Wayan Suja, Galung Wiratmaja, Polenk Rediasa, Dewa Ratayoga, Nyoman Wijaya, AA Putu Oka Astika, Huda Fauzan, Made Duatmika, I Gede Jaya Putra, Nyoman Sani, Loka Suara, Teja Astawa, IB Sutama, Made Aswio Aji, Putu Eni Astiarini, Made Dwipayana, Ketut Sugantika Lekung, Wayan Upadana, Wayan Jana, Gde Ngurah Pandji, Wayan Wijaya, Nyoman Winaya.Â
Perupa lainnya adalah Made Karyana, Dewa Made Virayuga, Wayan Diana,Wayan Suardika Putra, Made Warjana, Putu Edy Asmara, Nyoman Ari Winata, Anthok Sudarwanto, Listya Wahyuni, Nengah Sujena, Made Palguna, Wayan Aris Sarmanta, Made Somadita, Made Gunawan, dan Uuk Paramahita.
Selanjutnya adalah Atmi Kristiadewi, Wayan Wirawan, Pande Alit Wijaya Suta, Made Alit Suaja, Wayan 'Doel' Sunadi, Ketut Jaya 'Kaprus', Romi Sukadana, Wayan Arnata, V. Dedy Reru, Sudarna Putra, Ketut Endrawan, Nyoman Wirata, Putu Sudiana 'Bonuz', Made Mahendra Mangku, Dollar Astawa, Putu Wirantawan dan Nyoman Sujana Kenyem.Â
Selain itu juga diikuti oleh arsitek dan konsul kehormatan Republik Tunisia Popo Danes, budayawan Jean Couteau dan Putu Suasta, Konsul Kehormatan Italia Pino Confessa, dokter Kardi Neka, penyair Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta, jurnalis Putu Fajar Arcana, Wayan Juniarta, dan Ema Sukarelawanto, fotografer Anom Manik Agung, Murdani Usman, dan Ulung Wicaksono, Drh. Yudha Bantono, pegusaha Handy Saputra, pegrafis Ayip Budiman (alm) dan SR Alwy, ilustrator Monez, serta kartunis Jango Pramartha dan IB Martinaya.Â
Apa yang dilakukan Rumah Paros Art Gallery juga menguatkan satu gagasan penciptaan pameran virtual bagi kegiatan seni rupa di Bali berikut galeri lainnya yang telah mendahului. Kata Made Kaek, Bali sebagai salah satu tempat yang selama ini menjadi episentrum maupun peta seni rupa di Indonesia tidak boleh mandeg.Â
Mensiasati ruang pameran secara virtual memang memerlukan tantangan. Misalnya pameran yang selama ini dinikmati secara visual dengan mengandalkan kedekatan optis yang tidak berjarak dan suasana intim galeri yang menghasilkan efek visual dan kenyamanan harus dirubah.Â
Bagi saya karya-karya yang dipamerkan secara virtual di Rumah Paros Art Gallery telah mengobati kerinduan penikmat seni rupa sekaligus menerobos kebekuan dunia seni rupa Bali saat pandemi.
Seni rupa memang tidak bisa dilepaskan dari konteks penikmat atau kemasyarakatannya. Perubahan gaya hidup normal baru dan teknologi maupun sosial media tak luput mempengaruhi bagaimana karya seni muncul dan ditampilkan di hadapan publik.
Dan juga yang tidak kalah penting, siapapun bisa membuat art gallery secara virtual. Fasilitas internet dengan jaringanya sangat mudah didapat bukan penghalang untuk membuat gagasan artistik sebuah pameran tetap matang.
Mungkinkah Rumah Paros, galeri seni serta pelaku seni lainnya berperan aktif kembali menjalankan pameran secara virtual?. Inilah tantangan ke depan persahabatan kreatif yang bukan hanya membangun kemesraan atau menikmati klangenan, namun juga siap dengan perubahan (Yudha Bantono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H