Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Dari Penjara Hati Nuraeni HG ke Karya-karya Hendra Gunawan

18 Juni 2023   22:17 Diperbarui: 19 Juni 2023   15:35 2382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panen Padi, 1978. 88cm x 150 cm Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery

Dari Penjara Hati Nuraeni HG ke Karya-karya Hendra Gunawan

 

Pameran tunggal Penjara Hati Nuraeni HG di Energy Building Jakarta 14-16 Juni 2023, saya kira telah menjadi bagian penting yang bukan hanya membahas kekaryaannya saja. Mengapa demikian?, karena di pameran tunggalnya yang ke 10 ini sepertinya ia ingin mengajak penikmat karyanya untuk berkelana jauh di masa lalunya.  Saat ketika di penjara di Rutan Kebon Waru Bandung, masa kebebasanya, hidup bersama kembali dengan Hendra Gunawan sampai pada kebersamaan bersama anak cucunya.

Suasana di dalam penjara Kebon Waru yang ia tempati, sangat terasa ditunjukkan pada karya-karyanya, dimana dengan kanvas ukuran kecil dan goresan cat-cat minyak yang seolah masih kaku. Di sisi lain style atau watak karyanya memang sangat kuat dipengaruhi Hendra Gunawan. 

Cari Kutu, 1970. 46 cm x 65 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Cari Kutu, 1970. 46 cm x 65 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery

Masih pada karya yang dibuat di dalam penjara,  Ibu dan anak,  dan Cari Kutu dengan angka tahun sama 1970 nampak kekuatan imajinasi dengan tema kerakyatan senada. Namun, ada satu karya yang dihadirkan berjudul Sandal merah (1970) berupa sosok perempuan tunggal dengan baju kebaya dan jarit, serta sandal merahnya seperti bukan pengaruh kehadiran ruang imajiner.

Ibu dan Anak, 1970. 36cm x 49 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Ibu dan Anak, 1970. 36cm x 49 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Selanjutnya perbedaan tema muncul kembali, pada saat menikmati kebebasan atau ketika hidup bersama kembali dengan Hendra Gunawan. Karya-karya Nuraeni sudah berisi narasi dengan suasana seperti ada yang ingin disampaikan. Mungkin hal ini sangat wajar, dimana ketika di dalam ruang tahanan ia hanya mengandalkan ruang imajinernya. Pun demikian masih ditambah oleh statusnya sebagai murid sekaligus asisten Hendra Gunawan yang berperan membantu Hendra Gunawan dalam menyelesaikan karyanya.

Panen Padi, 1978. 88cm x 150 cm Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Panen Padi, 1978. 88cm x 150 cm Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Pada periode masa menikmati kebebasan dan hidup bersama kembali dengan Hendra Gunawan, gambaran suasana hatinya terlihat saat ia melukis kakaknya yang sedang menyeterika baju dengan seterika arang. Karya itu dikerjakan tahun 1978 dengan judul Nyeterika. Begitu pula pada karya yang berjudul Panen Padi (1978), dimana Nuraeni menghadirkan suasana para perempuan dan pemandangan sawah yang sangat terasa harmoni sekali.

Melasti, 1982. 130cm x 105 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Melasti, 1982. 130cm x 105 cm. Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery

Kisah kehidupan Nuraeni dan Hendra Gunawan saat menetap di Pulau Bali tak kalah menarik untuk disertakan. Melasti di Bali (1982) menjadi penanda tentang bagaimana ia turut serta bersama Hendra Gunawan untuk mengeksplorasi kehidupan tradisi budaya Bali. Sedangkan pada karya Potret Keluarga (1983) sangat nampak Nuraeni sedang ingin mengabadikan momen keluarganya secara utuh.  Karya Keluarga memang stylenya terlihat sama dengan yang telah dibuat Hendra Gunawan. Putranya Dadang Hendra dihadirkan dalam posisi terpanggul di atas pundaknya.

Keluarga, 1983. 53 cm x 158 cm Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Keluarga, 1983. 53 cm x 158 cm Oil on Canvas. Dok. Zen-1 Gallery
Suasana nanpak berbeda kembali ketika melihat pada karya yang dikerjakan di atas tahun 2000-an. Pada dua karya dihadirkan, masing-masing terlihat memiliki karakter yang berbeda. Nuraeni sepertinya sedang memposisikan dirinya dengan karakter seperti yang ditanamkan Hendra Gunawan (Kuda Lumping, 2003). Sedangkan pada karya Pulang Mandi (2003)  nampak ada pemutahiran style dan gagasan.

