Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tetap Seorang Pria

17 Oktober 2016   12:30 Diperbarui: 17 Oktober 2016   18:35 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari berada tepat pada ubun-ubun, panasnya membuat setiap kepala manusia menjadi gatal karena kepanasan dan keringat, apalagi yang memiliki rambut tebal dan berkuncit, rasa mual pada perut menambah kegelisahan, pria tua duduk di tepi troroar jalan, mencari solusi, solusi mengobati rasa lapar yang berdiam diperut semenjak dari pagi.

Lelah menanti sebuah solusi, pria tua berjalan perlahan menyusuri jalan, matanya melirik-lirik kesana-kemari mencari pertanda. Ia melihat sebuah warung, warung yang sepi nan gelap didalamnya, penuh ragu, ia mencoba kesana.

Berdiri ia diambang pintu warung  berdinding anyaman bambu, lantainya bertanah, dan semua perabot terbuat dari bambu, warung yang sempit, khas orang desa. Tak beberapa lama, seorang perempuan menegurnya dari dalam, “apakah yang hendak kau inginkan? Sejak tadi aku mengintipmu dari dalam, kau berdiri disitu.” Pria tua hanya mengecap mulutnya, memegangi perutnya, kemudian berpaling, dan hendak pergi.

“mau kemanakah kau, tidak kah tertarik untuk makan disini?” kata perempuan setangah baya itu, si pria tua kemudian berpaling kepadanya dan berkata; “aku tak lagi memiliki uang.” Matanya penuh harap berkaca-kaca. Perempuan itu akhirnya iba dan mengerti maksudnya, kemudian berkata; “masuklah, aku akan memberimu sepiring.”

“tidak,” jawab pria tua, “janganlah kau memberiku makan dengan percuma, izinkan aku menggantinya dengan bekerja.” Perempuan paruh baya itu menatapnya dengan keheranan, kemudian berkata dengan malas, “baiklah, kau boleh mencucikan piring-piring kotor itu.”

Wajah pria tua itupun berseri, keriputnya seperti tertelan oleh cerahnya keserian wajahnya, perempuan pemilik warung melihatnya menjadi tertular keserian wajahnya, hatinyapun ikut bahagia dan membawa kecerahan pada wajahnya.Warung gelap itu menjadi bercahaya, namun bukan karena mentari atau lampu tapi karena keseri-serian mereka.

Setelah selesai mencuci piring yang tentu saja membuat tangan si kakek gemetar karena lelah dan belum makan sedari pagi, seperti hampir habis semua nyawanya ia duduk di kursi pelanggan merebahkan diri, dan memjamkan mata. “ini makanan yang kau minta,” kata perempuan pemilik warung sampbil menyodorkan nasi, kemudian meletakkannya dimeja di depan si kakek, berbalik, beberapa detik kemudian meletakkan air putih segelas besar, “minum air putih saja, kau sudah tua, minum yang rasa-rasa tidak baik untukmu,” ditutupnya dengan senyum, lalu duduk di kursi di depan si kakek.

Si kakek, melihat makanan, lauk daan air, tak lagi kuasa menahan, ia memakannya dengan lahap, namun selang beberapa sendok, sepertinya sadar akan ketuaanya, ia melambatkan tempo makannya, memakannya perlahan, perempuan peilik warung, hanya tertawa-tawa kecil memperhatikan.

Setelah makanan habis, si kakek berpamitan dan kemudian hendak pergi, si perempuan pemilik warung berkata padanya; “kau ini hendak kemana, apakah aku tak punya rumah?” si kakek memandangnya dengan mata sayu, kemudian dengan lembut ia menjawab; “sayang sekali aku sudah tak lagi berminat untuk pulang, aku ingin melakukan perjalanan.”

Pemilik warung keheranan mendengar jawabanya, kemudian bertanya lagi; “mengapa kau tak mengemis saja, lagipula kau sudah tak punya rumah.”

Si kakek tertunduk malu, kemudian seperti menguatkan hati, ia kembali menatap matanya, lalu berkata dengan nada bangga; “aku memang sudah tua, namun aku masih seorang pria, dan juga belum lumpuh.” Ditutupnya dengn senyum, mataya juga tersenyum, keriputnya nampak dimana-mana.

Mata pemilik warung menatapnya penuh keheranan, ia hanya terdiam mematung, kemudian si kakek mengucapkan kata pamit, lalu keluar warung. Dengan ransel lusuh di punggungnya, dengan langkah bangga, ia meneruskan perjalanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun