangtua dan generasi muda. semisal, pemahaman tentang bagaimana memperedeksi musim untuk kepentingan panen, pengetahuan tentang penanggalan bulan jawa, secara luas hadir dalam rutinitas.Â
rutinitas adalah kunci dari transfer pengetahuan, transfer budaya, nilai-norma dan etika, bukanlah sekolah. bahkan, jikalau ada sekolah, hal semacam itu akan sama.Â
hal itu bukanlah omong kosong, jelasnya adalah, setiap sekolah pada dasarnya dalam sudut pandang mayarakat, kini menjadi momen yang harus dilalui seperti laki-kali harus sunat dalam islam, sebuah keharusan hidup, jika memang seseorang hidup dalam masyarakat ini. kesempatan sekolah mengambil banyak luang waktu berimplikasi berubahnya rutinitas lama menjadi rutinitas baru yang ada sekolahnya, artinya; sekolah adalah objek kenyataan berada dalam alam seseorang yang dipelajarinya.
luang waktu yang seharunya untuk tranfer budaya orang tua kepada generasi muda, diganti dengan berkativitas yang dinamakan bersekolah, dengan demikian, kesan-kesan yang membentuk kesadaran banyak diambil alih oleh sekolah.Â
persoalan ini bukan persoalan remeh, karena didalam aktivitaslah seorang membentuk jati diri dan kesadaran, jika dalam rutinitas (:pola aktivitas) terdapat bersekolah, yang menghabiskan banyak waktu hidupnya, sekolah, mengambil peran yang begitu besar pada kesadaran manusia, dan ini sangat berbahaya, jika kurikulum nasional salah arah, dan dibuat sesuka hati tanpa ada penelitian serius, maka dapat dibayangakan apa yang terjadi pada generasi berikutnya.
sekolah akhirnya menjadi penting, karena menjadi rutinitas keseharian, maka dapat disebut kebudayaan secara luasnya. term tentang mencerdasakan anak bangsa, indonesia pintar, dan lain sebagainya, menandakan, kebutuhan pada sekolah dan ketergantungan masyarakat pada sekolah.
ketergantungan sangatlah berisiko, karena jika, ada sesuatu kejadian, yang tidak ada dalam pelajaran sekolah, karena pengetahuan, informasi dan lain digantungkan pada kehadiran sekolah, yang tidak ada dalam sekolah maka akan membingungkan dan membuat seorang menghabiskan waktu agaklam untuk mempelajarinya dalam dunia diluar sekolah, setelah paham dengan belajarnya sendiri, seseroang pada akhirnya memunculkan perasaan jengkel pada sekolah. yang kemudian hari seorang pengusaha ada yang mengatakan "kuliah itu bodoh" kalau tidak salah.
Waktu Adalah Kehidupan, Tidak Selayaknya Dipermainkan
apakah hidup ini hanya untuk masuk ruangan dan kemudian diceramahi? apakah hidup ini hanya untuk belajar enam belas jam sehari? apakah hidup ini hanya untuk patuh dan mendengar? apakah hidup ini hanya untuk menghormati guru? apakah hidup ini hanya untuk konservatif dan taat pada nilai norma, style pakaian yang berlaku? jawabnya tidak demikian namun sekolah dan beudaya belajar untuk masa depanlah yang mengajarkannya.
sekolah dan belajar yang lama adalah kesia-siaan, karena pada akhirnya hanya bertujuan lulus ujian, sekolah pada akhirnya adalah kesia-siaan karena pada akhirnya waktu yang sedemikian banyak habis untuk mendapat secarik kertas pengakuan pintar, yang disebut ijazah.