Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fotografi Pinhole Yasu Suzuka dan Bahasa Damai

15 Agustus 2018   17:23 Diperbarui: 15 Agustus 2018   19:42 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Borobudur, pinhole fotografi Yasu Suzuka, doc. Penulis

Cakupan tangan adalah simbol damai, popular di masyarakat Asia. Banyak makna sebetulnya dari cakupan tangan itu sendiri, harmonisasi sisi positif dan negatif, salam atau sapaan pembuka, bahkan pada sikap yoga yang dikenal dengan Anjali Mudra. 

Namun, ada hal yang menarik ketika bahasa cakupan tangan itu menjadi persoalan penting bagi Fotografer pinhole Jepang Yasu Suzuka. Banyak kisah yang  telah ia gali dari orang-orang penting, terutama tokoh agama atau spiritual di berbagai tempat belahan dunia.

Tanpa harus dijelaskan, sebenarnya foto-foto pinhole karya Yasu Suzuka dapat bercerita. Dari tangan pendeta budha, Pendeta Kristen, tokoh muslim, Pastur Katolik, sampai Pendeta Hindu Bali, amat mudah diterka apa yang ingin diutarakan Yasu lewat karya fotonya. Sekilas orang akan melihat ada banyak kemiripan, namun juga banyak perbedaan. 

Tangan Pastur Katolik dari Amerika dengan cakupan tangan yang jemarinya ditekuk, Pendeta Budha dari Kyoto Jepang dengan cakupan tangan lurus, Pendeta Shinto Kyoto Jepang yang cakupan tangan mengarah ke depan, ulama Mesir dengan telapak tangan bertumpuk menghadap perut, sampai Pemangku Hindu dari Pura Taman Pule Ubud.

Pendeta Budha, Kyoto Jepang, doc. Penulis
Pendeta Budha, Kyoto Jepang, doc. Penulis
Dari bahasa cakupan telapak tangan, memperlihatkan betapa masing-masing subyek yang diangkat kesemuanya sedang membahasakan kata damai. Melalui cakupan telapak tangan tokoh-tokoh agama itu, Yasu menemukan keajaiban bahasa ungkap yang kuat.

Pendeta Sintho, Kyoto Jepang, doc. Penulis
Pendeta Sintho, Kyoto Jepang, doc. Penulis
Dari karya cakupan telapak tangan, Yasu tampak sedang bergulat dengan sebuah kosep fotografi, bahwa pemaknaan sebagian anggota tubuh akan lebih berarti daripada secera keseluruhan. Yasu ingin menajamkan maksud yang ingin dibicarakan, tanpa perlu mengikatnya dengan figur utuh beserta atributnya.

Pemangku Pura Taman Pule, Ubud Bali
Pemangku Pura Taman Pule, Ubud Bali
Inspirasi bentuk-bentuk cakupan telapak tangan, menurutnya sangat sederhana kisahnya. Ia sering melihat banyak tokoh agama dan orang-orang berdoa. Ketika mereka berdoa harapannya kebaikan dan kedamaian, baik untuk dirinya, keluarga maupun alam semesta. 

Ia terkesan dengan rata-rata mereka menggunakan bahasa tangan, lalu membawanya pada riset yang melibatkan pendeta budha dan Shinto di Jepang. Selanjutnya, ia kembangkan di setiap tempat yang dikunjunginya. Termasuk di Bali.

Yasu Suzuka, foto Ida Bagus Putra Adnyana
Yasu Suzuka, foto Ida Bagus Putra Adnyana
Yasu adalah fotografer yang resah dengan kehadirannya di tempat-tempat yang dianggapnya memiliki keindahan dan energi. Ia selalu ingin membawa pulang pengalamannya untuk diterjemahkan dalam bahasa visual. Bagi Yasu setiap eksplorasi selalu mendorongnya untuk terus mengadakan pencarian, terutama dalam hal menemukan kedamaian.

Mungkin tidak berlebihan apabila karya Yasu sebagai seni selaras dengan realita kehidupan, menyentuh wilayah moral dan spiritual. Yasu Suzuka seniman kelahiran Kanagawa tahun 1947, ia pernah belajar oil painting di Tama Art University, kemudian menjadi instruktur kursus printmaking di Kyoto City University. Tahun 1975 ia menempuh studi di Departemen of Photography di San Francisco Art Institute (USA). 

Selama tujuh tahun sejak 1984, Yasu menjadi Associate Professor di Kyoto College of Art. Selanjutnya Tahun 1991 sampai 2012 menjadi Professor di Kyoto University dalam bidang seni dan desain. 

Yasu juga pernah menjabat sebagai Presiden Pinhole Photography Art Society. Banyak penghargaan kaliber internasional yang telah ia dapatkan, serta pengalaman pameran baik tunggal maupun group yang sudah tidak terhitung jumlahnya.

Tetapi semua itu belumlah cukup, sebagai seniman ia terus bereksplorasi tanpa mengenal istilah berhenti. Yasu memiliki keyakinan dimana ia berada harus dapat menyerap, mempelajari dan menghasilkan karya. 

Terutama, tentang alam dan budaya kehidupan masyarakat setempat. Mungkin inilah yang melatar belakanginya untuk berkunjung dan menetap beberapa waktu di Bali. Yasu berusaha mendialogkan pengalaman ziarah batinnya, dan tahun ini ia labuhkan hasilnya di Bidadari Mandala dalam pameran Teratai Salju.

Borobudur, pinhole fotografi Yasu Suzuka, doc. Penulis
Borobudur, pinhole fotografi Yasu Suzuka, doc. Penulis
Pesan damai

Karya Yasu sebagai pesan damai tidak hanya ditandai dengan bahasa cakupan tangan. Karya fotografi pinhole yang dipamerkan juga menampilkan Borobudur dan tempat kejadian tragedi Bom Atom di Hiroshima. 

Ada hal yang menarik ketika membicarakan dua tempat ini. Bagi Yasu, Borobudur adalah mandala tiga dimensi yang memiliki pesan kuat pada pencerahan  dan kedamaian. 

Sementara tempat kejadian tragedi Bom Atom di Hiroshima menjadi kontra dari Borobudur. Yasu sepertinya memang terilhami dari ingatan masa kelam negerinya, dan selanjutnya mencari jawaban secara visual tantang arti damai.

Yasu Suzuka, diantara karya Cakupan Tangan Pendeta Hindu Bali dan Tempat Kejadian Bom Atum Hiroshima, foto penulis
Yasu Suzuka, diantara karya Cakupan Tangan Pendeta Hindu Bali dan Tempat Kejadian Bom Atum Hiroshima, foto penulis
Dalam ruang galeri kedua karya ini dipasang segaris pandangan, dengan titik pusat di cakupan tangan pendeta Hindu Bali. Yasu sangat memperhatikan ruang untuk mendialogkan karyanya bagi pengunjung pameran. Cakupan tangan pendeta Hindu Bali seperti memancarkan vibrasi kesan damai, mengalirkan energi kuat untuk merasakan hening dan hal yang tersentak. 

Sepintas memang tidak terlihat sebuah decak kagum kecuali kepiawaian hasil cetakan foto pinhole. Namun karya itu mengisahkan sisi rasa dan perasaan, dan selanjutnya pesan damai jelas nampak terlihat.

Melihat karya-karya yang dihasilkan, di usia 71 tahun Yasu masih tetap sebagai sosok seniman yang bersahaja. Semangatnya sangat mengagumkan, seperti api yang terus menyala-nyala. Memang sangat terlihat bahwa  ia seniman yang tak mengenal lelah bila diajak bertukar fikiran, terutama tentang budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia dan Jepang. 

Saya tidak meragukan lagi, bahwa melalui karyanya bisa ditemukan sebuah jalan masuk untuk menjelajahi beragam hal. Salah satunya yang berhubungan dengan pesan damai.  (Yudha Bantono)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun