Rindu Ibu
Puisi Rupa Achmad Pandi
Damai, teduh, dan bahagia, demikian imajinasi ketika saya menikmati karya Achmad Pandi dengan judul "Ibu". Belum sampai saya berfikir tentang kesadaran artistik, filosofi, pesan sosial maupun teknik, saya seolah dicegat dahulu oleh ingatan romantisme masa lalu. Benar, karya ini ternyata tidak sekedar sebuah pernyataan Pandi, namun sebuah linangan air mata tentang dirinya dalam puisi rupa yang ia kisahkan.
Selama ini karya lukis Achmad Pandi kerap dihubung-hubungkan dengan kritik sosial tentang permasalahan kehidupan yang sering ia temui. Pelukis kelahiran Jember Jawa Timur ini sejak kecil memang sangat dekat dengan ibunya, bahkan sering kali kenangan bersama ibunya ia jadikan pembanding melihat realita dalam menjalani kehidupannya.
Saya sangat memahami apa yang ia jadikan ukuran ini telah membuatnya nyaman dalam menerjemahkan setiap gagasannya. Sehingga, penikmat karya Pandi banyak yang paham tentang inspirasi karyanya dari latar belakang sosok pribadinya.
Sejumlah karya Pandi lainnya yang pernah saya lihat maupun tulis memang banyak berbicara tentang "ibu" seperti mertuanya, perempuan Bali tetangganya, para perempuan-perempuan tangguh yang ia temui di kehidupan pariwisata Kuta dimana ia tinggal sampai Bunda Teresa.
Ketika ditanya apakah ia sedang membangun narasi yang berbicara tentang warna-warni kehidupan?, Pandi mengatakan sejatinya ia hanya menghadirkan citraan seorang sosok.
Cara Pandi bereksplorasi di setiap unsur rupa dalam membangun ruang imaji bagi saya sangat menarik, sebuah alur akan semakin hidup manakala bisa menghubungkan satu karya dengan yang lainnya, termasuk pada karya Ibu ini.
Meskipun Pandi mengakui bahwa karyanya terinspirasi dari orang-orang terdekatnya, ia tidak harus menjelaskan secara vulgar. Baginya karyanya adalah potret realita yang bisa dirasakan oleh siapapun pada masa dimana ia bisa menikmati karyanya. Sesungguhnya ia tidak pula ingin menggiring opini pada sebuah kritik sosial, tapi biarlah ia hadir memaknai dengan sendirinya.
Pada karya Ibu, sosok yang ia hadirkan disini adalah ibu "imajiner". Meskipun ibu yang ia maksud erat kaitannya dengan ibunya yang tak lagi bisa ia dekap, karena sebelum Bulan Ramadhan yang lalu  telah dipanggil yang maha kuasa.
Karya ini memberi ingatan kuat pada siapapun akan sosok ibu yang terus turut berperan dalam tugasnya membangun kasih sayang sampai pada cucu maupun cicitnya. Dan karya "Ibu" ini secara tekstual memperlihatkan bagaimana Pandi membangun hubungan emosional menjadi narasi kuat pada sebuah perenungan.
Sosok ibu dengan ekspresi raut wajah, kulit, rambut, busana, selendang maupun anak kecil dengan bedak yang membaluri wajahnya ia abadikan pada karya cat air dengan detil dan kesan akhirnya muncul sangat kuat.
Terkadang di antara garis-garis goresan Pandi pada karyanya menciptakan energi batin yang membuat siapapun akan menunduk bahkan pula menyala-nyala. Disadari atau tidak, saya pikir ini adalah bagian penting dari proses akumulasi romatisme maupun konflik psikologis yang pernah maupun sedang ia jalani saat ini.
Bagi Pandi, endapan pengalaman batin yang menghantarkan terciptanya karya tidak bisa dihentikan begitu saja, dan ia selalu mengikuti kemana dirinya akan dibawa. Karya Ibu cukup penting saya catat sebagai puisi rupa, bait demi bait bertutur tentang dirinya terhadap orang-orang terdekatnya, kemudian meletakkannya sebagai subyek yang memiliki identitas kuat untuk berbicara.
Pandi telah mengisahkan pengalaman hidupnya sekaligus menjadikan identitas karyanya, saya percaya ia tidak sekedar memindahkan potret tentang apa yang ia lihat dan amati, melainkan bagaimana karya itu hadir memberikan kesesuaian dengan apa yang dialami oleh banyak orang, bukan sebagian orang. Dan Achmad Pandi telah berhasil menghadirkan puisi-puisi rupanya sebagai manifestasi rasa, disamping capaian estetika. (Yudha Bantono, Bali 14 Juli 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H