Pulang Mandi, 2003. 90 cm x 160 cm. Oil on Canvas. Dok.Zen-1 Gallery
Pulang Mandi, 2003. 90 cm x 160 cm. Oil on Canvas. Dok.Zen-1 Gallery
Memang patut disayangkan publik seni rupa tidak disuguhkan karya-karya terbaru Nuraeni. Ternyata saat pandemi covid 19 diakui bahwa dirinya memang tidak banyak melukis, serta baru kembali melukis setelah pandemi mulai reda. Belum lagi ditambah, karya-karya barunya yang telah terjual ke tangan kolektor.

Seni Sebagai Jalan Hidup

Bagaimanapun, Nuraeni bukanlah sosok pribadi, seniman sekaligus istri Hendra Gunawan "biasa". Perjalanan hidupnya sangat luar biasa. Terlahir dari keluarga terpandang ningrat, serba kecukupan yang melawan penjajah kolonial Belanda, lalu hidup berpindah-pindah, hingga turut terlibat dalam kegiatan seni di Pemuda Rakyat. Di organisasi ini rupanya berhasil mengantarkan dirinya sebagai pimpinan dan pelatih drumband terkenal. Bersamaan pada masa itu, ia juga menekuni seni peran drama. Ia sangat beruntung meskipun tamatan Sekolah Rakyat, melalui jalan kesenian dirinya telah diterima dan mampu bergaul dengan para intelektual setingkat mahasiswa di Bandung.

Nuraeni HG di depan karya mendiang suaminya Hendra Gunawan. Dok. Pribadi.
Nuraeni HG di depan karya mendiang suaminya Hendra Gunawan. Dok. Pribadi.
Peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 tanpa ia pahami dan sadari ternyata telah merampas jiwa merdeka Nuraeni yang sedang berada di puncak kreativitasnya. Bagaimana tidak, ia harus menghentikan segala kegiatan berkesenian yang menjadi gairah hidupnya. Belum selesai sampai di situ, ternyata ia harus didakwa sebagai tahanan politik dan turut mendekam di Penjara Kebon Waru Bandung.

Di penjara Kebon Waru Bandung selanjutnya Nuraeni berjumpa kembali dengan Hedra Gunawan. Pertemuan mereka sebelumnya terjadi saat Apel Akbar Kembang Bereum, dimana Hendra Gunawan sebagai pemimpin upacara dan Nuraeni pemimpin drumband, menjadi bukan kebetulan.

Nuraeni HG saat pembukaan pameran tunggalnya di Energy Building Jakarta (14/6). Dok. Pribadi.
Nuraeni HG saat pembukaan pameran tunggalnya di Energy Building Jakarta (14/6). Dok. Pribadi.

Di Penjara Kebon Waru selama lima tahun Nuraeni mendapat kesempatan belajar melukis. Di dalam penjara, Hendra Gunawan memang memiliki studio melukis sekaligus tempat untuk menyimpan karya-karyanya. Nuraeni adalah satu dari sekian penghuni penjara yang ditawari untuk belajar melukis. Dari lima orang yang diberikan kesempatan ternyata hanya Nuraeni yang bertahan. Dia mampu mengikuti tahapan-tahapan belajar yang menurutnya tergolong sangat keras.

Nuraeni selanjutnya bukan hanya menjadi murid, namun juga menjadi asisten Hendra Gunawan dalam membantu menyediakan kebutuhan melukis, termasuk menyiapkan cat, alat lukis, membantu melukis dengan menyelesaikan ruang-ruang kosong dengan warna-warna sesuai petujuk Hendra Gunawan. Nuraeni juga dipuji oleh Hendra Gunawan disamping bakatnya yang tinggi, ia juga rajin dalam membersihkan alat lukis serta segala macam di studionya setelah kegiatan melukis usai.

Seperti diketahui, Nuraeni itu aktivis sekaligus seniman. Pada dirinya, hidup sebagai aktivis dan seniman adalah hal yang tak terpisahkan. Tahanan Kebon Waru sebagai tempat ia menempa kepandaian dan kepiawaian  bersama sang guru Hendra Gunawan adalah tempat ia memperoleh rasa seni dan keindahan. Meskipun pada kenyataannya rasa seni dan keindahan itu dibatasi oleh jeruji besi. Rutan Kebon Waru telah memberinya kekayaan ruang imajiner yang tak terbatas.

Sejak kecil tak ada orang yang menuntun dan mempengaruhi bagaimana Nuraeni menemukan kesenian sebagai jalan hidupnya. Sebagai anak pegawai pemerintahan, kemampuan menekuni berbagai kesenian itu datang dengan sendirinya, dan selalu ia tekuni meskipun berat pada awal mulanya, termasuk saat dirinya harus mengenal not balok ketika dilatih menjadi pelatih marching band di Magelang, atau belajar melukis mengenal warna dan teknik  bersama Hendra Gunawan.

