Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Ahli Waris dan Kegagalan untuk Kreatif

26 September 2016   13:28 Diperbarui: 26 September 2016   13:40 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerungan kepercayaan adalah sebab yang paling mungkin memunculkan pemikiran tersebut. Kepercayaan diri orang tua dengan pengetahuan atas dasar pengelaman hidupnya, membuatnya merasa bahawa, anaknya kelak tidak akan cukup mampu menyaingi dan melampaui dirinya, dengan demikian, mengumpulkan banyak warisan, semisal harta atau status yang dapat dipergunakan anak kelak adalah masuk akal.

Bukan hanya itu dampak ketakpercayaan orang tua pada anak. Jika kita melihat negeri seberang, semisal yang di benua eropa, anak muda giat sudah menjadi mandiri, hidup dalam apartemen sendiri, dan sudah menjadi individu sendiri, tidak lagi menjadi urusan dan bagian dari keluarga yang embesarkannya. Didunia belalahan lain, yang seperti kita lihat di film eropa maupun jepang, kita dapat menengok budaya orang sana yang memperlakukan anaknya dan anak memperlakukan orang tuanya. Sama sekali berbeda.

Dalam film-film, warisan itu sama sekali tidak disinggung, dan jika dibanding dengan senetron indonesia, tentu saja warisan adalah topik sentral serta inti dari segala alur dan plot cerita, sebagai penyebab kemunculan peran jahat dan baik, dimana peran baik bakal menjadi baik dan di aniaya dan diakhir cerita malah mendapat warisan satu milyar misalnya. dari film, yang sebenarnya mencerminkan bagaimana hidup seseorang dalam sebuah wilayah masyarakatnya, dapat dibandingkan pandangangan warisan dengan dunia lain itu dengan dunia ini.

Banyak didunia ini yang memandang risih dan jijik pada kebudayaan dunia lain yang meraka tidak tahu sopan santun pada orang tua, ngukuh, dan berani. Disana, tidak ada ketertundukan pada yang lebih tua jika persoalan pendapat, pendapat dari orang tua kepada anak yang berusia delapan belas keatas lebih kepada saran dari pada perintah yang harus dipatuhi, dan lagi, seorang didunia sana yang sudah lulus SMA masih tinggal bersama orang tuanya, bakal terkena ejekan yang remeh-temeh, disini, sebaliknya.

Ajaran-ajaran nenek-moyang kita terutama jawa khusunya, ketertundukan pada seorang yang berwenang, demi menunggu giliran warisan merupakan ajaran yang sudah paten dan resmi, sehingga, menunggu warisan merupakan budaya yang lumrah, apalagi mereka yang mencari materi untuk diwariskan

Warisan adalah derita, pasalnya, segala bentuk warisan yang menghidupi, seperti bidang usaha dan atau status, merupakan penganiayaan pada jati diri. Megapa? Karena seorang anak yang dari kecil hanya diberitahu satu kebenaran tentang hidup, yaitu seperti kebenaran yang diketahui oleh orang tua, enggan untuk menoleh dan membebaskan diri dari kandang emasnya sekedar menengok wilayah lain dan mencari kebenaran baru.

Pendirataan jati diri selanjutnya adalah yang paling ketara pada seorang yang bekerja diwilayah akademik, anak dosen bakal tidak akan dipuji atas prestasinya, namun, dipuji atas kehebatan orang tuanya yang tercermin kepada dirinya.

Karena jati diri yang meniru dan dipaksa untuk ditiru ini, seorang kehilangan minat atas dunia lain diluar kandang emas yang dibuatkan orang tuanya, sehingga, daya ciptanya sama sekali tidak muncul. Daya cipta atau kreatifitas membutuhkan imajinasi, dan bagaimanapun imajinasi butuh referensi, dan bagaimanapun referensi butuh untuk melihat dunia lain-lain, jika tidak, imajinasi bukan tidak dapat muncul, tapi hanya akan berputar disitu-situ saja, terbatas apa yang diketahui.

Dampak yang paling buruk dari cara pandang semacam ini adalah diwilayah yang lebih luas, yaitu bangsa. Dimana bangsa yang bertradisi waris-mewarisi, tunduk-menundukan, adalah pasti! Sekali lagi pasti bukan mungkin, bahwa bangsa akan mengalami kemunduran. Pasalanya, kreatifitasan yang tersumbat ini, menimbulkan ketidak mungkinan terciptanya inovasi dan kemauan untuk menciptakan.

Seorang ahli sosiologi yang mungkin sudah mati dari luar negeri, pernah berkata, kemajuan bermula pada ‘keinginan untuk berubah’ menurut saya salah. Tapi, ‘keinginan untuk menjadi diri sendiri.’ Jika seorang percaya pada dirinya, percaya dengan apa yang dihasilkan nantinya, maka dia tak akan ragu. lupakan soal kemajuan ekonomi dan berapa harga penjualan produk. Lebih baik, memikirkan seberapa puas diri ini dalam menciptakan sesuatu. Bukankah senang lebih baik daripada susah?

Pembebasan anak dari ketakutan orang tua terhadap kemungkinan terburuk di masa depan adalah langkah pendewasaan orang tua yang sesungguhnya, pembebasan ini bukan tidak menyayangi, namun, lebih kepada menyayangi dengan benar. Karena manusia melahirkan manusia, bukan melahirkan obsesi dan ketakutan. Manusia punya perasaan, seorang lebih senang; ‘menyesal atas pilihan dari pada menyesal atas kepengecutannya untuk memimilih’ dan dipilihkan termasuk kepengecutan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun