Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sunyi dalam Keramaian

10 September 2016   14:57 Diperbarui: 10 September 2016   15:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ia, nanti tak belikan,” janjiku yang kututup juga dengan senyum manis, balasanku pada senyum indahnya untukku.

Kuelus rambutnya yang masih agak basah, kumanjai ia dengan pujian-pujian, kumanjai ia dengan janji-janji permen, aku sayang sekali padanya.

Lama kemudian aku kembali kamar tidur, suara kehidupan kembali terdengar, tangisan bayi, perdebatan ibuk-bapak, suara ceria tawa adik dan teman-temanya beriang gembira di halaman mengejar mentari.

Suara kehidupan..............

Hanya aku yang tak bersuara, diam, ramai ini, masih saja tak mengusir detik-detik, detik-detik seperti berdetik dikepala, mengisyaratkan kehiningan, kesunyian, menimbulkan tanya, apakah aku ini ada, apakah aku berarti di hati ibu-bapakku, mengapa aku hanya diam, mengapa bertahuan-tahun ini diam? Mengapa tak ada yang memerintahku, tapi mengapa aku merasa diperintah begini, mengapa aku merasa harus melakukan sesuatu, membersihkan rumah atau sekolah, mengapa aku begini, padahal ketika aku bilang tak ingin sekolah atau diam tak membersihkan rumah tak ada yang melarang atau memerintah, aku ini apa? Semua ini terasa sunyi, ayah, ibu, kakak, adik, oh teman-teman monyetku, aku ini apa?

Bolehkah aku tetap menjadi monyet walau Tuhan menjadikanku karya terbaiknya, dengan menumbuhkan buah dada, dan menjadikanku berkulit mempesona? Mengapa aku begitu indah dimatamu hingga akhirnya aku selayaknya piala bagi pemenang? Apa yang dilihat mereka yang datang melamarku? Aku seongkok daging indah bukan?

Semua suara kehidupan hadir dalam telingaku, tapi detik-detik ini tetap saja menjadikan semuanya seakan bisu, detik-detik ini, isyarat kesunyian, kehampaan, lembab.

Mengapa oh detik, mengapa kau berdetik lamban, mengapa kau tetap bersuara, mengapa suaramu seakan membisukan dunia yang aku dengar sedang bernafas dan hidup, mengapa oh detik, cepatlah sedikit biar aku selesai sudah waktuku didunia, biarkan aku, cepatlah, cepat segera berkhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun