Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Jalan

13 Oktober 2016   15:17 Diperbarui: 13 Oktober 2016   15:28 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang pria berjalan dijalan desa ber-aspal yang sepi, ini sudah tengah malam, dan tak ada lagi orang-orang yang berlalu-lalang, lampu jalan memberikan petunjuk bagi setiap orang, begitupun bagi si pejalan. Pria tua, memakai tas ransel tua, jaket tua, celana jins tua, rambutnya panjang keriting berkuncit, merah keputih-putihan, janggutnya panjang terawat, juga jamban dan kumisnya, seperti sudah dibuat sedemikian rupa sehingga indah baginya, perawakan tubuhnya kurus dan tinggi, jika dilihat dari jauh, seperti sapu lidi yang dibalik.

Pejalan kaki tua melirik kesana kemari, langkahnya terhenti,  pandangannya ditujukkan kepada lampu jalanan yang menyala kekuningan, kemudian berkata “oh, betapa ciptaan manusia, memberi petunjuk saat malam, jika saja Edison tak memiliki ibu yang hebat, mungkin ia tak akan menemukan bolam, dan seluruh dunia hingga saat ini masih saja mengandalkan lampu minyak,” kemudian melanjutkan perjalanan.

Pria tua itu berhenti, karena rasa takut telah menjalar keseluruh tubuh, ia sampai pada tepian jalan yang diterangi lampu jalan, pada lampu terakhir ia memandang dengan penuh kegelisahan, jalan didepannya sudah tak lagi memiliki cahaya, hanya pepohonan dan sawah di kanan kirinya, ah, betapa ia takut pada malam gelap.

Kakinya tak lagi kungjung mau beranjak dari ketakutan, masih saja ia berdiri diambang akhir cahaya lampu jalan terakhir. Dalam hati berkata “apakah aku yang sudah berumur hampir enam puluh ini, sanggup untuk tak malu pada rembulan karena ketakutan kepada kegelapan?”

Suara daun bergesek karena angin menyiratkan suara gaib, suara yang langsung masuk kedalam pikiran tanpa melewati telinga, “hey tua, sudahlah, kembali saja, pulanglah, anak-anakmu menunggumu.” Keningnya berkerut-kerut mendengar suara gaib, namun ia tak lagi bergeming, malah melanjutkan langkahnya.

Dua tiga langkah ia tempuh sambil menutup mata, namun, hatinya masih saja bergetar, membuat semua tubuhnya bergetar pula. Sejauh tiga langka hia sudah tempuh dari batas cahaya yang diberikan lampu jalan terakhir, dalam hati ia berkata, “oh, beginikah aku setelah menjadi tua, takut akan kegelapan,” kemudian penuh ragu ia membuka kelopak matanya.

Raut wajahnya yang keriput tampak menjadi cerah, matanya malah enggan tertutup bahkan untuk berkedip, jalanan ternyata tak begitu gelap seperti yang dilihatnya ketika dalam naungan cahaya lampu, ia pun menengok keatas langit, ia melihat bulan, melihat bulan sedang penuh dan berseri, bercahaya kekuningan dan cerah, kemudia si tua berkata; “oh, rembulan, oh Tuhan beginikah cahayamu, beginikah cahaya lampu jalanan, inikah petunjukmu, betapa lampu memberikan cahaya, namun secara bersamaan ia juga menyembunyikan cahaya yang lain.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun