Tepat 113 tahun yang lalu (1905) di Paris, Perancis, lahir seorang anak semata wayang bernama Jean Charles Aymard Paul Sartre. Belum disangka sebelumnya bahwa anak yang menjadi yatim di umur 2 tahun ini di kemudian hari akan merubah cara pandang dunia, dan satu kesialan buatku menjadi salah satu korbannya.
Sartre adalah seorang filsuf yang amat kukagumi di antara lainnya. Melalui karya-karyanya, ia mengingatkan kembali kepada khalayak hal yang sebetulnya amat sederhana, namun seringkali luput di pikiran kita. Ia mengajarkan tentang dua hal mendasar yang menjadi niscaya bagi manusia sejak kelahirannya: kebebasan dan kewajiban. Sesederhana itu. Tapi dengan kesederhanaannya itu justru dia berhasil mengobrak-abrik bangunan pikiran banyak orang yang selama ini berdiri mapan.
Dari kenyataan itu, banyak orang kemudian memetakannya sebagai filsuf kontemporer dan gagasannya masuk ke dalam aliran Post-Modernisme bersama para pemikir besar lainnya yang juga kukagumi, seperti Friedrich Nietzsche, Albert Camus, Jacques Derrida, dan Michel Foucault.
Satu cerita menarik sekaligus menjengkelkan tentangnya adalah saat tahun 1964, dia berhasil menampar dunia secara elegan saat Nobel Prize yang merupakan salah satu penghargaan paling bergengsi di muka bumi ini ditolaknya. Dengan alasan pikirannya tidak mau "dilabeli" oleh pihak manapun.
"Seorang penulis sejati harus menolak sesuatu yang bisa membuatnya berubah menjadi sosok yang mendukung suatu institusi. Bahkan penghargaan paling bergengsi sekalipun, aku tolak seperti kasus ini (Nobel)" Katanya. "Jika aku disebut 'Jean-Paul Sartre' saja," Tambahnya, "itu akan berbeda dengan ketika aku disebut 'Jean-Paul Sartre Peraih Nobel Sastra.'
Hal lain yang tak kalah menarik dan menjadi perhatian banyak mata dunia adalah kisah cintanya yang amat berkelas bersama mahasiswi jurusan Filsafat Universitas Sorbonne. Simone de Beauvoir namanya. Perempuan cerdas dan rupawan ini kemudian menjadi pasangan "esensial" bagi dirinya hingga akhir hayat. Melihat bagaimana prinsip dan hubungan yang terjalin di antara mereka, serta Albert Camus yang juga merupakan sahabat karibnya dalam berpikir, kukira itulah makna relationship goals sesungguhnya.
Ya, tanggal 21 Juni sepertinya memang didedikasikan bagi lahirnya orang-orang tak terduga!
Kalau tadi ada Jean-Paul Sartre, maka pada tanggal ini juga, tepatnya 56 tahun setelahnya (1961) di Surakarta, Jawa Tengah, lahir seorang anak dari keluarga sederhana yang konon tempat tinggalnya pernah digusur tiga kali.Â
Membayangkan ia yang kemudian tumbuh besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya di fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, serta menjadi pengusaha mebel yang sukses tentu adalah satu capaian yang patut diapresiasi. Hingga kemudian ia meniti karir di dunia politik praktis dari mulai menjadi Wali Kota Surakarta pada tahun 2005, lalu beranjak menjadi Gubernur Jakarta pada 2012, sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini: dialah Joko Widodo, Presiden Ke-7 kita. Seorang yang tak terduga sebelumnya bukan?
Tapi di antara kedua tokoh itu, satu yang paling istimewa tentunya buatku adalah bahwa pada 21 Juni 1994, di Jakarta, lahirlah anak perempuan yang kelak akan sering aku sapa sebagai "kamu". Ya, kamulah perempuan yang aku temui pertama kali di kampus, sebagaimana Jean-Paul Sartre bertemu Simone de Beauvoir untuk pertama kalinya dulu. Kamulah sosok tak terduga yang kini menjadi orang paling dekat dan paling tahu banyak tentang kehidupanku.
Ah, kukira terlalu banyak yang bisa dituliskan tentangmu disini. Namun kiranya, ada satu hal yang membuat baik Jean-Paul Sartre, Joko Widodo dan kamu memiliki persamaan di mataku. Ya, kamu bertiga adalah makhluk yang paling berpengaruh di hidupku kini, dengan cara dan bentuknya yang tak bisa disangkal.