Pengalaman hidup seorang perupa adalah aset. Karya-karya seni rupa yang lahir dari pengalaman hidup tidak jarang justru memberi ingatan kuat pada pribadi senimannya. Terlepas dari strategi, pengalaman hidup nyatanya mampu berbicara mewakili zaman dimana karya itu lahir.Â
Banyak di antara mereka dengan memori pengalaman pahit justru melahirkan kegairahan visual. Bagaimana tidak, karena ini akan berbicara masalah penanda yang diharapkan dapat masuk kepada penikmat karyanya.
Memperhatikan karya Minako Hiromi, perupa wanita Jepang ini sarat makna tentang pengalaman kematian manusia dari orang-orang yang dijumpai, orang terdekat, termasuk suaminya. Perasaan Minako yang selalu tersentuh akan kesedihan, membuatnya terus menggali dan dimaknai dalam visualisasi karya.
Saya bertanya mengenai hal seperti apa yang menyebabkan tersentuh akan kematian ?. Minako mengatakan ini soal pengalaman hidupnya. Sejak kecil ia masih mengingat dengan jelas tentang kematian kakek dan neneknya yang ia sangat cintai.Â
Saat usia 19-20 tahun ia bepergian ke Nepal dan India, disana dia melihat tubuh-tubuh orang meninggal yang dikremasi. Saat itulah dirinya mulai berkecamuk menemukan persoalan tentang kematian.
Ketika kejadian tsunami di Aceh dan Thailand beberapa tahun lalu, ini mula pengalaman yang membuatnya syok melihat banyaknya korban nyawa. Betapa tidak, saat itu Minako sedang berada di Bangkok dan ingin membeli tiket kapal laut sebelum tsunami menghantam. Dia tidak bisa berbuat apa dalam syoknya melihat banyak mayat dari kejadian itu.
Belum selesai ingatan kematian mengenai targedi bencana alam di Aceh dan Thailand, suami yang ia sangat cintai meninggal karena serangan jantung.Â
Minako sangat memperhatikan kematian suaminya seperti membaca buku masuk berganti bab berikutnya. Kejadian itu semakin membuatnya gelisah, ia ingin menunjukkan secara betul-betul bahwa dirinya berada pada bagian kisah yang ia ingin ungkapkan.
Minako memang wanita yang luar biasa, ia mampu melewati pengalaman pahit itu dengan terus berkarya. Ekspresi drawing-drawing Minako diakuinya adalah sebuah caranya bertutur tentang dirinya, dan orang-orang di sekitarnya. Melalui karyanya ia ingin berbicara lebih banyak tentang kematian adalah sebuah jalan hidup, dan akan menimpa pada siapapun.
Sebagai orang Jepang yang memiliki keyakinan akan budha dengan simbol-simbol mandala, ia mulai merangkai ziarah batinnya menjadi rangkain cerita yang dapat dituturkan kepada khlayak luas. Dan saat itulah, seri mandala ini lahir.Â
Seri Mandala yang dipamerkan di Bidadari Mandala, Mas Ubud dengan tema Teratai Salju, sangat mengena dengan tema yang disodorkan. Teratai salju sebagai symbol keharmonisan dan kedamaian berbicara tentang pencapaian kehidupan yang baik.Â
Dalam pameran itu ia bersama dua seniman senegaranya yaitu Kazunobu Yanagi dan Yasu Suzuka, serta Trie Utamai dari Indonesia. Pesan kehidupan yang damai dan harmoni adalah tataran pengungkapan empat seniman yang memiliki kesamaan tujuan.
Proses kehidupan memerlukan keseimbangan dari hal baik dan buruk untuk mengisinya. Ia tidak tahu kemana arah selanjutnya dari pencapaian melalui karyanya, tapi ia yakin melalui proses berkarya ia memiliki perasaan yang lebih dalam dan luas.
Minako menampilkan print hasil drawingnya di atas kanvas. Drawing-drawing Minako ia selesaikan bertahun-tahun. Ia bekerja di atas kertas, selanjutnya ditransfer ke media kanvas melalui proses cetak. Â
Minako selalu menggunakan media hitam putih yang menurutnya lebih kuat secara visalisasi. Drawing-drawing itu dikerjakan tengah malam ketika anaknya yang masih kecil telah lelap tidur. Di saat tengah malam itulah ia bersahabat dengan hening, dan lebih mudah berkosentrasi.
Minako tidak ingin mendramalisir tentang arti kematian, Â sekali lagi ia ingin menciptakan citra pendekatan pandangan yang sarat akan filosofi kehidupan. Secara harfiah bukan obyek kematian, tetapi berkembang lebih jauh menjadi sebuah esensi.
Sebagai seniman Jepang yang baru pertama kali ke Bali, ia menyadari bahwa pengalaman ini membuatnya semakin menjadi kaya akan cara pandang kebudayaan yang memiliki kemiripan.
Di Bali Minako langsung mendengar kisah-kisah proses kehidupan sampai kematian dari Pendeta Hindu Bali. Unsur-unsur yang menjadi symbol dari elemen penciptaan kehidupan sampai kematian ia rekam sebagai kajian penting. Pengalaman ini tentunya akan menjadi referensi menuju lompatan perkembangan seri mandala berikutnya.
Sebagai perupa satu-satunya cara untuk berekspresi dan menuturkan pengalamannya adalah melalui karya. Saya menaruh perhatian khusus dari kelana batin Minako setelah mengunjungi Bali, tentu banyak hal yang telah ia dapatkan tentang filosofi budaya masyarakatnya.Â
Mungkin inilah rangkaian perjalanan kehidupan Minako yang tidak pernah ia fikirkan, ia ditunjukkan banyak hal untuk terus melakukan penggalian tentang hal-hal yang berhubungan dengan kematian. (Yudha Bantono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H