Demikian terus berulang, disetiap kunjungan ke Basel Swiss. Tahun 2010 kembali saya berkesempatan ada pekerjaan di Dusseldorf Jerman, dan perihal keberangkatan ini kuceritakan pada Wianta.
Dengan antusias Wianta menanyakan "kapan berangkat?", saya pun mulai menangkap antusiasnya paling-paling nitip motret sungai Rhein di Dusseldorf. Apa yang kupikirkan ternyata meleset 100 %. "Apa ada rencana mengunjungi Basel nanti selama di Jerman?", katanya.Â
Kujawab, tergantung ada bekel cukup tidak untuk naik kereta api, sambil tertawa. Wianta kembali memerintahkan saya untuk memotret Sungai Rhain dan memotret kembali di tempat yang sama.Â
"Jangan kawatir Ibu (Intan Kirana istri Wianta) sudah menyiapkan bekel buatmu untuk naik kereta api dan minum beer di Swiss, sambil tertawa".
Sesuatu yang awalnya membosankan akhirnya saya menemukan jawaban, betapa pentingnya peradaban air bagi kehidupan budaya di setiap daerah. Air bukan menjadi kebutuhan semata, namun rekaman realita dari setiap kebudayaan dan perubahannya.Â
Air telah mengalir bukan sebagai apa, namun bagaimana, mengapa, siapa dan sebagainya. Betapa perubahan warna dan aliran air di setiap musim bisa merekam kondisi di sekitarnya.Â
Wianta memiliki metodologi dalam membaca peristiwa air yang ia bandingkan dalam pengamatannya di Sungai Rhain.Â
Bagaimana dingin, hangat, warna seperti susu belum lagi terpaan sinar lampu-lampu di malam hari atau pantulan sinar matahari kesemuanya berbicara.Â
Saya memamahi semuanya manakala Wianta berproses dan menunjukkan karya-karya yang telah ia lahirkan dalam seri Sungai Rhain.Â
Wianta tidak mempermasalahkan area pemotretan yang hanya satu tempat di atas jembatan, karena ia tidak menginginkan pemandangan yang indah atau orang cantik yang sedang menikmati Sungai Rhain.Â