Keriangan dan kepahitan hidup adalah dunia Nuraeni. Bersama keriangan dan kepahitan hidup itulah dirinya dikenyangkan oleh gagasan-gagasan yang selalu mengalir. Bahwa sejatinya hidup itu memang tidak lepas dari keriangan dan kepahitan. Bagaimana ia bisa hidup sebagai seniman jika tidak pernah menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh masalah. Nuraeni sering merenungi indahnya hidup justru dari kepahitan. Saat dirinya mencoba menghalau kenangan kepahitan dalam hidupnya, justru semakin dipertemukan keinginan mempertanyakan, mungkinkah dirinya memang ditakdirkan sebagai seniman sampai sekarang.

Merayakan Seni Sebagai Jalan Hidup

Sehari setelah pembukaan pameran Penjara Hati Nuraeni HG, dilanjutkan dengan artist talk yang mengetengahkan tema Nuraeni HG Hajat Riwayat (Merayakan Seni Sebagai Jalan Hidup). Artist talk yang dikemas dua sesi dan kebetulan saya memerankan diri sebagai moderator, tanpa sengaja pada sesi pertama yang menghadirkan Nuraeni dan Putranya, serta saksi hidup semasa tinggal di Bali yakni Agung Prianta. Dari sesi pertama saya mendapatkan  banyak informasi menarik. Dari perihal karya Nuraeni, jalan hidupnya, serta bagaimana hubungan Nuraeni dan mendiang suaminya termasuk lika-likunya, kesemuanya menjadi pintu masuk yang memperkaya wawasan untuk memahami karya Hendra Gunawan secara lebih dalam.

Suasana artist talk dengan menghadirkan Nuraeni dan putranya Dadang Hendra. Dok. Pribadi.
Suasana artist talk dengan menghadirkan Nuraeni dan putranya Dadang Hendra. Dok. Pribadi.

Sedangkan di sesi ke dua menghadirkan penulis seni rupa dan budaya Jean Couteau, peneliti sosial Risa Permanadeli dan kurator Rizki A. Zaelani semakin menambah jalan terang untuk melihat karya-karya Nuraeni melalui karya-karya Hendra Gunawan begitu pula sebaliknya.

Pertanyaan yang selama ini hanya mengacu pada pendekatan visual terhadap karya-karya baik Nuraeni dan Hendra Gunawan seolah terpecahkan tanpa ketegangan yang berarti. Karena baik saksi hidup dan pembahas saling memahami persoalan-persoalan yang mendukung bahasa ungkap. Menariknya justru terdapat banyak kejutan-kejutan yang mungkin belum pernah didengar tentang sosok Hendra Gunawan.

Nuraeni HG dan putranya Dadang Hendra dalam artist talk di pameran tunggalnya. Dok. Pribadi.
Nuraeni HG dan putranya Dadang Hendra dalam artist talk di pameran tunggalnya. Dok. Pribadi.
Siapa yang tidak terkejut ketika Nuraeni mengisahkan selama menjadi murid sekaligus asisten Hendra Gunawan dirinya harus cekatan ketika diminta untuk menyediakan warna-warna yang diperlukan. "Pak Hendra berteriak, Nur siapkan cobalt blue, yellow orange, green, maka saya harus sigap untuk menyiapkannya", kata Nuraeni.

Ditambah lagi, ketika beberapa bidang kosong dari hasil sket lukisan yang telah diselesaikan Hendra Gunawan ternyata harus dibantu diisi warnanya oleh Nuraeni. Saat Hendra Gunawan membuat sket lukisannya, Nuraeni memang kebanyakan duduk di sampingnya, jadi ia paham benar seperti apa lukisan Hendra Gunawan. Bukan itu saja Nuraeni telah menjadi bagian penting untuk menyelesaikan lukisan pesanan dalam jumlah yang banyak.

Belum sampai disitu, ketika saya tanya bagaimana mendapatkan cat-cat untuk melukis termasuk kuas dan kanvas, dan peralatan lainnya?. Menurut Nuraeni saat di dalam penjara untuk mendapatkan warna-warna itu sebetulnya tidak mudah. Hendra Gunawan telah memesan kepada langgannanya melalui petugas rumah tahanan. 

Adakalanya pesanan cat dengan warna-warni yang dipesan datang banyak, adakalanya pula datang terlambat dan sedikit. Bila terdapat keterlambatan maka resikonya Hendra Gunawan harus menghemat warna. Maka bila ada teka-teki adanya warna muram dari lukisan Hendra Gunawan saat dipenjara, sebetulnya itu bukanlah gambaran kepedihan, namun lebih pada terbatasnya warna yang ada.

Ketika saya tanya mengenai apakah Hendra Gunawan sering membuat karya yang mirip dan seolah menduplikasi, termasuk obyek dan figur yang dihadirkan?. Nuraeni membenarkan kebiasaan itu. "Sebetulnya memang terlihat mirip, namun dalam kemiripan itu terdapat ciri-ciri tertentu yang disisipkan oleh Hendra Gunawan", kata Nuraeni.

Sedangkan saat dipancing pertanyaan mengenai kisah asmara saat bersama di rumah tahanan Kebon Waru?, Nuraeni hanya tersenyum dan mengatakan "pastilah banyak", termasuk bagaimana kecemburuan penghuni rumah tahanan lainnya yang juga menaruh hati padanya.

Pergerakan, tematik dan upaya menjaga identitas kekaryaan Nuraeni

Pada dasarnya Nuraeni sebagai seniman memang terlahir atas pengaruh kondisi zaman, dimana dunia pergerakan atau perlawanan yang menuntut hadirnya rasa keadilan sosial bagi masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bila baik Hendra Gunawan dan Nuraeni karya-karyanya banyak membicarakan perihal kerakyatan.

Artits talk sesi ke dua menghadirkan Jean Couteau, Risa Permanadeli dan Rizki. A. Zaelani.
Artits talk sesi ke dua menghadirkan Jean Couteau, Risa Permanadeli dan Rizki. A. Zaelani.
Jean Couteau mengatakan bahwa baik karya Hendra Gunawan dan Nuraeni memang membahas tentang kerakyatan, namun tidak dihadirkan atas konflik tapi justru terlihat harmoni. Berbeda dengan karya-karya seniman barat bila membahas isu sosial kemasyarakatan bisa dihadirkan secara keras, baik secara vulgar maupun simbolisme.

Ada yang menarik ketika ada yang mempertanyakan bahwa melihat karya Nuraeni memiliki kemiripan dengan karya Hendra Gunawan ?. pertanyaan ini langsung direspon oleh Risa Permanadeli, menurut Risa  adalah wajar bila selama ini banyak orang masih mempersoalakan watak atau style dari lukisan Nuraeni serupa dengan  suaminya Hendra Gunawan, sehingga orang selalu mengatakan ia meniru dan lain sebagainya. 

Karena sebetulnya apa masalahnya kalau ia meniru ?, lebih lanjut menurut Risa alasan seorang Nuraeni karena memang ia disuruh melukis oleh Hendra Gunawan dan diajari. Dan dalam kontek belajar tersebut, harus dicatat bahwa selama lima tahun dirinya betul-betul di-drill dari pagi hari hingga sore hari. Dalam arti tertentu, sebetulnya kesemuanya adalah  keinginan Hendra Gunawan untuk memproteksi Nuraeni, tetapi waktu lima tahun itu membuat Nuraeni memiliki kontak yang paling intensif bersama Hendra Gunawan.

Bila ada yang mengatakan karya Nuraeni kok mirip dengan Hendra Gunawan, tentu jawabnya sudah sangat jelas, bahwa selama kegiatan melukis dengan Hendra Gunawan, mau tidak mau pasti akan menurunkan seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh Hendra Gunawan, misalnya entah itu cara menggerakkan atau menggoreskan kuas, cara mencampur warna, cara membikin anatomi, dan sebagainya. Sehingga dengan sendirinya ketika ia akan melukis, kebanyakan yang keluar adalah apa yang dia peroleh selama lima tahun bersama sang guru.

Rizki A. Zaelani saat menjelaskan karya-karya Nuraeni HG pada pembukaan pameran tunggal Nuraeni HG Penjara Hati. Dok. Pribadi
Rizki A. Zaelani saat menjelaskan karya-karya Nuraeni HG pada pembukaan pameran tunggal Nuraeni HG Penjara Hati. Dok. Pribadi
Rizki A. Zaelani selaku kurator pameran, mengatakan bahwa bagi seorang Nuraeni HG, bisa jadi, lukisannya adalah sebuah bidang kiasan tentang 'penjara hati.' Bidang lukisan yang diperkenalkan pada Nuraeni, disekitar akhir tahun 1960'an, adalah bidang imajinasi tentang 'jendela' yang justru mengunggulkan cara-cara penggalian dan pengungkapan dunia-dalam diri manusia. Nuraeni tak menghayati jendela lukisan sebagaimana para pelukis pemandangan alam membayangkan hamparan keindahan alam yang terletak 'di balik' bingkai kanvas lukisan.

Lebih lanjut menurut Rizki, Nuraeni belajar mengenal dan memahami bahwa pokok yang molek dalam ekspresi sebuah lukisan justru adalah kesatuan kekuatan hidup yang dipancarkan oleh interaksi kehidupan orang-orang biasa diantara hamparan alam yang tidak hanya indah tetapi juga mengandung misteri hidup yang tak terukur. Cara belajar Nuraeni membiasakan dirinya untuk memahami gambaran dinamika kehidupan orang-orang biasa sebagai wujud pernyataan ekspresi seni yang tidak biasa.

Bagaimana menjaga identitas karya Nuraeni?. Menurut Risa Permanadeli persoalannya bukan pada kemiripan atau tidak, namun pada pasar yang akan mendikte, ini berlaku bisa pada Nuraeni atau siapa saja untuk membikin produk karya sesuai keinginan pasar. Tentunya menurut Risa, hal itu yang lebih berbahaya karena pasar yang menentukan dia sesuai permintaanya, dalam kedudukan seperti ini tentunya dikembalikan ke Nuraeni sendiri. 

Kalau dulu melukis di penjara dipaksa belajar, kemudian dia keluar menemani dan mendampingi  Hendra Gunawan sampai akhir hayatnya, sekarang sebetulnya harus mempertanyakan kembali kenapa dia mau melukis. Karena itulah sebetulnya yang menentukan dia melukis bukan diminta karena ada pesanan seperti Hendra Gunawan ketika dalam penjara menjadi otonomi dari karya Nuraeni. Sekarang sepenuhnya berada ditangannya Nuraeni apakah dia akan ikut pasar ataukah dia mengekor atau tidak sama sekali. "Dua hal yang lain sekali", tambah Risa.

"Untuk itulah forum seperti artist talk ini akan turut menjaga sehingga masalah-masalah yang sebetulnya tidak perlu dipersoalkan memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi yang penting adalah bagaimana pelukis menjadi dirinya sendiri. Berdasarkan rumusan yang dia ingin letakkan dalam peta seni lukisnya", kata Risa.

Nuraeni di akhir hidupnya hanya ingin melukis dan melukis

Setelah mengetahui banyak hal tentang Nuraeni melalui karya dan kisah hidupnya, dan mungkin karena saya terlalu sensitif. Saat mengulang kembali menikmati karya-karya Nuraeni yang dipamerkan dan dilanjutkan dengan melihat karya Hendra Gunawan, seolah karya-karya itu bergerak ingin menarik saya masuk pada nostalgia masa lalu menyaksikan proses karya-karya itu dilahirkan.

Nuraeni di rumah yang juga menjadi studio seninya di Bandung. Dok. Pribadi
Nuraeni di rumah yang juga menjadi studio seninya di Bandung. Dok. Pribadi
Saat Saya tanyakan apa yang akan dilakukan dalam mengisi masa senjanya?, Nuraeni menjawab kumpul dengan keluarga, melukis dan melukis yang baik. Tidak ingin terlibat banyak hal, apalagi sangat menyita pikirannya.

Melalui pameran Nuraeni HG Penjara Hati, saya sangat menaruh perhatian khusus padanya. Betapa sangat penting sosoknya dalam dunia pergerakan, serta pegabdianya terhadap maestro seni lukis Indonesia Hendra Gunawan. Pengabdian bukan hanya pada ketertindasan jiwa-jiwa pada masa pergerakan, namun lebih dari itu pada bangsa dan seni rupa Indonesia dengan nama besar Hendra Gunawan. 

Mungkin tanpa misteri dari pengalaman dari Nuraeni sebagai tahanan politik, maka kisahnya akan menjadi lain. Kebon Waru adalah bukti anugerah atas ke"ridha"an-Nya untuk mempertemukan dirinya dengan Hendra Gunawan. "Keprihatinan yang memenjarakan badan, juga memenjarakan hatinya yang selama ini telah ia anggap sebagai jalan hidup, bukan sebuah pilihan apalagi keterpaksaan", kata  Nyi Rd. Siti Nuraeni yang lebih akrab dipanggil Ibu Nur.

Melukislah terus Ibu Nur sampai tanganmu tak lagi mampu mengangkat kuas. Lewat karya-karyamu sejatinya engkau telah turut menjaga marwah Hendra Gunawan yang pernah menuntun dan mengajarimu. [Yudha Bantono. Bali, 18.06.2023]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun